Bab.9

Firman mundur dua langkah kebelakang, mencekram erat surat undangan yang hendak ia hantarkan. Tidak percaya pada kenyataan membuktikan bahwa bukan Syifa yang larut dalam kenangan, tetapi dirinya lah yang tidak bisa melepaskan.

"Maaf, saya harus pergi sekarang." Tanpa menunda waktu, ia berbalik pergi. Beberapa menit yang lalu ia berharap Syifa menangis karena mengetahui ia akan menikah namun kenyataan bicara berbeda. Tanpa sempat mengatakan maksud dan tujuan, Firman sudah kalah sebelum balas dendam.

Arman masih merangkul Syifa hingga mobil Firman menjauh pergi dari halaman. Setelah itu, tentu saja akting berakhir. Ia melepaskan tangannya seraya menghela napas pelan. "Hufft, ternyata dia orangnya?"

Akhirnya Syifa mengerti kenapa tiba-tiba saja Arman bersikap begitu mesra di depan Firman. "Hm, dia orangnya. Meninggalkan tanpa mendengar penjelasan. Sebenarnya aku sudah ikhlas tapi kenapa Mas Arman malah berakting seperti tadi?"

Sambil berkacak pinggang Arman menatap Syifa tak percaya, karena menurutnya pria seperti itu memang harus diberi pelajaran. "Kamu tidak sadar aku baru saja membantu mu? Dia pasti menyesal setelah tahu kamu sudah menikah dan suami mu adalah aku."

Syifa memutar bola matanya malas, saat melihat Arman yang begitu percaya diri dengan ucapannya. Tiba-tiba saja ia kembali penasaran bagaimana bisa Arman dan Firman saling mengenal. "Oh iya tadi Mas belum menjawab ku, kalian kenal dari mana?"

Arman kembali memasang wajah songongnya, dengan begitu percaya diri Ia berpangku tangan seraya menyandarkan tubuhnya di dinding teras. "Dia adalah seorang manajer personalia di perusahaan milik Arman Alfarizi, jadi sekarang kamu sudah tahu kan aku siapa."

Syifa membulatkan matanya sementara Arman melangkah masuk ke dalam rumah. Selama hampir satu tahun mengenal dan menjalin hubungan dengan Firman, Syifa tahu jika mantan calon suaminya itu bekerja di salah satu perusahaan besar dengan posisi manager, tetapi ia tidak tahu jika orang yang menjadi suaminya saat ini adalah pemilik perusahaan tersebut.

Ya, pernikahan ini bukanlah keinginannya jadi selama dua minggu lebih masa pengenalan ia tidak banyak bertanya tentang siapa calon suaminya dan apa pekerjaannya. Yang Syifa tahu ia sedang mengandung anak dari pria itu.

~

Setelah menghabiskan waktu bersama keluarga untuk sarapan bersama, pukul satu siang Syifa menyeret kopernya keluar dari kamar karena sebentar lagi ia akan berangkat ke rumah Arman.

"Sudah semua?" tanya Arman seraya mengambil alih koper Syifa.

"Iya sudah." Ia beralih melangkah menghampiri Ayah dan juga Kakaknya. "Ayah, Kak Devan aku pergi dulu. Aku akan datang satu minggu sekali, jangan banyak makan mie instan dan merokok selama aku tidak ada."

"Iya Ayah tau," jawab Ayah singkat, ia nampak sulit untuk melepaskan namun ego diri membuat gengsi setinggi langit tidak bisa di singkirkan.

Devan bergerak memeluk sang adik, entah mengapa, akhir-akhir ini ia sadar bahwa selama ini ia sudah banyak merepotkan adiknya sendiri. "Kamu jaga diri baik-baik, Kakak akan mampir jika ada waktu."

"Iya, tau deh yang sebentar lagi mengakhiri masa pengangguran," ucap Syifa saat sang Kakak melepaskan pelukannya.

Setelah Syifa, kini giliran Arman ia menjabat tangan sang ayah mertua dan juga kakak iparnya. "Kalau begitu kami pergi dulu."

"Iya, hati-hati Arman," ujar Ayah.

Syifa dan Arman berbalik melangkah masuk ke dalam mobil. Ayah dan Devan hanya bisa memandangi kepergian seorang wanita yang selama ini sudah menjaga, bahkan menafkahi kehidupan mereka sehari-hari.

~

Di tempat berbeda, Firman yang baru saja sampai ke rumah, menghempaskan tubuhnya di sofa ruang keluarga dengan wajah kesal yang tak juga sirna. Hal itu membuat sang Mama kaget karena saat pergi tadi putranya terlihat baik-baik saja. "Fir, kamu kenapa? Baru pulang mukanya di tekuk begitu."

"Syifa, dia ternyata sudah menikah." Merasa begitu frustasi, ia mengusap wajahnya dengan kasar karena tak bisa berpikir jernih, entah apa yang ia rasakan saat ini, padahal sebentar lagi ia akan menikah tetapi melihat sang mantan bahagia, perasaannya menjadi tak karuan.

"Kamu menemui wanita murahan itu? Buat apa sih Firman, mau dia menikah atau mau dia mati sekalian, ya biarkan saja. Kamu juga sebentar lagi akan menikah dengan wanita yang bibit ,bebet, bobotnya jelas."

Firman malah semakin merasa tertekan ketika mendengar ucapan sang mama, ia tidak tahu bagaimana cara menjelaskan kepada sang Mama siapa suami dari mantan kekasihnya itu. "Mama tidak mengerti, jangan banyak bicara, aku pusing."

Segera saja ia beranjak pergi, meninggalkan tempat itu. Menapaki tangga demi tangga menuju kamarnya. Sang Mama masih berada di sana, memandangi kepergian Firman dengan segala kebingungan yang mendominasi pikiran. "Dia kenapa lagi."

~~

"Tidak usah, biar aku saja," ucap Arman saat sang istri hendak mengangkat koper di bagasi mobil. "Ayo masuk."

Syifa malah begitu fokus memandangi rumah mewah itu. Melihat Arman yang sudah melangkah jauh darinya Ia pun segera menyusul, berlari kecil agar bisa mengimbangi langkah Arman.

"Mas tinggal sendiri?" tanyanya tiba-tiba saat Arman hendak membuka kunci pintu.

"Ya, semenjak kematian Chyntia aku tinggal sendiri. Seminggu sekali pembersih rumah dan taman yang akan datang. Selama di sini kamu tidak boleh banyak melakukan aktivitas, jaga kandungan kamu sebaik-baiknya," jawab Arman seraya terus berusaha membuka pintu.

Klek.

Pintu rumah mewah itu akhirnya terbuka.

"Masuklah," ucap Arman.

Syifa kembali menggedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan yang didesain dengan tema estetik, didominasi warna putih dan abu-abu dengan furniture yang juga terlihat begitu modern.

"Kamar ku di mana?" tanya Syifa tiba-tiba, sebenarnya ia sangat lelah dan mengantuk. Padahal dulu ia jarang sekali tidur siang, semenjak hamil ada saja hal baru yang berubah darinya.

Langkah Arman terhenti saat mendengar pertanyaan Syifa. Ia berbalik menatap sang istri seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Karena aku biasanya tinggal sendiri jadi hanya ada satu kamar yang terisi. Untuk sementara waktu kamu bisa tidur di kamar ku sampai kamar tamu selesai di renovasi."

"Satu kamar, lagi?" tanya Syifa yang terlihat kaget.

"Tidak, aku akan tidur di ruang kerja ku. Jadi tenang saja, ayo naik," ucap Arman sambil melangkah naik kelantai dua di ikuti oleh Syifa.

Sesampainya di dalam kamar, mata Syifa melihat jam besar yang ada di dinding kamar menunjukkan pukul satu siang, tiba-tiba ia menepuk jidatnya karena lupa membawa mukena dan juga sajadahnya. "Astaghfirullah, mukena, sajadah kok bisa lupa."

Langsung saja iya menghampiri sang suami yang sedang menyibak tirai kamar. "Mas, apa di sini ada mukena dan sajadah?"

"Mukena, sajadah?" Arman terdiam sebentar apakah ia memiliki kedua benda tersebut. "Tidak, tidak ada benda seperti itu di rumah ini."

"Hah, tidak ada? Baiklah, aku akan pakai jilbab panjang ku saja dan kain. Kalau begitu, kiblat di rumah ini ke arah mana?"

Arman kembali berpikir, selama ini ia selalu sibuk dengan urusan duniawi hingga melupakan sesuatu yang wajib dikerjakan oleh seorang muslim. "Lihat kompas saja, aku tidak tau."

Karena merasa malu dengan dirinya sendiri Arman segera keluar dari kamar tersebut, sementara Syifa memandangi suaminya dengan tatapan tak percaya. "Ternyata benar, manusia yang mempunyai segalanya di dunia tapi belum tentu ia akan meliki hal itu di akhirat."

~

Begitu lama Syifa tertidur hingga saat ia bangun, langit sudah menjingga. Ia mendogakkan kepala melihat jam yang ada di dinding kamar sudah menunjukkan pukul lima sore. "Aku lapar sekali, seblak sepertinya enak nih."

Tak tahan dengan rasa laparnya ia melangkah keluar dari kamar untuk mencari keberadaan Arman, kebetulan Arman baru saja keluar dari ruang kerja yang ternyata terletak tepat di samping kamar tersebut.

"Kamu mau kemana?" tanya Arman saat melihat Syifa keluar dari kamar.

Syifa menundukkan pandangannya seraya memegangi perutnya yang terus keroncongan sejak tadi. "Aku ... aku lapar, tiba-tiba mau makan seblak."

"Seblak, itu sejenis makanan atau buah?" tanya Arman.

Mendengar penuturan sang suami, ia kembali menegapkan kepalanya sambil mengerutkan kening. "Mas, benar-benar tidak tahu seblak itu apa?"

Arman menggelengkan kepalanya perlahan.

"Ternyata ada orang yang tidak tahu makanan seenak itu. Baiklah aku akan pesan online saja." Syifa melihat bagian perutnya seraya mengelus-ngelusnya perlahan . "Cabay, nanti kamu harus tahu apa itu seblak walaupun kamu hidup mewah."

Kening Arman mengkerut tajam saat mendengar ucapan Syifa. "Kenapa kamu memanggil calon anak ku Cabay?"

"Dia kan memang Cabay, Ca-lon Ba-yi," ucap Syifa penuh penekanan.

"Haha, enak saja. Itu panggilan yang aneh," tangan Arman bergerak menyentuh bagian perut Syifa yang masih nampak rata. "Panggil dia Tiger."

Sekujur tubuh Syifa tiba-tiba saja meremang, darahnya berdesir hebat karena Arman yang selalu saja memberikan sentuhan secara tiba-tiba. Namun lagi-lagi, ia ingat batasan yang telah ia janjikan untuk tidak terbawa perasaan.

"Hey Syifa kenapa kamu melamun?" ucap Arman seraya melambaikan tangannya di depan wajah Syifa.

"Oh tidak apa-apa, aku mau ke kamar. Permisi."

Bersambung 💖

Bab selanjutnya ➡️ (Tengah malam, kurang tidur)

Gaes jangan lupa berikan dukungan untuk Author ya 🙏🥰

Yuk mampir ke novel keren yang satu ini...

Terpopuler

Comments

aisyahara_ㅏㅣ샤 하라

aisyahara_ㅏㅣ샤 하라

sebenr nya ada beberapa yg pernah baca kejadian novel begini, cuman entah kenapa suka aj sama karakter di sini, udh kirim kopi juga biar gak jadi readers halu

2024-03-15

0

Katherina Ajawaila

Katherina Ajawaila

sombong juga Firman, skak mat ada arman

2024-03-03

0

Neneng cinta

Neneng cinta

niat mau balas dendam,,malah forman yg syok sendiri ya😁

2023-06-13

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!