Di dalam kamar yang tak begitu luas namun tak juga sempit, Alinda duduk di kursi menghadap jendela. Di pangkuannya ada sebuah buku dan di tangannya ada sebuah pena. Gundah gulana kembali ia rasakan saat mendengar pembicaraan bibi dengan pamannya sore tadi.
'Dear diary, aku ingin mengukir kegundahan hatiku dalam buku ini. Izinkan aku meluapkan semua yang aku rasakan dalam buku ini. Aku, aku sangat bingung saat ini. Bagaimana aku bisa membantu bibi dan paman untuk mendapatkan rezeki? Kehadiranku di rumah ini tak lebih hanya menjadi penambah beban untuk bibi dan mamangku.
Aku lemah, tapi aku harus kuat. Aku ingin membantu bibi dan mamangn. Aku ingin meringankan beban bibi dan mamang. Tapi, dengan cara apa? Haruskah aku pergi dari rumah ini untuk merantau ke kota? Atau kembali tinggal di rumah milik almarhum dan almarhumah kedua orang tuaku? Mungkin, aku bisa bekerja di kota untuk mencukupi kebutuhanku.
Bibi dan mamang, maafkan Alin yang selalu menyusahkan kalian. Alin dengar, sejak kecil Alin sudah sering merepotkan kalian berdua. Sejak kecil, Alin sering datang ke sini selagi ayah dan ibu sibuk bekerja. Dan kini, Alin kembali harus tinggal bersama bibi dan mamang di sini. Alin harus kembali menjadi beban bagi bibi dan mamang.
Maafkan Alin...
Maafkan Alin...
Setelah ini, Alin janji akan mencari cara untuk membantu meringankan beban kalian berdua. Mungkin, Alin harus mengunjungi makam ayah dan ibu guna mencurahkan isi hati Alin pada mereka berdua.
Semoga saja ada jalan untukku meringankan beban bibi dan mamang. Aku tak ingin selamanya menjadi beban bagi mereka. Walaupun keduanya sangat baik dan dengan tulus serta ikhlas menerima, menjaga, mengurus serta menampungku di sini. Tapi, aku tetap memiliki hutang budi pada bibi dan mamang.'
Tok tok tok!
Alinda terperanjat saat mendengar ketukan pintu. Ia yang sedang mencurahkan semua isi hatinya dalam buru diary nya tampak terpaksa menutup bukunya.
Gegas, gadis cantik berhidung mancung itu beranjak dari duduknya lalu melangkahkan kakinya ke arah pintu. Dalam satu gerakan saja ia membuka pintu dan tampak jelas sosok Bi Herni di hadapannya.
"Bibi," ucap Alinda dengan senyum kecilnya.
Bi Herni tersenyum manis dan hangat. "Neng, mau ikut Bibi sama Mamang pengajian ke pendopo baru? Kebetulan malam ini baru pembukaan sekaligus tasyakuran pendopo. Kiyai yang punya itu Abah Haji Muhajir, mamang dan Bibi teh yang mengurus persawahan milik beliau. Neng mau ikut kah?" tanyanya panjang lebar. Dilihat dari binar matanya, mengharap sang keponakan yang saat ini sudah seperti putrinya sendiri untuk bisa ikut dengannya ke pendopo.
Alinda tersenyum kecil, ia sudah menduga jika sang Bibi ingin mengajaknya menghadiri pengajian di pendopo. Tapi, untuk saat ini ia sama sekali belum menginginkannya.
"Sepertinya lain kali saja, Bi. Insyaa Allah," tolak Alinda dengan halus.
Bi Herni membuang napasnya berat lalu menyunggingkan senyuman tipisnya. Pasti jawabannya tidak. Entah sampai kapan. "Ya sudah kalau begitu. Bibi dan Mamang sebentar lagi mau berangkat. Neng Alin diam di rumah ya, jangan ke mana-mana. Pintunya Bibi kunci dari luar," ucapnya penuh penegasan.
Alinda mengangguk paham.
"Alin ikut saja bersama kami. Sampai kapan kamu mau jadi lap basah seperti ini?" Terdengar suara Mang Agus yang baru saja keluar dari kamarnya.
Deg!
Seketika dada Alinda terasa sesak dan seperti ada yang menghantam jantungnya. Entah mengapa ucapan sang Mamang begitu membuat nyeri di ulu hatinya. Seketika saja ia terdiam dengan netra yang sudah berkaca-kaca. Ia memang lemah dan mudah tersinggung, jadi wajar saja jika ucapan sang Mamang yang pedas itu mampu membuatnya tersinggung.
Bi Herni yang melihat perubahan wajah keponakannya tampak memelototi suaminya. Ia paham jika Alinda merasa tersinggung.
"Emh, maksud Mamang—" Mang Agus belum selesai bicara, dengan cepat Alinda menyelanya.
"Mamang benar. Alin tak lebih seperti lap basah yang hanya bisa ngelumbuk dan menghancurkan suasana," ucap Alinda yang kemudian menutup pintu kamarnya dengan keras.
"Astaghfirullahaladzim," desis Bi Herni sambil mengelus dadanya.
"Dia tersinggung dengan ucapan Aa?" tanya Mang Agus.
Bi Herni mengangguk. "Dijaga atuh ucapannya, A," ujarnya penuh penekanan.
"Bingung Aa ngadepin si Neng Alin. Kita diamkan juga ya tidak baik, Neng. Tapi, sekalinya Aa ceplosin, ya gitu dia. Tersinggung," keluh Mang Agus sambil mengusap wajahnya kasar.
"Maklumi saja lah, A. Namanya juga gadis yang murung dan sedih pasca ditinggal kedua orang tuanya. Pasti hatinya sangat rapuh dan mudah tersinggung," ucap Bi Herni sambil menepuk pundak suaminya.
Di pendopo, para santri dan jama'ah tampak sudah memenuhi tempat yang sangat luas dan megah itu. Abah Haji Muhajir pun sudah stand bay di sana. Sedangkan sang Ustadz tampan yaitu Ustadz Destaqi baru saja berjalan menuju pendopo.
Memang jarak dari rumahnya ke pendopo itu tidaklah jauh. Jadi, bisa santai walau waktu semakin berjalan.
"Subhanallah, lihat antusiasme masyarakat di sini, Qi. Mereka begitu semangat sekali menghadiri pembukaan pengajian ini," ucap Ibu Hajah Suranih pada putranya.
Ustadz Destaqi tersenyum sumringah, "Alhamdulillah. Semoga selalu Istiqomah di jalan Allah," balasnya dengan lembut.
Mereka berjalan bersama-sama masuk ke dalam pendopo. Zahrani dan Arafat yang tak lain adalah adik-adik Ustadz Destaqi tampak sudah datang lebih dulu.
"Assalamu'alaikum," ucap Ustadz Destaqi yang kemudian meraih tangan Abahnya lalu mengecup punggung dan telapak tangannya itu. Kemudian ia beralih pada para alim ulama lainnya yang hadir di sana.
"Waalaikumsalam. Subhanallah, Desta semakin tampan ya sekarang," puji Pak Haji Anwar Lc. Yang tak lain adalah sahabat baik Abah Haji Muhajir.
Ustadz Destaqi tersenyum. Ia pun duduk di samping Abahnya. Sedangkan sang Umi sudah berbaur dengan para istri-istri kiyai dan juga dengan jama'ah lainnya.
"Pak Haji sepertinya sedang menghibur saya, ya," kekeh Ustadz Destaqi.
Pak Haji Anwar terkekeh juga, "Tidak, Des. Pak Haji bicara sungguhan. Sepertinya sudah cocok jadi menantu saya ini mah," kekehnya sambil menoleh pada sahabatnya yaitu Abah Haji Muhajir, "Gimana, Haj? Setuju tidak kalau kita menjadi besan?" tanyanya pada Abah Haji Muhajir.
Abah Haji Muhajir tampak tersenyum masam. Tentu saja di saat seperti ini ia tidak serius menanggapi kicauan sahabatnya itu, "Sudah bisa apa putrimu itu? Harus ada syarat khusus untuk menjadi menantuku," kekehnya.
Ustadz Destaqi hanya senyum-senyum kecil mendengar obrolan antara Abahnya dengan Pak Haji Anwar. Ia sendiri belum sempat memikirkan soal wanita. Yang ia fokuskan saat ini adalah mengajar dan menjalankan amanah dari Ayahandanya.
"Wah, ngeri sekali aku dengar ucapanmu itu, Haj. Tapi, aku tidak takut. Sebab, putriku sangat cantik, baik dan tentunya pintar." Pak Haji Anwar tertawa pada akhirnya.
Abah Haji Muhajir terkekeh kecil, "Sudah lupakan saja. Sekarang pengajian akan dimulai, para jama'ah sudah banyak yang hadir dan waktu pun semakin berjalan,'' ucapnya yang ditanggapi anggukkan oleh sahabatnya.
BERSAMBUNG...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments