..."Di cerita singkat kita, aku menulis namamu dengan huruf yang tebal seperti sesuatu yang penting. Tapi sedihnya kau menulis namaku dengan huruf miring seakan aku adalah sesuatu yang asing."...
^^^...katapuitis_7...^^^
"Non, sudah di jemput dibawah." kata sus Ana dari depan pintu kamar utama.
Iya, sus ini sudah siap. Terdengar suara Maura menjawab dari dalam. Tak lama pintu kamar terbuka.
Detik itu sus Ana terpukau seraya berdecak kagum melihat penampilan Maura saat ini."Mashaallah, Non. Non cantik sekali." ia memperhatikan penampilan gadis itu dari bawah hingga keatas.
Gaun biru tua tanpa lengan yang menjuntai hampir kelantai, serta rambut yang digelung rapi dan sentuhan makeup lembut di wajah yang membuatnya terlihat lebih dewasa dan elegan. Dalam hati sus Ana terus berdecak kagum. Dan yang lebih membuatnya tak percaya, dirinya seperti sedang melihat Naomi saat ini. Hanya yang membedakan, pipi Maura terlihat lebih tirus dibanding dengan Naomi dulu.
"Ini benar bagus kan, sus?." Maura berputar-putar didepan sus Ana."Tidak memalukan, kan?."
"Tidak, Non. Ini bagus sekali. Sudah cepat. Pak Rudi sudah menunggu dibawah." sus Ana tersenyum.
"Pak Rudi? bukan Mas Damar yang menjemput?."
"Bukan." sus Ana menarik pelan lengan Maura berjalan menuruni tangga."Katanya Tuan menunggu ditempat acara."
"Oh, gitu." sambil berjalan, Maura melihat keruang tamu. Disana, lelaki paruh baya itu sedang duduk menunggunya.
"Zayn dimana, sus? apa dia tidur?."
"Iya, non. Tadi selesai mandi sore Aden langsung tidur. Sudah jangan khawatir. Den Zayn tidak akan rewel."sus Ana tersenyum lembut.
Dari dapur tampak bik Imah berjalan menghampiri mereka. Sama seperti sus Ana tadi, bik Imah juga terpukau melihat penampilan gadis itu. Maura memang jarang sekali berdandan. Dalam sehari-hari gadis itu selalunya hanya memakai pakaian simpel saja. Tak heran, jika saat ini kedua wanita itu terus memuji kecantikannya.
"Mashaallah, non. Cantik sekali. Mau berangkat sekarang?."tanya bik Imah.
"Iya, Bik. Sudah ditungguin sama Pak Rudi. Aku pergi dulu, ya."ia melihat pada sus Ana."Titip, Zayn ya, sus."
"Beres. Aman, non."sus Ana tersenyum, begitu pun dengan bik Imah.
"Non Maura cantik begitu. Tapi kenapa Tuan sepertinya sulit sekali jatuh cinta, ya?." ucap Sus Ana memperhatikan Maura ketika masuk kedalam mobil."Malah kalau aku lihat-lihat, non Maura itu mirip sekali dengan Non Naomi. Cuma bedanya Non Naomi lebih kalem. Kalau Non Maura pecicilan. Hihihi."sambungnya terkikik pelan diakhir kalimat.
"Kamu benar. Tapi hari ini saya yakin Tuan pasti terpukau dan tidak bisa berpaling dari wajah Non Maura. Soalnya hari ini non Maura cantik banget. Seperti Miss World Indonesia."
"Ho'oh." susu Ana mengangguk setuju.
"Kamu percaya tidak. Dulu aku waktu masih gadis juga cantik seperti Non Maura, loh. Body ku kurus dan langsing."bik Imah menyusuri body dengan kedua tangannya.
"Kebanyakan berkhayal kamu. Mirip apanya? lobang hidungmu saja menjengat keatas. Itu kalau jalan ditengah hujan, pasti bisa nampung air." celetuk sus Ana asal.
"Sembarangan kamu." Bik Imah mencebikkan bibirnya.
"Tapi bicara tentang hubungan Non Maura dengan Tuan. Saya sih, berharap pelan-pelan mereka bisa saling mencintai. Kasihan Den Zayn. Dia harus tumbuh didalam keluarga yang penuh dengan kasih sayang."
"Kamu benar. Kita doakan saja."timpal Bik Imah kemudian."Saya rindu suasana rumah ini kembali hangat seperti dulu. Semenjak Non Naomi meninggal. Semuanya berubah. Tuan juga sekarang lebih banyak diam dan menyendiri. Sedih rasanya." lirih bik Imah bergeleng pelan.
