Satu minggu sudah Alinda ditinggalkan oleh kedua orang tuanya. Tepat di malam ini, keluarga almarhum Bunda Alinda mengadakan acara tahlilan malam ke tujuh di rumah Bibi Herni. Dan, sudah satu minggu pula Alinda si yatim piatu itu berada di kampung bersama Bibi dan Pamannya.
"Alin masih tidak menyangka dengan kepergian kalian berdua. Jika bisa meminta, Alin ingin pergi menyusul Bunda dan Ayah saat ini juga," ucap Alinda dalam hati.
Setiap hari, Alinda selalu murung dan jarang makan. Ia terus memikirkan kedua orang tua yang sudah pergi meninggalkannya ke tempat tinggal yang sebenarnya. Studinya di kota pun tampak tak ia hiraukan. Seakan hidupnya sudah hancur dan semua harapan yang ia bangun tinggi-tinggi, kini runtuh begitu saja.
"Neng Alin, habis ini makan, ya. Lihat wajahmu, makin hari makin tirus. Sepertinya berat badanmu juga ikut turun. Bibi mohon, jangan seperti ini, Neng." Bibi Herni mendekati keponakannya lalu membujuk gadis cantik itu agar kau mengisi perutnya.
Alinda menggeleng kecil, "Alin tidak lapar, Bi," jawabnya singkat.
"Harus paksakan saja, Neng. Apakah Neng pikir Bunda dan Ayah tidak sedih jika melihat Neng seperti ini? Coba Neng pikir-pikir lagi, Bunda dan Ayah pasti ingin Neng tetap tegar dan semangat. Jadi, ayo makan dan jangan terus-terusan melamun seperti ini," ujar Bi Herni yang tampak menekan setiap ucapannya.
Alinda terdiam dan hanya menatap kosong pada jendela kamar yang ia tempati. Tak ada kegiatan yang lebih indah selain melamun dan merindukan kedua orang tuanya. Padahal, Alinda baru satu minggu ditinggalkan oleh Ayah dan Bundanya. Akan tetapi badannya kini semakin kurus dan seperti tersiksa sepanjang hari.
"Neng, karena saat ini Ayah dan Bunda sudah tidak ada. Jadi, Neng tinggal di sini saja bersama Bibi dengan Paman," ucap Bi Herni penuh perhatian.
Alinda mengangguk tanpa berpikir lagi. Tentu saja ia memang sudah tidak punya siapa-siapa lagi selain Bibi dan Pamannya itu. Kebetulan, Bi Herni dan Paman Agus memang belum dikaruniai keturunan oleh Allah. Jadi, hal itu membuat Alinda tidak merasa keberatan.
"Iya, Bi," jawab gadis cantik itu tanpa ragu.
Apalagi yang akan ia lakukan di kota? Sedangkan kedua orang tuanya sudah tidak ada. Mungkin, setelah ini ia akan mencabut studinya di universitas Islam yang menjadi wadahnya mencari ilmu, wawasan dan pengalaman.
Waktu terus bergulir. Menghempas kenangan dan derita di setiap lubang yang kosong dalam hati Alinda. Meski terpuruk, gadis itu akhirnya mau membuka mulut untuk mengisi perut dengan nasi. Tetapi, selama ia tinggal di kampung, tak pernah sekalipun ia bermain ke luar rumah. Sekedar berjalan-jalan ke ujung gang pun rasanya kaki begitu berat melangkah. Entah karena apa, yang jelas saat ini Alinda merasa tak ada kehidupan yang menyenangkan lagi baginya selain merindukan kedua orang tuanya.
Jangan tanya bagaimana soal studinya saat ini. Ya, tentunya sudah berhenti sejak empat puluh hari pasca meninggalnya dua orang tercinta yaitu kedua orang tuanya.
"Neng, para tetangga teh nanyain Neng terus. Katanya si Neng kenapa jarang keluar. Para gadis di sini itu dulu teman Neng waktu kecil, kalau Neng liburan ke sini, Neng mainnya sama mereka. Hayu atuh Neng sekali-kali main ke luar, jangan ngerem seperti ini terus," bujuk Bi Herni yang sepertinya sedikit risih dengan ucapan para tetangga.
