Bab 12

Para Ibu-ibu dan Bapak-bapak itu tampak bisik-bisik dan mencibir setiap ucapan Bi Herni. Tentu saja mereka merasa jika Bi Herni terlalu memuji Alinda dan seolah hanya Alinda lah gadis yang paling baik di kampung itu.

"Iya atuh. Tapi di sini teh masih banyak yang menutup aurat selain Alinda. Itu putrinya Abah Haji Muhajir juga pakai jilbab juga, kok. Jadi, gak wajar atuh ya terlalu memuji seperti itu," nyinyir Ibu-ibu yang tampak menor dengan alis menjalar bagaikan lintah sawah.

Bi Herni menarik napasnya dalam lalu membuangnya perlahan. Sedangkan Mang Agus tampak menatap kesal pada para tetangganya yang lambe turah itu. Sementara Alinda, kini sudah melepaskan pelukannya dan mencoba untuk kembali tenang.

"Sudah sudah sudah! Kami tahu apa pun yang kami ucapkan tidak akan dianggap benar oleh kalian semua. Jadi sebaiknya sekarang kalian teh bubar saja, ya." Mang Agus akhirnya buka suara dan mengusir dengan halus para tetangganya itu.

"Iya atuh kami teh bubar. Jangan lupa ya diajakin keluar itu si Alin, kasihan dia kalau ngerem terus di rumah. Takut kurang mendapat oksigen yang bagus di desa ini," ucap Bi Anah yang memang orangnya tukang nyinyir.

Mang Agus tampak mengeraskan rahangnya dan menahan amarahnya agar tidak meledak-ledak saat itu juga. "Kami lebih tahu mana yang terbaik bagi keponakan kami. Sekali lagi saya tegaskan pada Ibu-ibu dan Bapak-bapak sekalian, kejadian tadi hanyalah kesalahan pahaman. Jadi, saya harap tidak ada yang mengumbarnya dan membahasnya lagi. Sebab, saya sendiri yang meminta Alin untuk mendorong jendela yang sudah sedikit rusak," ujarnya penuh penjelasan.

Alinda tampak tersentak kaget mendengar ucapan Pamannya itu. Tentu saja ia tak menyangka jika Mang Agus akan berbohong dan alasan demi melindunginya.

"Mang...." Alinda menatap kaget dan meminta penjelasan.

Mang Agus mengangguk kecil dan tersenyum hangat. Seolah sedang berkata semuanya akan baik-baik saja.

"Oooh, begitu ya. Ya sudah atuh, ayo kita bubar. Mendingan geh ngurusin pekerjaan kita dari pada di sini hanya menghabiskan waktu saja," ucap Bapak-bapak lambe turah.

"Ayo! Bubaaar!" timpal para Bapak-bapak dan Ibu-ibu yang masih berada di sana.

"Ya Allah, ada-ada saja," desis Bi Herni sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

Dalam sekejap saja, para tetangga yang semula berkerumun di sana kini sudah pergi mengosongkan tempat.

"Ayo masuk," ajak Mang Agus pada istri dan keponakannya.

Bi Herni dan Alinda mengangguk. Mereka pun masuk lalu menutup pintu.

"Sebenarnya apa yang terjadi, Neng? Kenapa Neng Alin teh pergi dari rumah? Apakah Neng tidak betah tinggal di sini?" tanya Bi Herni yang kini mulai menginterogasi keponakannya itu.

Ia kini bisa bernapas lega karena keponakannya sudah kembali pulang dengan selamat. Tetapi, masih ada yang membuatnya mengganjal, tentunya ia harus tahu alasan apa Alinda pergi meninggalkan rumah. Ia harus tahu apa yang Alinda lakukan semalam. Tidur di mana dan dengan siapa.

Alinda mengusap wajahnya pelan. Niqabnya sudah ia lepas sedari tadi.

"Jawab, Neng. Apa Neng Alin teh marah sama Mamang?" Mang Agus turut membuka suaranya.

Alinda tampak tersentak kaget dan langsung menggeleng cepat. Namun, tak ada kata apa pun yang keluar dari mulutnya.

"Katakan saja, Neng. Bibi sama Mamang teh khawatir sekali, takut Neng kenapa-kenapa," ucap Bi Herni sambil mengusap lembut puncak kepala keponakannya itu.

Alinda tampak masih diam dan menundukkan wajahnya. Jujur saja ia masih bingung harus berkata apa pada Bibi dan Pamannya itu. Tetapi, jika ia tidak berkata satu kata pun, maka Bibi dan Pamannya itu akan semakin cemas dan tidak tenang.

Sementara itu, Bi Herni dan Mang Agus tampak saling beradu pandang dan masih menunggu Alinda membuka suaranya. Mereka harus tahu apa yang keponakannya lakukan semalam. Mereka tidak ingin hal buruk terjadi pada Alinda. Maka tadi pun Mang Agus terpaksa harus berbohong dan beralasan pada para tetangganya. Hal itu tak lebih hanya untuk menutupi aib mereka.

"Apa yang harus aku katakan? Haruskah aku jujur kalau aku semalam tidur di gubug itu?" gumam Alinda dalam hati.

Gadis cantik itu kini sedang berpikir keras. Dan Bibi serta Pamannya pun masih menunggunya untuk bicara.

"Emh, sebenarnya semalam Alin hanya merasa jenuh dan kesal dengan ucapan Mamang. Tapi, Alin keluar dari kamar itu karena untuk menenangkan diri dan berkhalwat dengan Allah. Alin ingin mencari solusi bagaimana caranya agar tidak seperti lap basah," ungkap Alinda yang pada akhirnya memberanikan dirinya.

Mang Agus dan Bi Herni tampak tersentak kaget mendengar penuturan keponakan mereka itu. Ternyata benar, Alinda kesal dengan ucapan Mang Agus semalam.

"Astaghfirullahaladzim. Mamang benar-benar minta maaf soal itu, Neng. Sebenarnya Mamang hanya keceplosan saja, tidak ada maksud apa-apa, kok." Mang Agus tampak menatap pahit dan merasa tidak enak pada Alinda.

Alinda menggeleng. "Tidak, Mang. Mamang tidak salah. Setelah Alin pikirkan, memang tak semestinya Alin seperti ini terus. Dan, Alin mendapat ide kalau sebaiknya rumah peninggalan ayah dan bunda dijual saja," ujarnya yang lagi-lagi membuat Bi Herni dan Mang Agus tersentak kaget.

"Apa? Dijual?" Bi Herni menatap syok dan serius.

"Untuk apa, Neng? Sudah tidak usah berpikir macam-macam. Mamang itu hanya ingin Neng Alin teh sekali-kali keluar rumah dan gaul sama tetangga. Itu saja sih," ucap Mang Agus penuh penjelasan.

Alinda terdiam dan menunduk dalam. Sebenarnya ia pun masih harus memikirkan apa yang harus ia lakukan setelah ini. Entah akan benar-benar menjual rumah itu atau hanya sekedar ide saja.

Di sudut lain, seorang pemuda tampan bergelar Ustadz muda itu tampak sedang termenung di pendopo. Ia masih memikirkan obrolan yang terjadi di antara kedua orang tuanya dengan sepasang suami istri yaitu Pak Haji Anwar dan Bu Hajah Anwar.

"Menikah? Dengan cara dijodohkan? Apakah itu harus?" bisik Ustadz Destaqi dalam hati.

Sejauh ini, pemuda tampan itu masih belum memikirkan jalan hidup menuju pernikahan. Ia belum sampai memikirkan bagaimana nanti ia menjadi seorang suami. Ya, hal itu karena ia belum menemukan sosok wanita yang tepat di hatinya. Sejauh ini, Ustadz tampan itu memang belum disibukan dengan urusan wanita. Sebab, ia memang selalu disibukan dengan perkara akhirat. Selepas lulus mencari ilmu, kini ia disibukan dengan mengurus pondok pesantren, para santri dan pendopo yang baru saja diisi semalam.

"Tetapi, aku juga belum pernah bertemu dengan putri Pak Haji Anwar itu. Di usiaku yang sudah matang ini, mungkin memang wajar jika Umi menginginkan putranya menikah," ucap Ustadz Destaqi sambil menatap kosong pada langit-langit kamar yang ada di pendopo itu.

Ustadz Destaqi benar-benar masih bingung dengan apa yang harus ia lakukan. Di satu sisi, ia masih ingin menikmati masa lajang dengan mengurus para santri dan mengurus pengajian di pendopo.

BERSAMBUNG...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!