_____________
Maura turun dari dalam mobil usai Pak Rudi membukakan pintu untuknya. Saat turun, pandangan langsung tertuju pada gedung hotel yang berdiri kokoh didepannya. Terlihat indah dengan banyaknya lampu-lampu yang menyala dari luar, dan dalam gedung itu.
Disekelilingnya, Maura memperhatikan tamu-tamu yang baru saja datang. Semuanya mengendari mobil-mobil mewah dengan kisaran harga fantastis. Bisa Maura tebak, semua tamu yang hadir pada malam ini pasti semua berasal dari para kalangan kelas atas.
Menurutnya penampilannya memang tidak memalukan. Ia memakai gaun indah, di atar supir dengan kendaraan tak kalah mewah diantara yang lain. Tapi meski begitu, tetap saja ia merasa gugup. Karena ini pertama kali baginya menghadiri acara formal seperti ini.
Ya ampun mbak, Naomi. Bagaimana caranya agar bisa seperti dirimu. Apa dulu kamu juga gugup seperti ini? ia berbicara dalam hati.
Tidak, Maura ... ini tidak boleh. Kamu tidak boleh gugup. Tidak ada yanng memalukan darimu. Ingat, kamu cantik!!ucapnya kembali dalam hati memberi semangat pada dirinya sendiri. Ia lalu menarik nafas dalam-dalam dan membuangnya perlahan. Kemudian dengan memupuk keberanian ia melangkahkan kaki mengikuti arah pintu masuk bersama para tamu lain yang juga baru datang. Tapi baru beberapa langkah, tanpa sengaja tubuhnya bertabrakan dengan seseorang. Maura bahkan hampir terhuyung kebelakang jika saja tidak segera memegang dinding.
"Mbak Aira." Maura memperhatikan wanita yang sedang memegang ponsel itu.
Aira memperhatikan penampilan Maura sesaat"Maaf, aku tidak sengaja. Tadi buru-buru."
"Tidak masalah. Untungnya aku tidak terjatuh. Tapi dimana Mas Damar? apa mbak melihatnya?."
"Dia disana." ucap Aira tanpa ekspresi melihat kearah tiga orang pria memakai setelan jas hitam dan dua orang wanita yang sedang berdiri didekat meja dan bunga besar ditengah ruangan.
Maura tersenyum "Terima kasih, Mbak. Aku kesana, ya?."
Aira mengangguk. Dirinya masih memperhatikan Maura yang sudah berjalan meninggalkannya. Baru lah, kemudian ia berjalan keluar.
Dengan penuh keberanian Maura berjalan menuju Damar berada. Sempat kembali merasa gugup karena merasa seolah semua orang sedang memperhatikannya. Tapi seolah tak ingin peduli, ia terus berjalan.
"Apa dia istrimu?." tanya pria paruh baya yang tak lain adalah Pak Gilang pemilik hotel mewah itu, ketika Maura semakin dekat ke arah mereka.
Damar memperhatikan arah pandang Pak Gilang juga yang lainnya. Kebanyakan dari rekan bisnisnya memang sudah mendengar kabar pernikahannya. Begitu pun dengan alasan mengapa pernikahan mereka terjadi.
Namun entah apa yang membuat, tiba-tiba saja rahang Damar mengetat, melihat Maura dengan sorot tajam seolah marah. Namun menyadari posisinya berada saat ini, Damar segera mengatur ekspresinya agar tak terbaca oleh orang-orang disekelilingnya.
"Iya, dia istriku." ucapnya kemudian.
"Cantik, ya. Masih sangat muda." sambung Buk Rania istri Pak Gilang. Dibalas anggukan oleh istri Hardi. Keduanya tersenyum dan mengulurkan tangan pada Maura.
Dengan perasaan canggung Maura menyambutnya. Usianya yang jauh lebih muda diantara semua, juga salah satu penyebabnya. Dirinya yang biasanya suka pecicilan, di paksa anggun untuk sementara.
"Senang bertemu denganmu, Maura. Lihatlah hotel ini. Ini didesain oleh tangan handal suamimu." Pak Gilang tersenyum.
Maura balas tersenyum lalu melihat pada Damar. Saat itu, Damar juga melihat padanya namun dengan sorot mata yang dingin.
Sementara Pak Gilang dan istrinya izin berpindah pada tamu yang lain, Maura dibuat terkejut karena tiba-tiba Damar menarik lengannya, membawanya menyusuri ruangan sepi didalam hotel itu.
"Mas, kamu mau bawa aku kemana?." tanya Maura bingung sambil mengikuti langkah panjang Damar. Namun pria itu tak menjawab. Dari samping, Maura bisa melihat rahang pria itu yang mengetat, dan genggaman tangan yang semakin kuat dilengannya.
"Mas tolong lepaskan. Ini sakit!."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments