Bab.16

Arman mengendarai sepeda motor metik milik Kakak iparnya menyusuri jalanan kota. Langit nampak begitu gelap, petir menggelegar di sertai angin kencang.

Setelah beberapa saat hujan mulai turun. Arman yang terjebak kemacetan tidak bisa berbuat banyak. Ia hanya bisa membiarkan tubuhnya terguyur hujan.

Ketika lampu sudah berubah menjadi hijau Arman segera melajukan motornya dan menepi di sebuah halte bus untuk berteduh, meski sebenarnya tubuhnya sudah basah kuyup. Matanya menatap nanar ke arah depan, entah apa yang ia pikirkan. "Kenapa aku harus terjebak hujan, seperti ini lagi, Chyntia."

~

Di tempat berbeda ketika suara petir menggelegar, Syifa tak henti-hentinya mondar-mandir tidak jelas di ruang tamu rumah. "Apa Mas Arman sudah di jalan ... jangan-jangan dia kehujanan."

Meskipun hubungannya dan Arman tidak seperti suami istri pada umumnya, tetapi ketika hujan seperti ini tentu saja ia mengkhawatirkan sang suami yang harus mengendarai motor matic butut milik Kakaknya.

"Fa, kamu kenapa mondar mandir di depan pintu. Istirahat di kamar sana," tegur Ayah yang sedang menutup jendela agar hujan tidak masuk.

Syifa menghampiri sang ayah dengan raut wajah khawatir yang terlihat begitu jelas. "Mas Arman belum pulang Yah, ini sudah setengah enam sore. Jangan-jangan dia terjebak hujan."

"Mana dia pakai motor butut si Devan. Kenapa juga tadi kamu tidak naik taksi saja. Kalau kamu khawatir, telepon saja," ucap Ayah lalu melangkah pergi meninggalkan Syifa.

"Benar juga kata Ayah." Syifa segera melangkah cepat menuju kamarnya untuk mengambil ponsel. Ia kembali mondar-mandir tidak jelas dengan ponsel yang sudah menempel di telinga.

Beberapa kali mencoba untuk menelepon namun tidak tersambung karena mungkin terganggu jaringan jelek saat hujan. Hal itu pun membuat Syifa semakin khawatir. "Apa aku susul saja ...."

Beberapa saat Syifa terdiam, akhirnya ia keluar dari kamar tersebut untuk menghampiri sang kakak yang sedang tertidur di kamarnya. Namun satu hal yang menjadi PR Syifa selama hidup di dunia yaitu kesulitan untuk membangunkan sang kakak.

"Kak Devan, bangun." Ia mengguncang tubuh Devan sekuat tenaga agar kakaknya itu terbangun, tetapi tentu saja hal itu tidak mudah karena Devan adalah tipe orang yang ketika tidur seperti orang pingsan.

"Kak Devan, ayo bangun!" Suara Syifa mulai meninggi ketika ia sempat hilang kesabaran. Namun semua itu pun tidak berarti. Ia kembali memutar otak, apa yang harus di lakukan jika Devan tidak mau bangun juga.

Pandangannya tiba-tiba saja tertuju ke kunci mobil yang ada di atas nakas di samping ranjang. Ia menggelengkan kepalanya saat mengingat terakhir kali menyetir mobil. "Apa aku harus ... ah tidak bisa."

Syifa kembali mencoba menelepon Arman siapa tahu saja tersambung. Namun jawaban yang ia dapatkan adalah, Maaf nomor yang anda tuju sedang di luar jangkauan.

Pandangannya kembali melihat ke arah nakas dan beberapa saat kemudian tangan Syifa bergerak cepat mengambil kunci mobil itu. Tindakan yang memang terbilang nekat, belum lagi ia pergi dalam keadaan hujan deras.

Saat hendak membuka pintu keluar Syifa menghentikan langkahnya. Ia kembali tersadar, kenapa begitu berlebihan mengkhawatirkan seseorang yang bahkan tidak menganggapnya sebagai seorang istri.

Ada apa dengan diriku ini. Aku yakin sekarang dia dalam keadaan baik-baik saja entah itu di tengah hujan atau berteduh di trotoar jalan. Rasa khawatir timbul begitu saja entah karena memang dari hati atau bawaan bayi, batin Syifa.

Tak mau terjebak pikirannya sendiri, ia kembali melanjutkan langkah keluar dari rumah. Untung saja mobil itu terparkir tempat di depan teras.

