Bab 14

Maher menatap kosong pada jendela kamar yang menghamparkan pemandangan indah kebun teh milik kedua orang tuanya. Sejak tadi ia masih memikirkan tentang wanita misterius yang tak sengaja ia temui di dekat kebun sayuran milik kedua orang tuanya.

Kedua mata bulat, dengan bola hitam, rambut penghias mata yang lentik dan lebat. Sungguh Maher tak bisa melupakan kecantikan bola mata itu. Walau ia hanya menatapnya sebentar, tapi mata indah itu begitu melekat di pikirannya.

"Siapa gadis itu? Kenapa matanya indah sekali." Maher bergumam sambil mengingat kedua mata yang indah milik Alinda.

Sulit melupakan bola mata hitam dengan rambut lebat yang lentik di atasnya. Maher nyaris tak pernah melihat mata indah seperti milik gadis misterius yang tadi subuh bertemu dengannya di jalan.

"Sepertinya aku harus mencari tahu tentang gadis itu. Aku benar-benar tidak bisa melupakan mata indah itu," ucap Maher sambil mengusap wajahnya hampa.

Maher merasa jika dirinya tertarik pada mata indah milik gadis yang ia sendiri tidak tahu bagaimana rupa wajahnya. Tetapi, saat ia melihat bola mata indah itu, dirinya begitu merasa tenang dan dadanya pun berdebar kencang.

"Kamu mau ke mana, Maher?" tanya Mamah Suni Sanjaya yang tak lain adalah Mamahnya Maher.

"Mau jalan-jalan sebentar, Mah. Bosan di rumah terus," jawab Maher sambil meraih kontak kuda besinya.

"Tumben. Jalan-jalan ke mana? Kau tahu di kampung ini tidak ada tempat wisata," tanya sang Mamah yang terus kepo.

Maher mengenakan jaket kulitnya, "Ke mana saja, Mah. Mungkin menyapa seluruh penduduk kampung," jawabnya ngasal.

Mamah Suni menggeleng kecil. Ia melihat ada yang beda dari putra tunggalnya itu. Biasanya Maher akan malas keluar rumah walau hanya sebentar, apalagi di waktu siang seperti ini. Ia bisa keluar rumah saat waktu fajar atau subuh. Paling tidak, malam hari saat bumi gelap tanpa matahari. Tapi kini, Maher keluar rumah dan mengaku bosan di rumah terus. Tentu saja ini sangat aneh dan membuat wanita paruh baya yang masih kinclong itu tampak bingung.

"Maher, besok pagi kau harus kembali ke Jakarta, Nak. Mamah harap kau tidak lupa akan hal itu," ucap Mamah Suni mengingatkan putranya.

Maher mengangguk kecil lantas mencium pipi kiri Mamahnya itu. Walau ia sudah dewasa, tapi ia masih sering manja dan bersikap manis pada Mamahnya itu.

"Oke, Mah. Maher pergi dulu, ya. Bye!" ucap Maher yang kemudian melangkahkan kakinya keluar dari rumahnya.

Dalam sekejap saja ia menaiki kuda besinya itu. Sudah lama ia tidak memakai sepeda motor untuk berkeliling kampung kelahirannya itu. Biasanya ia akan keluar menggunakan mobil. Itupun saat ia hendak berangkat ke Jakarta.

Ya, Maher memang lebih sering tinggal di Jakarta. Karena di sana pun kedua orang tuanya memiliki sebuah rumah yang menjadi tempat tinggal mereka saat berada di Jakarta. Sekolah SD di kampung, SMP di kampung. Sedangkan saat SMA dan kuliah ia di Jakarta.

"Ke mana aku harus mencari gadis itu? Aku sangat penasaran dan ingin melihatnya lagi," ucap Maher dalam hati.

Kini pemuda tampan yang sebaya dengan Ustadz Destaqi itu pun mulai berkeliling. Ia tampak santai mengendarai kuda besinya. Sementara netra hitamnya pun tak henti berkeliaran. Tentunya ia mencari sosok wanita yang misterius itu.

