Pak Beni mengajak kami pindah ke sebuah kontrakan kecil. Awalnya aku menolak, tapi Mama selalu mengajariku untuk ikhlas menerima keadaan.
Aku mulai terbiasa hidup dengan keterbatasan. Mama yang terbiasa hidup hanya sebagai ibu rumah tangga sewaktu menjadi istri almarhum papa cukup kaget dengan suami barunya. Meski pak Beni adalah sosok yang bertanggung jawab, tapi gajinya sebagai karyawan biasa di perusahaan papa yang telah berganti nama itu hanya cukup untuk menghidupi kebutuhan sehari-hari kami.
Mama yang meski lulusan sarjana, dengan usianya saat itu tentu sulit mencari pekerjaan. Malam itu aku tak sengaja mendengar obrolan pak Beni dan mama. Mama yang meminta persetujuan untuk bekerja supaya bisa membantu perekonomian keluarga. Akhirnya kudengar pak Beni menyetujuinya meski dengan helaan nafas panjang.
Mulai saat itu mama bekerja serabutan. Apapun yang penting halal, itu prinsip mama.
Tak berselang lama dari waktu itu pak Beni dipecat sepihak oleh perusahaan tempatnya bekerja. Tentu saja pak Beni sangat kecewa dengan hal itu. Pak Beni mulai sering uring-uringan dan mudah marah. Mama yang sering menjadi tumpuan kemarahannya. Di tengah kegalauan mereka, ada sekelumit berita bahagia bahwa mama hamil. Entah aku harus menanggapi bahagia atau sebaliknya. Aku kasihan dengan mama saat itu. Mama yang terbiasa hidup enak dengan almarhum papa harus mengalami semua itu. Bahkan suaminya yang sekarang jarang pulang semenjak mengetahui mama hamil. Pulang-pulang pasti dalam keadaan mabuk. Sering kulihat mama menangis sendirian di tengah malam.
Dan endingnya adalah sekarang aku berada di sini, di bui. Menunggu proses peradilan, yang entah keputusannya akan diketuk kapan. Aku hanya bisa meratapinya. Sesal pun tak akan ada gunanya.
Aku yang berusaha tabah menjalani hukuman, tapi pertahananku jebol juga saat mama dan adik ku menengok ke penjara tempatku berada. Kami menangis bersama, merutuki nasib yang kita alami. Jangan tanya ayah tiriku ke mana. Pasti lah sedang berada di meja judi. Mama bahkan minta maaf padaku, membuat hatiku semakin tak tega mendengarnya. "Mah, hanya mama dan Chyntia yang aku miliki sekarang. Smoga kita bisa melewatinya bersama" ucapku mencoba menguatkan mereka. Mama pulang setelah petugas memberitahu bahwa waktu kunjung telah habis. Tinggallah aku sendiri.
Beberapa hari berikutnya, petugas membuka kunci pintu sel ku. "Keluarlah, kau telah bebas. Semoga beberapa hari ini telah memberikan efek jera kepadamu" ujar petugas itu menasehatiku. Aku masih tertegun, menelaah apa yang sebenarnya terjadi. Ada beberapa tanya dalam benakku. "Hei, keluarlah. Apa kau nggak mau dibebaskan" ujarnya lagi. Aku melangkah dengan baju yang telah beberapa hari kupakai. Karena mama dan adikku belum sempat membesukku setelah berkunjung beberapa hari yang lalu.
"Pak, bukannya aku masih nunggu persidangan? Kok bisa aku bebas?" aku menghampiri petugas itu karena penasaran. "Issshhhhh...kau ini. Bukannya senang, malah banyak nanya. Jelas saja kau dibebaskan, itu karena tuntutanmu telah dicabut" jawabnya mulai kesal. Aku melangkah gontai keluar kantor polisi. Antara senang dan sedih, perasaanku bercampur jadi satu. Sedih karena harus menghadapi kenyataan miris keluargaku.
Aku terus berjalan sambil melamun, hingga tak sadar sebuah mobil hampir menyerempetku. Aku jatuh terduduk di samping mobil. Lihat dari jenis dan type mobilnya, pasti lah yang membawa adalah horang kaya..he..he...atau masuk golongan sultan malah (sebutan untuk orang-orang super kaya). Elis malah terbengong, sampai lupa berdiri. Orang itu tergopoh menghampiri keberadaan Elis.
"Maaf...maaf...apa kau tidak apa-apa? Apa ada yang luka? Kebetulan aku dokter. Boleh aku lihat lukamu" tanyanya tanpa jeda.
Elis mendongak melihat orang itu. "Kau..." dia terperangah kaget. Elis lebih terperanjat lagi, kenapa bisa ketemu lagi dengannya. Meski sebelumnya dia pakai masker, Elis belum lupa bentuk mata dan alisnya. Ternyata dia sangatlah tampan, batin Elis terpesona.
Orang itu menjitak keningku, "Sungguh berhadapan dengan mu dan juga keluargamu malah jadi sial begini" gerutunya. "Kau ada yang luka atau nggak?" tanyanya lagi dan mulai tak sabar. "Tidak ada tuan, maaf" ucap Elis. "Dan makasih telah mencabut tuntutanmu" lanjut Elis.
"Bukan aku yang mencabut, tapi asistenku. Ingat jangan kau ulangi ulahmu itu. Cukup sekali kau membuat ulah yang membuat repot mama mu" tukasnya. Eh kok mamaku disebut, pikirku.
Elis hendak berdiri, tapi kesulitan. Betisnya ternyata terkilir. "Kau bilang nggak ada luka, tapi tuh lihat...betismu terkilir" ucapnya lagi. "Ayo masuk mobil!!!" tukasnya. "Nggak usah tuan, aku masih bisa jalan" tolakku. "Ternyata selain membuat ulah kau juga merepotkan" kilahnya sambil memaksaku masuk mobilnya.
"Kita mau ke mana tuan??" tanyaku yang penasaran semenjak tadi. "Diamlah, jangan berisik" suaranya masih terdengar ketus.
Ternyata dia membawaku di sebuah rumah sakit terbesar dan mewah di kota ini. "Turunlah" perintahnya saat mobil berhenti di drop zone IGD. Seorang petugas menyambut kedatangannya kami dengan ramah, "Loh dok, siapa nona ini?" tanya perawat itu penasaran kepadanya. "Orang yang selalu bikin ulah dan bikin repot" jawabnya dengan muka datar. "Cepat kau obati luka dan berikan obat-obatan sesuai kondisinya. Jangan lupa bill semua masukkan tagihanku" lanjutnya. "Baik dok" perawat itu selanjutnya membawaku ke ruang tindakan di dalam IGD. Sementara dirinya telah meninggalkanku selepas dia bicara tadi.
"Mba, kok bisa kenal dengan dokter Bara?" tanya perawat itu. Dokter Bara, ternyata namanya itu. Dan dia seorang dokter. Dokter kok ketus sekali, batinku mengumpatinya. "Mba, ditanya kok malah diam" ucap perawat itu lagi sambil membersihkan betisku yang terkilir. "Aku nggak mengenalnya kok mba, cuma tadi nggak sengaja aku keserempet mobilnya" jawabku dengan jujur. "Oooo...begitu ceritanya" jawab ramah perawat itu.
"Dokter Bara itu orang baik mba, meski kadang kata-katanya terdengar ketus" jelas perawat itu. Eh mbak nya kok tau aja isi hatiku, batinku saat itu. "Dokter Bara adalah dokter spesialis anesthesi di rumah sakit ini. Mungkin tadi dia juga buru-buru di jalan karena ada panggilan operasi" jelasnya lagi. "Oooooooo...." aku hanya ber o ria.
Kaki ku yang terkilir telah dibersihkan dan ditutup perban. Obat-obat yang harus kuminum pun telah kuterima. Aku mencoba berdiri dan hendak melangkah pulang. Tapi perawat yang menanganiku tadi menghampiriku lagi. "Mba Elis, tadi dokter Bara berpesan kalau anda disuruh menunggunya sampai selesai operasi" ucapnya. Ada apa lagi dengannya, batinku. Aku pun akhirnya menunggunya sampai selesai tindakan operasinya selesai. "Nggak papa lah nunggu, aku juga belum sempat mengucapkan terima kasih dengan benar padanya" batinku menghibur diri.
🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺
***To be continued, happy reading
Sarapan pecel di pagi hari, tetap stay tuned in the story 😊😊😊
Maksa banget pantunnya 😆😆😆***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 115 Episodes
Comments
Isabela Devi
moga bisa berjodoh
2023-11-17
1
Isabela Devi
moga ini jodoh bara
2023-11-17
1
Sri Astuti
semoga ini jln Elis buat tobat dan bs slametin ibu serta adiknya
2023-03-25
1