Pada akhirnya Maher pasrah dan mengalah. Ia pun memilih untuk bertanggung jawab dan meminta maaf pada gadis muslimah bermata indah itu. Mungkin jika pada saat itu Zahrani tidak berada di sana, pasti konsepnya tidak akan menjadi seperti ini. Ya, pastinya ia tidak akan setegang dan sepanik itu. Gadis yang ia incar itu pasti tidak akan memperpanjang masalah yang sedang ia hadapi.
"Okelah kalau begitu, aku minta maaf karena sudah membuatmu terjatuh dan tak bisa bangkit lagi. Eh, astaga! Kok malah nyanyi!" ucap Maher yang kemudian menepuk jidatnya sendiri karena ia malah menyambungkan ucapannya dengan sebuah lagu. Ada-ada saja memang tingkah lelaki tampan yang berpenampilan maskulin itu.
Zahrani memutar bola matanya malas dan membuang napasnya kasar. Walaupun ia seorang putri bungsu kiyai besar di desa itu, tapi sikapnya memang pember danani dan humble. Ia selalu ceria dan gampang marah pada siapa pun yang berbuat jahat. Sedangkan Alinda yang kini duduk di sebuah tugu tampak menggeleng kecil dan hanya mengelus dada ketika melihat tingkah aneh si pria yang mengejarnya terus menerus.
"Jangan bercanda, A Maher! Cepat minta maaf yang benar dan akui kesalahan A Maher. Kalau tidak, rekaman ini sudah tersebar dalam satu menit!" ancam Zahrani yang tampak menekan setiap ucapannya.
Ya, Zahrani yang cerdas dan profesional itu meminta Alinda untuk bersaksi. Ia pun merekam apa yang Alinda katakan bahwa dirinya dikejar terus menerus dan seperti sengaja dibuntuti oleh Maher. Hingga hari ini ia sampai terjatuh karena menghindari Maher yang terus mengejarnya.
"Cih! Dasar kau licik!" desis Maher sambil menatap sinis pada Zahrani.
Zahrani hanya mendelikan matanya dan tersenyum menantang. "Demi sebuah keadilan dan kebenaran, A Maher bilang ini licik? Tentu tidak, ya! Ini sebuah bukti yang akan diserahkan pada Pak RT dan berlanjut hingga ke bapak gubernur! Paham, tidak?" Ia semakin menantang tanpa takut.
Maher memelototkan kedua bola matanya dan menatap kesal pada Zahrani. Ia tak mengerti mengapa gadis muslimah cantik itu begitu senang menantangnya. Bahkan ia baru tahu saat ini jika Zahrani seorang gadis yang pemberani dan banyak bicara. Seingatnya, dulu Zahrani adalah gadis pendiam dan pemalu. Mereka memang dari dulu jarang bertemu dan bertegur sapa. Tetapi, keduanya tentu saling mengenal karena hidup di dalam satu lingkungan walau rumah Keduanya tidak berdekatan.
"Argh! Terserah apa katamu, Zahrani! Yang pasti aku tidak ingin masalah kecil ini dibesar-besarkan dan diperpanjang. Kau terlalu lebay dan berlebihan! Padahal, ukhti ini sendiri biasa saja dan tidak lebay seperti dirimu!" ujar Maher yang tampak ngegas.
Zahrani memutar bola matanya malas. "Baiklah, kalau begitu sekarang A Maher minta maaf sama si Teteh ini. Terus, A Maher jelaskan apa maksud A Maher terus mengejar dan mengganggu si Teteh ini!" Ia mendesak.
"Astaga! Tadi aku sudah minta maaf. Hei, kau ini terlalu kepo, Zahrani! Ukhti ini saja tidak banyak tanya, kok. Kenapa kau sendiri yang rempong!" cicit Maher kesal.
"Teteh ini benar, memang saya ingin tahu apa maksud Anda terus membuntuti saya," timpal Alinda yang kini buka suara.
Maher tampak membulatkan kedua bola matanya penuh dan menelan ludahnya kasar. Ternyata ia telah salah perhitungan. Gadis berniqab itu rupanya ingin tahu apa tujuannya.
"Tuh! Cepat katakan, A Maher!" desak Zahrani.
Maher mengusap wajahnya kasar. Benarkah ia harus mengatakannya saat ini juga? Padahal, kemarin ia alasannya ingin tahu di mana gadis pemilik mata indah itu membeli hijab.
"Itu, aku ... ah, sebaiknya sekarang kita ke puskesmas dulu saja. Katanya aku harus bertanggung jawab. Di sana biar diperiksa kaki ukhti ini," ucap Maher yang malah mengalihkan pembicaraan.
"Loh, kok ke puskesmas, sih?" protes Zahrani.
"Terus ke mana? Langsung ke rumah sakit?" semprot Maher.
Zahrani mendelikan matanya dan menatap jengah. "Kejauhan. Atuh ke rumahnya Ambu Sarinah biar diurut di sana. Ini kan permasalahannya keseleo, bukan ada luka atau robekan yang harus dijahit. Astaghfirullahaladzim!"
Maher tampak memutar bola matanya malas dan melipat bibirnya ke dalam. Sedangkan Alinda hanya diam dan sedikit pusing melihat perdebatan dua orang yang baru ia kenali. Bahkan dirinya sendiri tidak berniat untuk pergi ke puskesmas ataupun ke tukang urut. Karena, ia merasa jika kakinya baik-baik saja dan hanya sedikit berdenyut.
"Dirimu terlalu kolot, Zahrani! Aku tidak setuju jika dibawa ke tempat Ambu Sarinah. Lebih baik dibawa ke puskesmas biar diperiksa oleh dokter dan jika ada sesuatu langsung dibawa ke rumah sakit lalu di rontgen. Setuju tidak, ukhti?" ujar Maher yang berbeda pendapat dengan Zahrani. Setelah bicara pada Zahrani, ia pun menoleh pada Alinda seraya menatap minta persetujuan.
"Tidak, saya tidak setuju sama sekali," ucap Alinda tanpa basa-basi.
Maher membulatkan kedua bola matanya penuh dan sedikit kaget dengan jawaban gadis bermata indah itu. Sedangkan Zahrani tampak tersenyum lebar dan begitu puas. Ia mengira jika Alinda akan setuju dengan usulannya.
"Loh, kenapa tidak setuju, ukhti? Jangan khawatir, aku yang akan menanggung semua biayanya," ucap Maher sembari menatap heran pada Alinda.
"Tentu karena si Teteh ini setuju dengan usulan Zahra. Pergi ke tempat Ambu Sarinah untuk diurut." Zahrani menimpali seraya tersenyum lebar. Ia sangat percaya diri dengan pendapatnya.
Maher mengernyitkan dahinya. "Benarkah begitu?" Bertanya pada Alinda yang menunduk sambil memijat tipis-tipis kakinya itu.
Alinda mendongakkan wajahnya lalu menatap datar pada Maher. "Tidak juga. Mau ke puskesmas ataupun ke tukang urut, saya tidak setuju." Sejurus kemudian ia menoleh pada Zahrani.
"Apa?" Zahrani tampak membulatkan kedua bola matanya penuh. Ia sedikit tengsin karena tadi sudah terlalu percaya diri.
"Haha! Makanya jangan kege'eran, Rani! Ukhti ini juga gak setuju sama ide kolotmu itu," ledek Maher dengan seringai puasnya.
Zahrani memutar bola matanya malas. "Kalau tidak diurut, nanti bisa bengkak kakinya, Teh." Ia berkata pada Alinda.
Alinda tersenyum di balik niqabnya. Walaupun Zahrani dan Maher tak dapat melihat lengkung di bibirnya, tapi mereka tetap mengetahui jika Alinda sedang tersenyum. Sebab, terpancar dari kedua matanya.
"In Syaa Allah tidak apa-apa, Teh. Saya merasa baik-baik saja. Ini hanya sakit sedikit saja. Terima kasih atas perhatiannya. Sepertinya saya sudah harus pergi," ucap wanita berniqab itu.
"Eh, gak bisa gitu, ukhti. Saya harus bawa kamu ke puskesmas, setidaknya diperiksa dan diberi obat oleh dokter." Maher tampak bicara dengan serius.
"Ya, Teh. Sebaiknya diobati dulu kakinya itu. Walaupun terlihat biasa saja, tapi khawatir ada yang luka dari dalam. Di urut itu yang lebih tepat," timpal Zahrani mendukung Maher.
BERSAMBUNG...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments
Darna Dahlia
putus lagi lagi seruh debatnya si Maher SM s Zahrani 😄
2022-08-25
1