"Syifa! Kamu mau kemana?"

Syifa yang sudah masuk dalam mobil membuka kaca jendela untuk melihat sang ayah yang tiba-tiba saja keluar dari dalam rumah. "Aku mau menyusul Mas Arman, Yah."

"Kamu gila ya! Sekarang sedang hujan, ayo turun."

Melihat sang ayah yang melangkah menghampirinya di mobil Syifa segera menghidupkan mesin dan langsung tancap gas. "Aku akan segera kembali, Assalamualaikum."

Helaan napas Ayah terdengar berat saat memandangi sang Putri pergi mengendarai mobil di tengah hujan yang tak juga berhenti. "Anak itu, selalu saja keras kepala."

~

Hujan tak kunjung berhenti membuat Arman tidak henti-hentinya melihat arloji yang menempel di pergelangan tangan. Hari semakin gelap ketika langit hitam pekat dan kilat mendominasi langit, biasanya diwarnai cahaya jingga dari matahari senja.

Arman menatap nanar ke arah jalanan yang terguyur hujan, tiba-tiba dadanya terasa sesak ketika mengingat kecelakaan empat silam. Kecelakaan tragis yang telah merenggut nyawa istri yang begitu ia cintai.

Setelah sekian lama trauma itu datang kembali tubuhnya terasa bergetar dan nafasnya tersengal-sengal. "Chyntia, aku ... aku tidak bisa seperti ini."

Bayangan-bayangan saat mobil itu meledak kembali tergambar jelas dalam ingatan. Arman masih ingat betul, saat itu ia berteriak di tengah derasnya hujan karena tidak bisa melakukan apapun, semua orang menghalanginya untuk menyelamatkan sang istri.

Tidak ada yang salah dalam sebuah takdir yang telah digariskan, tetapi bagi Arman kematian Chintya adalah bagian dari keteledorannya. Arman menutup kedua telinganya karena tidak suka mendengar suara hujan. "Hentikan, hentikan aku mohon!"

Suara isakan lirih terdengar. Di tempat itu Arman hanya sendirian tidak ada yang menguatkan ketika trauma itu kembali saja merusak mentalnya.

Setelah beberapa saat...

Kepala Arman kembali terangkat ketika mendengar suara mobil berhenti tepat diharapkannya. Dengan mata berkaca-kaca, ia memandangi seorang wanita yang keluar dari dalam mobil dengan tatapan sendunya.

"Mas Arman, badan Mas basah semua." Syifa nampak begitu khawatir, ia menatap sang suami yang hanya terdiam dengan mata berkaca-kaca. "Mas tidak apa-apa?"

Tanpa mengatakan apapun, ia langsung memeluk Syifa dengan erat. Tangisnya pecah begitu saja meski tanpa suara. Ya, seorang laki-laki yang begitu perfeksionis menangis diperlukan wanita yang bergelar sebagai, Istri.

Selama empat tahun terbelenggu dalam luka dan juga trauma, Arman akhirnya memiliki sandaran untuk meluapkan kesedihannya.

Meski bingung dengan keadaan ini, Syifa mencoba untuk mengerti mungkin Arman mengingat sesuatu yang begitu menyakitkan. "Mas, apa yang terjadi?"

"Dia pergi meninggalkan aku ketika hujan. kecelakaan hari itu ...." Arman tidak bisa melanjutkan ucapannya karena bayangan itu semakin menyesakan dada.

Perlahan kedua tangan Syifa terangkat ke atas menepuk-nepuk pelan punggung Arman. Sudah ia duga pasti semua ini tentang Cynthia. Ia tidak tahu pasti bagaimana kronologisnya, namun ia tahu trauma sang suami begitu berat untuk di lupakan.

"Tidak apa-apa Mas, yakinlah semua akan baik-baik saja. Mulai sekarang bersandar kepadaku, jangan memendamnya sendiri, berbagilah kepadaku meski hanya lewat cerita."

Arman semakin mempererat pelukannya seraya menenggelamkan wajah di bahu kecil sang istri.

Bersambung 💕

Bab selanjutnya ➡️ (Istri cerewet?)

Terpopuler

Comments

Yanti Raisyafariz

Yanti Raisyafariz

Lanjut thor

2023-06-09

1

AmiAlza

AmiAlza

😭😭😭😭😭aku nangis thor..
yaa ampun tersedu sedu😭😭😭

2023-05-23

0

ani surani

ani surani

guyur air sj Fa 🤭🤭

2023-04-13

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!