Alinda tersenyum tipis. Ia mengerti mengapa Bibinya itu memintanya untuk keluar rumah walau sekedar hanya menyapa para tetangga atau nongkrong di teras rumah. Tetapi, ia sendiri masih belum ada keinginan untuk keluar rumah setelah kepergian kedua orang tuanya. Kecuali kalau ia hendak ziarah ke makam Ibu dengan Ayahnya, ia pasti keluar. Itu pun mengenakan hijab syar'i dengan cadar yang sengaja ia gunakan untuk menutupi wajahnya. Ia memang tak ingin menampakkan diri di kampung itu. Bukan karena tidak suka pada penduduk kampung, tapi karena tak ada lagi semangat untuk menunjukkan pada dunia siapa dirinya tanpa kedua orang tuanya.
"Bibi teh malu sama tetangga. Mereka menyangka Bibi sama Mamang yang mengurung Neng Alin di dalam rumah," lanjut Bu Herni semakin mendesak dan merajuk.
"Ya Allah. Maafkan Alin ya, Bi. Karena Alin, Bibi jadi menanggung malu. Insyaa Allah nanti Alin akan main ke luar, Bi. Untuk sekarang-sekarang ini ... Alin benar-benar belum siap," ucap Alinda menangkap tangan sang Bibi yang tak lain adalah adik kandung Ayahnya.
Bi Herni menggeleng kecil, "Bukan begitu, Neng. Maksud Bibi tuh biar tetangga pada tahu kalau Bibi enggak ngurung Neng di rumah. Lagipula, kita hidup bukan sendirian di dunia ini, Neng. Kita perlu dan butuh bersosialisasi dengan orang lain. Jadi, saran Bibi teh baiknya Neng jangan ngurung terus. Bibi juga agak bingung harus berbuat apa biar Neng gak sedih dan murung terus seperti ini," ujarnya panjang lebar.
Alinda tersenyum, "Alin paham, Bi. Tapi, Bibi tenang saja. Alin senang dengan kesendirian Alin di dalam kamar. Toh, Alin diam di rumah juga ada hal positifnya. Terjauh dari pandangan pria, terjauh dari ghibah dan Insyaa Allah terjaga oleh Allah subhanahu wa ta'ala," ucapnya sedikit memberikan ketenangan pada Bibinya itu.
Bi Herni akhirnya mengangguk pasrah. Ia memang tidak akan memaksa keponakannya itu untuk bergaul dengan tetangganya. Memang benar juga yang Alinda katakan, berdiam diri di rumah akan lebih baik dari pada berkumpul di luar rumah yang akan menimbulkan fitnah juga ghibah. Sudah sering terjadi di mana-mana, suatu perkumpulan yang awalnya mengobrol biasa, lama-lama akan terjadi gosip menggosip. Dari satu tema, menjalar ke tema lainnya. Dan itulah yang selama ini Alinda hindari.
Di sudut lain, seorang pemuda tampan putra sulung Kiyai besar di kampung itu tampak sedang memantau para pekerja yang sedang menyelesaikan sebuah pendopo di tengah-tengah lapangan kampung. Kebetulan pemuda tampan bernama Muhammad Reyhan Destaqi itu baru kembali dari menempuh pendidikan di daerah Jawa. Kembalinya sang putra sulung Kiyai Haji Muhajir Arifin itu sangat dinanti dan disambut baik oleh masyarakat di sana.
Pembangunan pendopo pun dilakukan oleh semua masyarakat termasuk Mamang Agus—Pamannya Alinda. Dan rencananya, pendopo itu akan diisi untuk pengajian setiap malam jumat yang akan dipimpin oleh Ustadz Destaqi dengan Ayahandanya. Pendopo itu sendiri murni milik Kiyai Haji Muhajir atau yang lebih akrab disapa Abah Haji.
"Kapan pendopo ini bisa diselesaikan, Pak?" tanya Ustadz Destaqi pada tukang bangunan.
"Kemungkinan satu minggu lagi, Ustadz. Insyaa Allah kami akan semakin giat," jawab si tukang bangunan dengan penuh hormat.
Ustadz Destaqi tersenyum, "Alhamdulillah, saya sudah tidak sabar ingin duduk di tempat ini bersama para jama'ah pengajian nantinya. Semoga selalu diberi kelancaran oleh Allah," ucapnya sambil matanya tak mau diam memperhatikan ke segala objek.
"Aamiin."
Yuk tinggalkan jejak. Masukkan ke favorit kalian, ya!
BERSAMBUNG...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments