Bab 18

Di rumah, Maher tampak uring-uringan dan terlihat resah karena masih memikirkan sosok wanita berniqab itu. Kemarin saat ia bertemu dengan gadis bermata cantik itu, ketenangannya belum kembali karena masih membutuhkan waktu untuk bisa dekat dan kenal dengan sosok gadis bermata indah itu. Tetapi, ia sendiri bingung bagaimana caranya untuk bisa kenal dekat dengan gadis berniqab itu.

"Argh! Kenapa gadis itu selalu terngiang di kepalaku." Maher mengacak rambutnya frustasi.

Bahkan hari ini ia yang semestinya kembali ke Jakarta pun mengaku tidak enak badan pada Mamanya. Ya, pada akhirnya sang Mama yang menggantikannya ke Jakarta. Ia terlalu serius memikirkan gadis bermata indah itu.

"Hari ini aku harus berhasil mendapatkan namanya. Termasuk mendapatkan informasi tentang gadis itu. Ini gila! Padahal aku belum melihat wujud wajahnya. Tapi, aku sudah begitu tertarik dengan mata indah miliknya itu." Kembali Maher dibuat frustasi oleh dirinya sendiri.

Tak ingin semakin pusing, akhirnya Maher pun gegas meraih jaketnya lalu berjalan keluar rumah. Kali ini ia tak menggunakan motor, tapi menggunakan sepeda lipatnya. Ada-ada saja tingkah pemuda tampan itu agar bisa kenal dekat dengan Alinda.

"Mau ke mana, Den? Mamah tadi pesan agar Aden tidak ke mana-mana," ucap wanita tua yang bekerja di rumah Maher.

"Kenapa tidak boleh ke mana-mana, Mak?" tanya Maher dengan heran.

"Anu, kan Aden sedang tidak enak badan. Jadi kata si Mamah, Aden istirahat saja di rumah," jawab Mak Armah.

Maher tampak menelan ludahnya kasar. Ia baru ingat jika dirinya sedang pura-pura sakit. "Oh iya, Mak. Tapi, saya merasa bosan berada di kamar terus. Lagipula sekarang sudah agak membaik, sih. Jadi, tidak apa-apa saya keluar sebentar, ya." Ia beralibi dengan seribu macam alibi.

"Tapi kalau si Mamah nanyain nanti gimana, Den? Papah juga kan sedang tidak ada di rumah." Mak Armah terlihat cemas.

"Jangan khawatir. Bilang saja Aden sudah membaik," ujar Maher penuh penegasan, "Oh ya, Papah ke mana, Mak?" tanyanya kemudian.

"Tapi kalau ada apa-apa, jangan salahin Emak ya, Den," tegas Mak Armah yang disambut anggukan oleh Maher, "Si Papah teh sedang ke kampung sebelah, ada yang pesan sayuran buat hajatan katanya, Den," lanjutnya.

"Oh gitu, ya sudah saya keluar dulu, Mak. Mak di sini saja, jaga rumah," ucap Maher yang kemudian bergegas menaiki sepeda lipatnya.

Sementara itu, Alinda saat ini sedang duduk di saung yang kemarin dipakai oleh Maher untuk beristirahat. Karena cuaca yang begitu panas, Alinda pun memilih untuk duduk sebentar dan menyedot air mineral yang ia bawa dari rumah.

"Aku harus menemukan jalan agar bisa membantu bibi sama mamang. Mereka berdua tidak setuju jika aku menjual rumah peninggalan ayah dan bunda. Jadi, aku harus putar otak agar bisa bantu perekonomian bibi dan mamang," ucap Alinda sambil menatap jauh pada hamparan padi yang sudah menguning.

Ya, Alinda memang belum tahu apa yang harus ia lakukan agar bisa membantu meringankan beban bibi serta pamannya itu. Tetapi, ia akan terus berusaha keras berpikir bagaimana caranya agar bisa membantu bibi dengan pamannya.

Di kejauhan, Maher yang mengayuh sepedanya tampak tersenyum lebar dan sumringah saat melihat sosok wanita bercadar yang sedang duduk di saung.

"Asyik! Kalau jodoh memang tak ke mana. Huhuy!" sorak Maher sembari mengayuh sepedanya dengan sangat cepat.

Alinda tak menyadari jika ternyata Maher menghampiri dirinya dengan sepeda. Hal itu membuat dirinya kaget saat tiba-tiba Maher berhenti di hadapannya.

"Assalamu'alaikum, ukhti." Maher menyapa dengan salamnya.

Alinda tampak menatap kaget dan setengah tak mengerti dengan sosok pria yang selalu seperti sengaja ingin bertemu dengannya. Ya, tentunya memang dia sengaja.

"Anjay! Matanya...." Maher kembali terpesona dengan keindahan kedua manik mata milik gadis berniqab di hadapannya itu.

"Waalaikumsalam warahmatullahi wa barakatuh," jawab Alinda dengan suara yang lirih dan nyaris berbisik. Ia pun gegas meraih air minumnya dan berdiri.

"Kebetulan sekali kita bertemu lagi," ucap Maher dengan entengnya.

Alinda memutar bola matanya jengah dan menundukkan wajahnya. "Saya permisi." Setelah berkata demikian, ia pun gegas melangkahkan kakinya dan tak menghiraukan Maher yang tersenyum melihat dirinya.

Melihat tingkah Maher, Alinda mulai curiga dengan pria tampan itu. Ia merasa jika Maher memang sengaja mengatur waktu agar bisa bertemu lagi dengannya. Tetapi, apa maksud tujuan lelaki itu? Tentu saja Alinda sama sekali tidak tahu.

"Ukhti, bisakah kita bicara lebih panjang lagi? Seperti musik yang selalu kudengar di sepanjang malam. Dia begitu damai mengisi ruang dalam telingaku," ucap Maher sambil mengayuh sepedanya kembali.

Alinda tampak sedikit kaget dan panik saat Maher mengajaknya bicara. Terlebih saat ia menyadari jika pria itu kembali mengayuh sepedanya dan mengikuti dirinya.

"Astaghfirullahaladzim. Apa maunya lelaki ini." Alinda berdesis dalam hati.

"Ukhti, kemarin aku sudah mencari hijab yang kamu pakai itu di aplikasi belanja online. Tetapi, aku sama sekali tidak menemukannya. Berarti kamu berdusta, ya?" Kembali Maher membuka suaranya.

Deg!

Alinda tampak tersentak kaget saat Maher menudingnya berdusta. Ia pun menghentikan langkahnya dan menarik napasnya dalam lalu membuangnya perlahan. Sementara itu Maher tampak tersenyum puas dan sumringah. Ia pun turut menghentikan goesan kakinya.

"Padahal aku mau kasih hadiah buat Mamahku. Dia pasti senang sekali kalau aku kasih hadiah hijab seperti yang kamu pakai," ucap Maher lagi.

"Aku tidak berdusta! Bukan hijabnya yang tidak ada di toko aplikasi belanja daring itu. Tapi Anda sendiri yang berdusta dan berpura-pura!" ujar Alinda yang tampak menekan setiap ucapannya.

Maher tampak terkesiap mendengar ucapan gadis berniqab di hadapannya itu. Sementara Alinda kini sudah kembali melangkahkan kakinya dan terkesan cuek pada pria tampan yang mengikutinya.

"Gila! Ajaib sekali gadis ini. Dia bisa tahu kalau aku hanya berpura-pura," ucap Maher dalam hati.

"Sepertinya aku harus mempercepat langkah kakiku. Lelaki ini memang sengaja mengikutiku." Alinda bicara dalam hati. Ia semakin mempercepat langkah kakinya.

"Tunggu, ukhti!" Maher kembali mengayuh sepedanya dan mengejar Alinda yang kini terlihat setengah berlari.

"Astaghfirullahaladzim. Dia benar-benar mengikutiku!" Alinda semakin panik dan tegang. Walau terik dan diterpa angin, ia tetap berlari kecil agar cepat menjauh dari Maher.

"Aku ingin kau yang mencarikan hijab untuk Mamahku. Aku mohon, ya! Aku minta tolong. Sepertinya aku tidak mengerti soal hijab. Jadi, kau saja yang mencarinya. Nanti aku bayar tiga kali lipat," ujar Maher yang kini tampak menaikkan suaranya.

Alinda tak menggubris, ia terus berlari dan semakin ketakutan. Dan Maher, si pemuda tampan itu terus mengejar Alinda dengan gesit. Seperti seekor singa yang kelaparan mengejar seekor kancil.

BERSAMBUNG...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!