"Ke mana harus kucari gadis itu? Kulitku terasa panas dan seperti terbakar karena kena sinar matahari. Argh! Tapi gadis itu tak kunjung kutemui," cicit Maher dalam hati.

Sementara itu, Alinda kini tampak sedang memakai hijabnya. Gadis cantik itu mulai merasa jika dirinya memang harus merubah cara hidupnya.

"Sepertinya aku harus tafakur lagi di gubug. Oh ya, hari ini aku akan membersihkan gubug itu. Untung saja Bi Herni sudah minta izin pada Pak RT. Jadi, aku sudah bisa mengisi gubug itu. Oke, akan kusulap menjadi tempat yang indah," ucap Alinda dengan senyum ceria.

Ya, Alinda sedang siap-siap akan ke gubug lagi. Beruntungnya Bi Herni dengan Mang Agus memberikan izin padanya untuk mengisi gubug itu. Dan Pak RT yang berperan penting di kampung itu pun turut mengizinkan Alinda dengan syarat tidak boleh menyalahkan siapa pun termasuk dirinya jika terjadi apa-apa pada Alinda sendiri.

Alinda menyetujui hal itu. Karena ia yakin di gubug itu memang tidak ada apa-apa. Buktinya, semalam ia tenang-tenang saja tidur di sana. Dan lagipula, ia hanya akan mengunjungi gubug saat hendak merenung, istirahat, menyendiri, berkhalwat dan menenangkan dirinya.

Setelah selesai memakai hijab serta niqabnya, Alinda pun gegas keluar kamarnya. Kebetulan Bi Herni dengan Mang Agus sedang tidak ada di rumah. Mereka sudah berangkat ke tempat kerja masing-masing. Ya, Mang Agus ke persawahan milik Abah Haji Muhajir, sedangkan Bi Herni ke perkebunan milik juragan Dedy Sanjaya.

"Bismillahirrahmanirrahim." Alinda mengucapkan basmalah saat ia hendak melangkahkan kakinya ke gubug itu.

Dengan pelan dan santai ia berjalan menuju gubug. Di siang hari jam sebelas, Alinda begitu merasa asing dengan kampung Pikanya'ah itu. Ya, karena ia memang tak pernah keluar rumah di siang hari.

"Bade ka mana, Neng?" tanya seorang tetangga yang sedang menjemur padi. Kebetulan di kampung itu sedang musim panen padi.

(Mau ke mana, Neng?)

Alinda menoleh lantas tersenyum. Walaupun senyumannya tak terlihat karena tertutup niqab, tapi siapa pun bisa melihat senyuman itu dari matanya yang menyipit namun berbinar.

"Mau ke gubug, Ceu," jawab Alinda singkat dan ramah.

"Gubug? Ngapain? Jangan main-main ke sana, Neng. Di sana bekas orang bunuh diri. Hiiy, serem tahu!" Wanita itu terlihat kaget dan heran pada Alinda. Ia pun memprovokasi Alinda agar tidak main ke gubug itu.

Alinda tersenyum. "Iya, Ceu. Alin sudah mendengarnya. Tapi, In Syaa Allah Alin selalu dalam lindungan Allah," ucapnya dengan ramah dan lembut.

Wanita itu hanya berdesis kecil dan seakan mencibir Alinda yang kini sudah berjalan melanjutkan langkahnya.

Maher sendiri kini tampak kewalahan karena sosok Alinda belum juga ia temui. "Sial! Sulit sekali mencari gadis itu. Ke mana harus kucari. Para warga di sini pun tak ada yang mengenali," desisnya kesal.

Maher yang nyaris putus asa itu pun pada akhirnya menghentikan laju motornya. Ia memilih berteduh di saung pinggir jalan. Tentu saja ia merasa lelah dan kepanasan. Pemuda tampan itu pun mengipas-ngipaskan tangannya agar menghasilkan angin.

"Apa gadis itu memang bukan penduduk sini? Atau mungkin saja dia sudah kembali ke tempat asalnya? Aku rasa dia memang orang kota, deh. Dilihat dari cara bicara dan penampilannya," gumam Maher yang tampak masih menerka-nerka siapa sosok gadis pemilik mata indah dan pemakai niqab itu.

BERSAMBUNG...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!