Sementara itu di lapas sementara kepolisian, nampak Elis Melati sedang dikunjungi oleh ayah tirinya.
Elis hanya terdiam, tanpa menyela ucapan-ucapan ayah tirinya. Ayah tiri yang menyebabkan dirinya melakukan hal yang salah.
"Kau ini terlalu bodoh Elis, bagaimana kau bisa ketangkap. Nasib ibumu di rumah bagaimana? Hah?" bentak ayahnya. Ayah yang diketahui bernama pak Beni itu menceramahi Elis dari huruf A sampai Z. Lengkap sekali. Elis mulai mendengus kesal, karena hanya dirinya yang disalahkan. "Yah, bukannya ibu juga sudah menjadi tanggung jawabmu??? " ucap Elis menyela.
"Hei, sudah berani kau melawan ayah ya?" pak Beni mulai naik nada suaranya.
"Terus ayah ngapain ke sini? Mau menyalahkanku? Asal kau tau Yah, di sini lebih baik daripada di rumah" ucap Elis meninggalkan ayah tirinya yang mulai kelihatan marah. "Dasar anak tak tau diuntung" umpat pak Beni.
Hanya Elis yang merasa dinginnya jeruji penjara lebih baik daripada rumah tinggalnya. Rumah yang tidak ada kehangatan sama sekali menurut Elis. Gadis cantik itu merenung dan mulai menangis. Sekuat-kuatnya menahan akhirnya air mata itu tumpah juga.
Elis dipanggil oleh petugas, dan dia mulai diinterogasi perihal pencopetan yang dilakukan di mall Dirgantara. Sampai alasan dia berani melakukan tindak kejahatan di sebuah mall besar, yang siapapun tahu siapa pemilik mall tersebut.
Tapi Elis tidak peduli, dia melakukannya karena harus secepatnya melunasi utang ayah tirinya kepada juragan Darto daripada dia dijual dijadikan budak pemuas nafsu.
Ayah tirinya selalu beralasan utang yang besar ke juragan Darto karena untuk pengobatan ibunya. Padahal Elis sudah tau sebenarnya uang itu habis di meja judi. Belum sampai lunas, nasib Elis malah berakhir di bui.
Tidak ada pembelaan sama sekali saat Elis diinterogasi. Semua tuduhan yang dialamatkan padanya tidak ada yang disangkal. Malah Elis bersyukur dengan adanya dia di penjara, dirinya akan terhindar dari kejaran ayah tirinya. Tapi bagaimana nasib ibu kandung yang sakit-sakitan??? Terus nasib adiknya juga bagaimana?" pertanyaan itu lah yang selalu berkecamuk dalam pikiran Elis.
Gadis berusia hampir dua puluh lima tahun itu menghela nafas panjang. Rasa sesal mulai menyesak di dada. Harusnya aku tidak mengambil jalan pintas, harusnya aku bisa bekerja halal. Tapi apa ada yang mau menerimaku kerja dengan berbekal ijazah SMA yang kumiliki? Di penjara yang hanya ada dirinya sendiri, semakin membuat Elis banyak pikiran. Dia teringat masa kecilnya yang bahagia sampai takdir merubahnya dalam sekejab mata.
Pov Elis Melati
"Papa, jam berapa kita berangkat" tanya Elis kecil yang waktu itu masih berumur lima tahunan. "Bentar lagi sayang, papa masih bersiap nih" jawab papa yang sibuk memanasi mobil dan memasukkan barang-barang yang perlu di bawa untuk piknik. Sementara mama jangan ditanya sedang sibuk apa. Mama pasti sibuk nyiapin bekal untuk dibawa piknik kali ini.
"Papa, Elis buruan ke sini. Sarapan dulu" kata Mama yang pasti sedang berada di dapur. Papa tersenyum ke arahku. Elis pun menghampiri papanya dan melangkah ke meja makan.
"Wah, mama masakin Elis ayam gorengnya. Makasih mama cantik" ucap Elis dengan wajah berbinar. "Sama-sama sayang" tukas Mama.
Mama mengambilkan nasi dan lauk untuk papa, demikian juga untukku. Mama yang sudah prepare sedari Subuh, "Pa, ntar yang di sana itu dibawa ke mobil sekalian ya. Buat nanti makan siang di sana" ucap mama lugas menunjuk perbekalan yang siap diangkut. "Siap ratuku" sahut papa dengan mulut penuh makanan. "Ih papa, telan dulu dong. Nggak boleh makan sambil bicara" ucap lantang Elis. "Iya..iya...siap tuan putri" jawab papa.
Kami bertiga berangkat dengan hati senang. Papa yang seorang direktur di sebuah perusahaan selalu menyempatkan waktunya untuk mengajak mama serta aku liburan. Meski tak harus ke tempat yang jauh. Papa adalah seorang sosok yang ramah kepada siapapun. Papa merupakan penerus satu-satunya perusahaan Starco.ind yang bergerak dalam bidang multimedia. Aku yang masih terlalu kecil saat itu tidak begitu memahami seluk beluk perusahaan. Mama hanya lah seorang ibu rumah tangga biasa. Papa memang ingin istrinya bisa mengasuh dan merawat penuh anak-anaknya. Cukup papa saja yang sibuk dengan pekerjaannya.
Dalam perjalanan aku selaku menyanyikan lagu bintang kejora. Papa dan mama bahkan ikut menyanyikan lagu itu. Hingga di sebuah turunan yang lumayan tajam, papa kelihatan panik. "Mah, Elis kalian pegangan yang erat" kata papa. "Ada apaan pa?" tanya mama ikutan panik. Papa menginjak rem, untuk mengurangi laju mobil. Dan ternyata mobil itu remnya blong. Laju kencang mobil membuat papa membanting mobil ke arah kiri, karena di depan ada sebuah bis yang penuh penumpang. Tak dinyana sebuah jurang menyambut kami. Mobil terguling. Itu yang aku ingat.
Aku terbangun di sebuah ruangan rumah sakit, kupanggil mama dan papa lirih. Seorang laki-laki yang tak kukenal menghampiriku. Mungkin dia seusia papa atau lebih muda aku tak perduli. "Akhirnya kau sadar juga nak" sapa nya. "Mama...Papa..." panggilku lagi. "Mama dan papa mu di ruang sebelah nak" ucapnya lagi. Aku hendak bangun, tapi dicegah olehnya. "Disini saja dulu, kalau kau sudah membaik baru tengok mama dan papamu" cegahnya. Aku pun mengikuti apa yang dikatakan oleh lelaki itu.
Tapi takdir berkata lain, pagi-pagi sekali aku mendengar papa meninggal. Tanpa memperdulikan infus yang terpasang aku lari ke ruang sebelah tempat papa dan mama dirawat. Kulihat jenazah papa untuk terakhir kalinya..."Papa...papa...jangan tinggalin Elis" aku meraung di sebelah jenazah papa. Terus di mana mama sekarang, mama juga terbaring dengan berbagai macam alat yang terpasang di tubuhnya. Laki-laki itu mengelus pundakku mencoba menguatkanku. "Yang ikhlas nak, doakan papa mu" ujarnya.
Semenjak kehilangan papa, aku tumbuh menjadi anak yang suka melamun. Mama yang baru sadar hampir satu bulan pasca kecelakaan, harus dihadapkan kenyataan pahit telah kehilangan suami. Sosok laki-laki yang setia mendampingiku itu ternyata mama telah mengenalnya. Dia adalah sepupu jauh papa, yang ikut bekerja di Starco.ind perusahaan papa.
Tapi aku yang waktu itu masih kecil, tidak tau bagaimana ceritanya sampai mama menikah dengan pak Beni yang selalu menungguiku sewaktu mama koma. Perusahan papa juga telah jatuh ke saudara-saudara jauhnya. Satu-satunya peninggalan papa adalah rumah tempat tinggal kami. Itu pun telah terjual untuk menyambung biaya hidup dan melunasi kekurangan biaya rumah sakit kami bertiga.
Pak Beni mengajak kami pindah ke sebuah kontrakan kecil. Awalnya aku menolak, tapi Mama selalu mengajariku untuk ikhlas menerima keadaan.
To be continued, happy reading 💝😊
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 115 Episodes
Comments