Hari demi hari begitu cepat berlalu. Pendopo milik Abah Haji Muhajir pun sudah selesai dan sudah bisa diisi. Ustadz Destaqi yang tampan itu selalu memantau perkembangan pembangunan pendopo tersebut. Pendopo itu nantinya akan digunakan untuk pengajian umum setiap malam jumat. Pengajian yang akan dihadiri oleh seluruh santri dan masyarakat yang ingin menimba ilmu agama.
Hari ini, segenap keluarga besar Abah Haji Muhajir tampak sedang mempersiapkan untuk pembukaan pengajian sekaligus tasyakuran atas selesainya pembangunan pendopo tersebut.
"Alhamdulillah, akhirnya pendopo ini sudah selesai dibangun. Semoga bisa bermanfaat bagi seluruh umat," ucap Abah Haji Muhajir seraya mengedarkan pandangannya ke setiap penjuru ruangan.
Pendopo yang luas itu kini berdiri dengan megah di tengah lapangan kampung yang sudah Abah Haji Muhajir beli dari pemiliknya. Bangunan yang megah dengan arsitektur kerajaan kuno dan digabung dengan modern begitu terlihat mempesona.
Para santri Abah Haji Muhajir tampak sedang merapikan dan menggelar hambal di pendopo itu untuk pengajian nanti malam. Mereka semua begitu kompak menyiapkan segala sesuatunya.
"Desta pasti sangat nyaman sekali berada di sini, Abah," ucap Ustadz Destaqi sambil meraba dinding yang kokoh dan masih bersih dengan cat warna putih.
"Itu harus, Qi. Makanya Abah sengaja buatkan kamar juga di bagian belakang. Jadi, jika kau sedang ingin menyendiri, atau jika sedang lelah sehabis mengajar, nanti bisa tidur di kamar yang ada di bagian belakang." Abah Haji Muhajir berkata sambil menatap takjub pada tiang-tiang yang kokoh dan menjulang tinggi dengan hiasan cat warna gold.
Ustadz Destaqi tersenyum manis, "Alhamdulillah. Abah memang selalu mengerti," balasnya yang kemudian melangkahkan kakinya ke bagian belakang.
Ustadz Destaqi memang masih single. Maka tak heran jika masih dibebaskan oleh Ayahandanya. Tetapi, kalau soal pendidikan dan kegiatan di pondok pesantren miliknya, tentunya Abah Haji Muhajir sangat memantau dengan teliti. Ustadz Destaqi adalah putra pertama dari pasangan Kiyai Haji Muhajir dengan Nyai Hajah Suranih. Usianya kini sudah dua puluh delapan tahun. Ia memiliki dua orang adik. Adik pertama, seorang laki-laki berusia dua puluh lima tahun. Sedangkan adik yang ke dua seorang perempuan berusia dua puluh dua tahunan. Selisih tiga tahun-tiga tahun.
Ustadz Destaqi adalah sosok seorang kakak yang sangat penyayang dan perhatian pada adik-adiknya. Kedua orang tuanya selalu mengajarkan untuk menjadi seorang kakak yang bisa melindungi dan mengayomi adik-adiknya. Ia sangat lembut dalam bertutur kata, namun sangat tegas dan keras ketika mengajari dan melindungi adik-adiknya.
"Alhamdulillah, semoga setelah ini diriku bisa menjadi lebih baik lagi. Semoga apa yang Abah amanahkan bisa aku jalankan dengan baik dan benar," ucap Ustadz Destaqi sambil menatap kagum pada satu ruang yang akan dijadikan kamar untuknya beristirahat nanti.
Di tempat lain, seorang gadis cantik penyendiri tampak sedang memainkan jarinya di gawainya. Manik matanya menatap serius pada benda pipih yang sedang ia genggam.
"Duh, so sweet sekali," gumam Alinda saat ia membaca adegan romantis di sebuah novel online yang ia baca.
Setiap hari, gadis cantik bermata indah itu memang hanya menghabiskan waktu di dalam kamar. Walau ia mengurung diri dan menghindari bergaul dengan para tetangganya, gadis cantik itu tetap merasa nyaman dengan kesendiriannya. Karena, ada saja yang ia lakukan di dalam kamar.
Terkadang, ia menghabiskan waktu dengan membaca novel lintas digital maupun novel cetak yang ia punya. Jika ia bosan, biasanya gadis cantik itu akan membuka mushaf untuk menghafal ayat-ayat suci di dalamnya. Tak jarang ia pun membaca ayat suci Al-Quran itu dengan suara yang indah dan merdu.
"Sudah jam setengah empat. Sebaiknya aku angkatin jemuran dulu ke belakang," ucap gadis cantik itu yang bergegas menyudahi bacaan novelnya.
Dengan santai ia mengenakan hijab bergonya. Alinda memang gadis yang selalu memakai hijab setiap hari. Walaupun di dalam rumah, ia tetap memakai hijab karena tak ingin terlihat auratnya oleh pamannya. Ya, tentunya ia dengan pamannya yang tak lain adalah suami bibinya, bukanlah mahram. Sebab, yang adik kandung Ayahnya adalah bibinya yaitu Bi Herni.
Alinda melangkahkan kakinya keluar dari kamar. Samar-samar ia mendengar suara Bibi Herni dengan Mamang Agus yang sedang ngobrol di dapur.
"Kumaha atuh nya, Aa. Kin wengi teh acara pembukaan pangaosan di pendopo. Neng teh era ari teu masihan nanaon mah kana Umi Hajah. Bade ngadamel kue kelepon teh acisna tos kaangge. Aya sakedik geh gaduh si Neng Alin sesa nu nawur listrik sasih kapengker tea. Jigana mah moal hadir panginteun Neng mah. Seeur pisan erana," ucap Bi Herni dengan raut wajah yang terlihat murung.
(Gimana ini, Aa. Nanti malam itu acara pembukaan pengajian di pendopo. Neng itu malu kalau gak ngasih apa-apa sama Umi Hajah. Mau bikin kue kelepon tapi uangnya sudah terpakai. Ada sedikit juga punya si Neng Alin sisa membayar listrik bulan kemarin itu. Kayaknya enggak hadir mungkin Neng mah. Banyak sekali malunya.)
"Wios atuh teu nanaon, Neng. Umi Hajah sareng Abah Haji teh teu ngareupkeun pamasihan ti sasaha atuh. Nu penting mah urang teh hadir ngiring pangaosan," balas Mang Agus yang tampak mencoba menghibur istrinya.
(Sudah tidak apa-apa, Neng. Umi Hajah sama Abah Haji itu tidak mengharapkan pemberian dari siapa pun. Yang penting itu kita hadir ikut pengajian.)
Bi Herni terdiam dan masih cemas. Tentu saja, ia yang sebagai masyarakat sekaligus suaminya adalah pegawai yang mengurus sebagian sawah milik Abah Haji dan Umi Hajah, selalu ada keinginan untuk memberi walau hanya sebatas kue biasa. Tetapi, memang hari ini rezeki tidak terlalu mencukupi. Sehingga hal itu membuatnya tidak bisa membuat kue apa-apa.
Alinda yang sedang mendengarkan di balik bilik tampak merasa sedih dengan kegundahan Bibinya. Ia merasa jika selama ini hadirnya dia di rumah itu hanya membuat bibi dan pamannya semakin kerepotan. Akhirnya ia pun kembali ke kamarnya, mengurungkan niatnya yang semula hendak mengangkati jemuran.
"Kasihan sekali bibi sama mamang. Mereka pasti semakin sulit mengatur keuangan setelah kehadiranku di rumah ini," ucap Alinda dalam hati.
Selama ini ia selalu menerima uang dari bibinya untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Ia tak pernah merasa kurang dengan apa yang bibinya berikan padanya. Tetapi, tanpa ia sadar, ternyata sang bibi terkadang sering kesulitan mengatur keuangan yang tak tentu penghasilannya.
"Apa aku jual saja rumah peninggalan ayah dan bunda? Hasilnya bisa untuk modal usaha di sini. Aku juga bisa membantu bibi dan mamang dengan uang hasil penjualan rumah itu," gumam Alinda sembari menatap berat pada langit-langit kamarnya.
Ya, rumah peninggalan kedua orang tuanya memang masih berdiri di kota. Rumah itu belum ada yang mengisi dan belum tahu mau diapakan. Usul bi Herni, rumah itu harus diabadikan karena satu-satunya warisan dari almarhum dan almarhumah kedua orang tuanya Alinda.
BERSAMBUNG...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments
Haikal Ispandi
orang sunda hadir
2023-07-21
0