Saat Mang Agus dan Bi Herni pulang. Mereka tidak menaruh rasa curiga apa-apa pada Alinda. Mereka tentunya tidak tahu bahwa gadis cantik yang kini sudah mereka anggap sebagai anak sendiri ternyata tidak ada di kamarnya.
"Alhamdulillah nya, A. Urang teh masih tiasa ningali nu sae-sae, masih tiasa ngadangu nu sae-sae. Pamugia Gusti Allah neras masihan pituduh sareng pituturna ka urang sadaya," ucap Bi Herni sambil kembali menutup pintu lalu menguncinya.
(Alhamdulillah ya, A. Kita itu masih biasa melihat yang bagus-bagus, masih bisa mendengar yang bagus-bagus. Semoga Allah terus memberikan petunjuk dan pertolongannya pada kita semua.)
Mang Agus mengangguk sambil tersenyum, "Aamiin. Nu terpenting teh, pamugia Abah Haji sareng Bu Nyai, teras Ustadz Destaqi sareng keluargina sadayana teh dipasihan kasehatan supados tiasa masihan cahaya di kampung urang ieu," balasnya penuh harapan.
(Aamiin. Yang terpenting itu, semoga Abah Haji dengan Bu Nyai, terus Ustadz Destaqi dan keluarganya semuanya itu diberikan kesehatan agar bisa memberikan cahaya di kampung kita ini.)
"Aamiin Yaa Allah. Katanya mah Ustadz Destaqi teh bakalan jadi penerus Abah Haji Muhajir dalam memimpin pondok pesantren milik beliau." Bi Herni berkata sambil melepas hijabnya.
"Atuh etamah pasti, Neng. Saha deui selain Ustadz Destaqi. Pan Aa Arafat sareng Teh Zahrani mah can tiasa panginteun, Neng. Oge pan Ustadz Destaqi mah putra cikalna atuh. Jadi wajar bae pami jadi penerus Abah Haji Muhajir," ucap Mang Agus dengan serius.
(Ya itumah pasti, Neng. Siapa lagi selain Ustadz Destaqi. Kan Aa Arafat sama Teh Zahrani mah belum bisa mungkin, Neng. Lagipula kan Ustadz Destaqi mah putra sulungnya. Jadi wajar saja kalau jadi penerus Abah Haji Muhajir.)
Bi Herni manggut-manggut tanda mengerti. Mereka berdua tampak selalu kagum pada keluarga kiyai besar itu. Selain karena alim ulama, juga karena akhlak keluarga Abah Haji Muhajir sangat bagus dan begitu mencontohkan yang baik pada masyarakat. Selain itu, Abah Haji Muhajir dan Nyai Hajah Suranih juga orangnya sangat ramah, hangat dan baik pada masyarakat kampung Pikanya'ah.
"Si Alin sudah tidur belum, ya? Ini tadi Neng teh dikasih nasi besek sama Umi," ucap Bi Herni sambil beranjak dari duduknya lalu melangkahkan kakinya ke kamar Alinda.
Tok tok tok!
Bi Herni mulai mengetuk pintu. Tentunya ia tak tahu bahwa Alinda tidak ada di kamarnya.
"Neng, sudah tidur belum?" tanya Bi Herni sedikit meninggi agar Alinda dapat mendengar suaranya.
Hening, tak ada suara di dalam sana. Padahal waktu baru menunjukkan pukul sebelas malam. Biasanya Alinda masih melek menonton drama Korea atau membaca novel lintas digital. Tapi kini, tak ada suara dan hal itu membuat Bi Herni mengira jika keponakannya itu sudah tidur.
"Sudah tidur kayaknya, A. Gak ada jawaban," ucap Bi Herni sambil menoleh pada suaminya.
"Biasanya dia hobby begadang. Apa mungkin sedang marah dan ngambek sama Aa perihal ucapan Aa tadi?" tebak Mang Agus yang tampak sedikit cemas. Tentunya ia akan merasa bersalah jika Alinda sampai marah dan tidak mau bertemu dengannya hanya karena ucapannya beberapa jam yang lalu.
"Itu dia. Kalau marah, itu wajar. Tapi, apa baiknya Neng masuk saja?" tanya Bi Herni meminta persetujuan.
Mang Agus mengangguk, "Coba saja. Mungkin dia memang lagi malas sama Aa. Kalau gitu Aa masuk kamar saja," ucapnya yang kemudian beranjak dari duduknya lalu melangkahkan kakinya ke kamar.
Bi Herni mengangguk paham. Tanpa pikir panjang ia pun membuka pintu kamar Alinda. Ia berharap keponakannya itu belum tidur karena ia membawa nasi besek dari Nyai Hajah Suranih tadi.
"Neng Alin," panggil Bi Herni sambil menyalakan lampu.
Lampu kamar memang Alinda matikan tadi. Hal itu sengaja ia lakukan agar bibi serta pamannya mengira dirinya sudah terlelap.
"Astaghfirullahaladzim! Aliiiin! Alin, kamu ke mana, Alin?" pekik Bi Herni yang mulai panik dan kaget saat melihat kamar kosong tanpa penghuni.
Tentu saja saat itu juga kakinya terasa lemas dan gemetar. Ia begitu panik karena Alinda tidak ada di kamarnya.
"Ada apa, Neng?" Mang Agus yang baru saja hendak merebahkan tubuhnya di kasur tampak kaget mendengar pekikan istrinya.
Bi Herni merosot ke lantai. Kakinya sangat lemas dan dadanya kini terasa sesak. Ia mulai takut dan khawatir pada keponakannya.
"Alin, A. Alin gak ada," ucap Bi Herni melemah.
"Apa? Alin gak ada!?" Mang Agus yang semula hanya berdiri di depan kamar Alinda, kini tampak masuk dan memantau setiap sudut. Ia pun sangat kaget mendengar ucapan istrinya.
"Gimana ini, A. Neng takut Alin kenapa-kenapa. Dia pasti marah dan tidak terima dengan ucapan Aa maupun Neng. Dia mungkin sakit hati dan berontak sehingga membuatnya kabur dari rumah," ucap Bi Herni dengan suara yang bergetar dan keringat dingin pun mulai mengucur di wajahnya.
Mang Agus menatap tajam pada jendela kamar yang terbuka. Kini ia mulai paham bahwa Alinda kabur lewat jendela itu. "Tenang, ya. Dia pasti tidak berani melakukan apa pun. Aa pasti akan cari Alin sampai ketemu," ucapnya menenangkan istrinya.
Bi Herni kini tampak menangis dalam pelukan suaminya. Bahkan nasi besek yang semula ada di tangannya, kini jatuh ke lantai ubin dan berantakan tak dihiraukan.
"Ayo cepat kita cari, A. Dia yatim piatu yang malang. Mestinya kita melindunginya. Neng pasti akan menyesal dan merasa bersalah seumur hidup jika Alin sampai kenapa-napa," ucap Bi Herni yang kini tampak terisak dan begitu cemas pada keponakannya.
"Aa tahu. Aa juga pasti akan menyesal jika memang benar dia kabur dan marah besar karena ucapan Aa. Kalau gitu, ayo tinggalkan rumah dan cari Alin sampai ketemu. Jangan sampai ada orang lain yang melihatnya, karena hal itu akan menimbulkan fitnah, kecurigaan dan tentunya masalah yang sangat besar nantinya," ujar Mang Agus sambil mengusap kepala istrinya guna menenangkannya.
Bi Herni mengangguk pasrah. Ia pun mengusap air matanya lalu menutup rapat jendela kamar Alinda. Kemudian ia kembali memakai hijabnya, setelah itu ia keluar bersama suaminya. Tak lupa mengunci pintu dan membawa senter guna untuk menerangi jalan mereka.
"Yaa Allah, Alin. Di mana kamu, Neng? Kenapa bisa marah seperti ini," gumam Bi Herni yang masih sesak karena takut kehilangan keponakannya.
Mereka berdua terus berjalan dan mencari ke setiap tempat. Mulai dari semak-semak, pos ronda, sungai, dan setiap tempat yang mereka lewati. Namun, sosok Alinda masih belum mereka temui.
"Ini sudah malam, A. Ke mana dia pergi? Mestinya dia memiliki rasa takut," ucap Bi Herni yang terus mengedarkan pandangannya ke segala arah.
BERSAMBUNG...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments