Jeritan Tengah Malam

Jeritan Tengah Malam

Prolog

Hujan turun cukup deras, suara guruh terdengar menggelegar memecah kesunyian malam. Membuat siapa pun enggan keluar rumah dan memilih bersembunyi di dalam selimut.

Seorang lelaki dengan tubuh penuh luka berjalan terseok di tengah derasnya hujan. Ia tidak peduli derasnya hujan, dan petir yang berkali-kali menyambar mengerikan. Pikirannya hanya satu menyelamatkan diri.

"Tolooong!" teriaknya putus asa berharap ada yang mendengar suaranya.

Kelebatan bayangan hitam mengikuti lelaki itu pelan-pelan, tidak ingin mendekat apalagi menolongnya. Seringai mengerikan tampak di wajahnya, ia tertawa kecil pada lelaki tak berdaya yang sesekali menoleh ke arahnya.

Lelaki itu terus berjalan menembus hujan. Jalanan becek membuatnya beberapa kali terpeleset dan jatuh, tapi ia terus berusaha berjalan secepat mungkin. Menjauh dari sosok hitam di belakangnya. Wajahnya sumringah ketika memasuki desa terdekat, ada harapan bantuan di depan mata.

Lelaki itu mendekati satu rumah yang bisa dijangkau cepat, dengan tergesa tangan lemahnya menggedor gedor pintu.

"Tolooong … tolong aku, dia akan membunuhku!" Lelaki itu memohon pada si pemilik rumah untuk keluar membantunya.

Tidak ada jawaban, lelaki itu tak putus asa. Kali ini ia kembali menggedor jendela berharap si pemilik rumah akan terbangun. Tapi usahanya sia-sia. 

Sirep telah ditiupkan ke seluruh penjuru desa. Tak ada satupun warga yang bisa mendengar suara teriakan lelaki malang itu. Seluruh warga desa terbuai dalam mimpi terdalam mereka. Terbius lantunan kidung penidur.

Lelaki itu kembali berjalan terseok ke rumah warga lain dan melakukan hal yang sama. Hingga akhirnya ia menyadari semua usahanya sia-sia. Lututnya lemas tak berdaya. Kematian kini ada dihadapannya.

Cahaya kilat tampak menghiasi langit menerangi malam. Sosok bermantel hitam itu berhenti tak jauh dari lelaki yang kini terkulai lemas di salah satu rumah warga.

"Tolong … ampuni aku, jika kau mengampuniku aku berjanji akan setia padamu!" teriaknya memohon dengan putus asa.

Lelaki penuh luka itu menggeser tubuhnya sedikit demi sedikit menjauhi sosok mengerikan yang menatapnya tajam.

"Aku mohon, beri aku kesempatan hidup! Aku menyesal, sungguh menyesal!" teriaknya dengan derai airmata berharap sosok itu berubah pikiran.

"Cckk, menjijikan sekali! Dimana keberanian mu saat itu?" sahut sosok itu mengejek.

"A-aku khilaf, tolong … maafkan aku!" pinta lelaki itu sungguh-sungguh.

"Menggelikan! Disaat seperti ini kau baru menyadari kesalahanmu? Sudah terlambat!" jawab sosok bermantel setengah berteriak.

"Tolong, aku mohon …," ujar lelaki itu lirih.

Meski lelaki itu menyadari permintaannya tidak akan dipenuhi tapi ia terus saja berharap dan memohon. Kesalahannya yang begitu besar dimasa lalu tidak pernah bisa ia tebus dengan apa pun juga. Dendam telah merasuk dalam tulang dan aliran darah sosok bermantel hitam. Tidak ada kata maaf bagi lelaki itu.

Cahaya kilat kembali menerangi dan memperlihatkan wajah misterius dari sosok bermantel hitam. Ada kengerian di wajah lelaki penuh luka saat melihat seringainya.

"Habisi dia!" bisiknya pelan pada sosok-sosok tak kasat mata yang sedari tadi mengikutinya.

Tanpa diminta dua kali sosok-sosok hitam itu menyerang dan masuk ke dalam tubuh lelaki penuh luka. Seketika mata lelaki itu melotot, sesuatu menggeroti tubuhnya dari dalam menyebabkan rasa sakit yang tak terkira. Tubuhnya menjadi makanan empuk bagi para lelembut milik sosok misterius didepannya.

Perlahan tapi pasti tubuh lemahnya terkoyak dari dalam. Memberikan siksaan nyata yang mengerikan bagi pendosa sepertinya. Kejang dan muntah darah adalah hal yang terjadi kemudian, lelaki itu akhirnya meregang nyawa setelah beberapa kali mengeluarkan suara parau bak ayam disembelih.

Bayangan sosok bermantel hitam itu, adalah yang terakhir dilihatnya sebelum meninggalkan raga. Petir menyambar tak jauh dari tubuh tak bernyawa yang tergeletak ditengah hujan.

Sosok bermantel itu tersenyum sinis, ia mendekati mayat lelaki itu perlahan. 

"Kau pantas mati dengan terhina!"

Dirinya belum puas, sebuah belati tajam dihujamkan tepat di jantung dan perut lelaki itu. Membiarkan isi perutnya terburai dan darah dari jantung yang hancur menggenangi tanah. Bau amis darah meruap semakin pekat. Ia tersenyum puas.

Sosok itu menyeret jasad lelaki naas itu dengan satu tangan. Meninggalkan jejak di tanah becek, membiarkan darah bercampur lumpur di sepanjang jalan.

Ia berhenti di tepian jurang yang cukup dalam. Suara lolongan anjing hutan terdengar bersahutan. Mereka mencium bau darah. Tanpa menunggu lama jasad itu dilempar ke dasar jurang. Suara anjing hutan yang kelaparan berlarian dan saling berebut terdengar riuh dibawah sana.

"Nikmati makan malam kalian!" ujar sosok itu sembari pergi meninggalkan tepi jurang.

...☘️☘️☘️☘️☘️☘️...

Matahari pagi mengintip dari balik jendela kamar kos Luna, suara jam weker kembali terdengar setia membangunkan gadis cantik berkulit kuning langsat itu dari tidurnya.

"Luna! Mau berapa lama lagi kamu tidur! Bangun, kita ada kuliah pagi hari ini!" Amel berusaha membangunkan sahabatnya yang masih terlelap tidur.

"Berisik! Masih ngantuk niih!" Luna menutup rapat telinganya dengan bantal.

"Hei, ini jadwal di Jaka Tingkir! Kamu mau dapet nilai D dari dia?!" Amel mengingatkan.

Sontak Luna duduk dan membelalakkan matanya, "Hah Jaka Tingkir?! Gila, aku lupa! Mel, tugasnya!" 

Ekspresi Luna seperti maling yang ketahuan sang tuan rumah, pucat pasi.

"Hhmm, kaan … kebiasaan dah kamu! Dari kemarin kita ribut kelompokan, cari data di perpus biar cepet kelar. Eeh kamu malah enak-enakan pacaran!"

Luna menatap wajah sahabatnya seperti anak kucing memohon makanan.

"Oh no, no … you want me to do that?!" Amel menebak arah tatapan tanpa dosa Luna.

Luna mengangguk dan menarik manja tangan Amel.

"Diiih, ogah! Kebiasaan bener kamu!" 

"Please, aku bakal kasih kamu apa aja! Ya, ya … mau ya!" rengeknya dengan bergelayut manja.

"Anything?" Tanya Amel dengan kerlingan.

"Yup, anything!"

"Deal, cepet sana kamu mandi gosok gigi! Kuliah si Jaka mulai dua jam lagi!" perintah Amel pada Luna.

"Siiiap kapten!" sahut Luna berlagak layaknya salah satu karakter kartun berwarna kuning kesukaannya.

Amel hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah Luna. Amel dan Luna bersahabat sejak setahun lalu. Mereka satu angkatan dan menjadi akrab karena tergabung dalam kelompok yang sama pada masa orientasi mahasiswa baru.

Berada di satu program jurusan dan hobi yang sama membuat keduanya tak terpisahkan. Luna dan Amel memutuskan untuk menyewa sebuah rumah kecil dekat kampus untuk memudahkan mereka.

Awalnya Amel menolak gagasan sewa rumah karena biaya yang terlalu besar baginya yang hanya anak seorang petani di desa. Tapi Luna memaksanya.

Rumah kecil nan asri itu dibayar tunai untuk dua tahun langsung dari dompet Luna, dan Amel tidak diperkenankan mengeluarkan uang sedikitpun untuk sewa rumah. Semuanya ditanggung Luna.

Suara ponsel Luna terdengar berulang kali, Amel mengabaikannya. Ia fokus membantu Luna menyelesaikan tugas si dosen killer.

"Luna, telepon tuuh!" teriak Amel tidak bergerak dari meja belajar.

Luna dengan tergopoh-gopoh keluar dari kamar mandi hanya berbalutkan handuk dan rambut basah.

"Siapa Mel?"

"Tau dah, tangan lagi sibuk buat liat siapa yang telepon!" jawab Amel cuek.

Luna meraih ponselnya dan menatap tak percaya dengan nama yang tertera di layar ponselnya.

"Mampus gue! Si Jaka!" 

 

Terpopuler

Comments

Ali B.U

Ali B.U

hadir

2024-02-15

1

🌹*sekar*🌹

🌹*sekar*🌹

ada penangkal.y ngk sih..? spya ngk ikutan 😴

2023-03-17

2

yamink oi

yamink oi

nyimak Bu rt

2022-11-03

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!