Bab 17

Hari ini Ustadz Destaqi akan bertemu dengan Khanidah. Tentunya diantar oleh kedua orang tuanya juga. Proses ta'aruf itu akan segera dilakukan. Entah apa yang akan terjadi setelah ini. Ustadz Destaqi pun tidak yakin jika Khanidah akan menerima perjodohan ini. Mengingat bahwa ini bukan lagi zaman Siti Nurbaya. Dan, ia rasa Khanidah sendiri sudah memiliki kekasih.

"Alhamdulillah cuaca hari ini mendukung ya, Abah. Tidak hujan dan pastinya terik agar kita bisa menikmati es campur di Taman Nusantara," ucap Nyai Hajah Suranih yang tampak antusias dan semangat empat lima.

"Ya. Dan semoga saja Allah beri keberkahan pada kita di hari ini dan di hari-hari berikutnya," balas Abah Haji Muhajir.

"Aamiin." Serempak mereka semua mengaminkan.

"Kayaknya yang di samping Arafat ini sedikit tegang, ya." Arafat yang menjadi sopir saat ini pun menggodai kakaknya.

Ustadz Destaqi memutar bola matanya malas dan membuang napasnya kasar. Sebenarnya terlihat jelas sebuah ekspresi penolakan di wajah tampannya itu. Tetapi, semua orang sungguh berpura-pura tidak tahu. Terlebih Nyai Hajah Suranih yang sangat ngebet ingin menjodohkan putra sulungnya dengan putri sahabat suaminya yaitu Khanidah.

"Oh, si Aa, ya? Atuh pasti tegang. Sebentar lagi kan ketemu sama bidadari cantik," kekeh Nyai Hajah Suranih yang terdengar garing di telinga Ustadz Destaqi sendiri.

"Hahaha. Asyik banget punya bidadari cantik. Huhuy!" sorak Arafat yang berbeda spekulasi dengan kakaknya.

Arafat terlihat enjoy dan seakan senang dengan perjodohan yang akan terjadi di antara kakaknya dengan putri sahabat Abah nya.

"Hng! Senang kau, Arafat!" dengus Ustadz Destaqi dalam hati.

"Sudah sudah sudah jangan diganggu dan digoda seperti itu. Kakakmu mungkin sedang berdzikir pada Allah. Atau mungkin sedang berdoa agar diberi kelancaran dan jawaban yang benar atas izin Allah," ujar Abah Haji Muhajir penuh penegasan.

Nyai Hajah Suranih dan Arafat mengangguk mengiyakan. Mereka pun kini diam dan tidak lagi mengganggu Ustadz Destaqi yang sebenarnya sedang bimbang.

Mobil Pajero sport itu pun masih melaju memecah jalanan di kampung Pikanya'ah itu. Cuaca memang terik hari ini. Para petani pun terlihat sedang berteduh di saung-saung sambil mengipas-ngipaskan apa saja yang bisa menghasilkan angin.

Alinda berjalan searah dengan mobil yang Arafat kendarai. Ia terlihat berjalan sambil menunduk. Hijab syar'i warna navy itu tampak terombang-ambing diterpa angin. Sesekali gadis berniqab itu menurunkan helai hijabnya yang seakan hendak membawanya terbang ke angkasa.

"Maa Syaa Allah, anginnya lumayan juga. Tapi, para petani itu masih terlihat merasa kepanasan. Ada apa dengan mereka? Padahal biasanya angin di sawah itu sejuk dan menenangkan." Alinda menoleh ke arah bagian kiri, di mana sawah-sawah membentang membentuk hamparan padi yang menguning.

"Ih, sigana eta teh *******, nya? Kunaha geuning nganggo panutup penteu kawas kitu," bisik-bisik para petani yang masih awam dan terus menganggap wanita bercadar atau berniqab itu adalah *******.

(Ih, kayaknya itu *******, ya? Kenapa ya pakai penutup muka kayak gitu)

Alinda yang merasa sedang dighibahin pun menundukkan wajahnya dan tak ingin memperdulikan tatapan sinis dari orang-orang kampung yang fanatik. Ia sendiri sangat memahami bagaimana kolotnya tradisi dan kepercayaan orang-orang di kampung itu.

Sementara itu, keluarga Abah Haji Muhajir tampak sedikit tercengang melihat seorang gadis memakai pakaian syar'i dengan niqab yang menutupi wajahnya. Kebetulan sekali Alinda sedang menundukkan wajahnya, jadi tak ada satupun yang dapat melihat manik matanya yang sangat indah itu.

"Sekarang teh di kampung ada ukhti-ukhti, ya." Arafat kembali mulai buka suara setelah hening beberapa saat.

"Ukhti-ukhti apaan? Semua wanita ya namanya ukhti. Gimana sih, kamu!" protes Ustadz Uwais sambil menolehkan wajahnya ke arah jendela.

Terlihat Alinda berjalan santai dengan wajah yang menunduk. Gamis dan hijabnya menari-nari terbawa angin.

"Itu, maksudnya yang pakai cadar kayak ninja gitu lho, A. Eh!" ucap Arafat yang keceplosan mengatai gadis pemakai niqab seperti ninja.

"Hust! Dijaga atuh bicaranya, Araf!" Sang Abah yang semula memejamkan mata kini kembali bersuara. Ia menegur putra keduanya yang bicara semaunya.

Arafat mengangguk lemah dan tidak protes apa-apa. Sedangkan Ustadz Destaqi hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berdecak kecil.

"Memang siapa wanita itu? Seumur-umur di kampung ini tidak ada yang berpakaian seperti itu." Nyai Hajah Suranih ikut bersuara.

"Tidak tahu. Sepertinya itu orang baru," jawab Ustadz Destaqi yang kini mulai memasang sabuk pengamannya dan tak mau ambil pusing siapa sosok gadis pemakai niqab itu.

"Ih, kata orang mah itu tuh ciri-ciri *******," celetuk Nyai Hajah Suranih sambil bergidik ngeri.

"Astaghfirullahaladzim. Jangan bicara seperti itu, Umi. Kalau tidak tahu persis, jangan sekali-kali bicara asal seperti itu. Fitnah itu jatuhnya kalau ternyata ucapan Umi salah," ujar Ustadz Destaqi mengingatkan Uminya.

"Bukan fitnah. Kan kata Umi juga, kata orang." Nyai Hajah Suranih mengeluarkan pembelaan.

"Jangan suka ikut-ikutan kata orang kalau itu tidak benar dan belum jelas. Semua orang punya hak dan keyakinan masing-masing. Jadi, jangan suka berpandangan seperti itu pada wanita-wanita pemakai pakaian seperti itu," ujar Abah Haji Muhajir ikut mengingatkan istrinya.

Nyai Hajah Suranih kini diam dan mengangguk lemah. Ia tak ingin lagi berdebat jika sang suami yang sudah bersuara.

"Maklum lah, Abah. Namanya juga wanita, wanita kan memang hobby bergosip. Hehe," kekeh Arafat agar tidak tegang.

Nyai Hajah Suranih tampak mendelikan matanya dan menatap tajam pada putra keduanya itu. Sedangkan Ustadz Destaqi dan Abah Haji Muhajir hanya tersenyum simpul.

"Jangan sekali-kali kita bicara yang belum jelas kebenarannya. Dan jangan sekali-kali kita menuduh yang bukan-bukan pada siapa pun itu. Karena kita tidak tahu mana yang baik dan mana yang buruk menurut Allah." Abah Haji Muhajir berkata sambil mengelus lembut kepala istrinya.

"Iya, Bah," jawab Nyai Hajah Suranih pasrah.

"Mereka berpakaian seperti itu mengikuti sunah para wanita di zaman Nabi. Karena, Nabi pun memerintahkan pada kaum wanita untuk menutupi wajah dan tubuhnya dengan sempurna. Menjulurkan hijab mereka agar menutupi pantat. Toh, berpakaian seperti itu juga bisa menyelamatkan dirinya dan juga para lelaki yang memiliki mata jelalat. Kebanyakan di antara mereka itu adalah wanita-wanita yang memiliki wajah cantik sehingga mereka enggan memperlihatkan kecantikannya pada lelaki yang bukan mahram mereka," papar Ustadz Destaqi penuh penjelasan.

Nyai Hajah Suranih hanya manggut-manggut tanda mengerti. Ia sendiri memang belum sempurna dalam berpenampilan. Ia hanya memakai gamis dan hijab segiempat. Tapi terkadang ia pun memakai hijab bergo yang sedikit panjang dengan model pinguin. Tetapi wajah cantiknya itu memang tak pernah ia tutupi pakai niqab ataupun cadar. Paling hanya memakai masker jika sedang dibutuhkan.

BERSAMBUNG...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!