..."Banyak hal tak terduga datang diwaktu yang sama. Suka tidak suka, mau tidak mau. Hidup memang banyak memaksa dan banyak harusnya. Maka, jalani saja."...
"Ada-ada saja, kamu. Bisa-bisa stroke ku makin parah kalau aku cicipin itu."gerutu Razdan kesal.
Amelia menghela nafas lega.
"O, iya Mama sama Papa siang ini harus pulang ke Surabaya. Soalnya besok sudah jadwalnya Papa terapi lagi." kata Razdan mengusap mulutnya dengan tisu.
Damar hanya mengangguk pelan. Sementara Maura yang duduk disisinya hanya diam mendengarkan sambil sesekali memasukkan nasi goreng kedalam mulut.
"Maura, saran Papa untuk sementara kamu cuti kerja dulu. Dirumah saja menjaga Zayn."kata Razdan kembali."Zayn masih sangat kecil. Dan kalau bisa sebaiknya kamu tidak perlu bekerja lagi. Seperti almarhumah mbak mu waktu itu. Biar perhatian untuk Zayn benar-benar terpenuhi."
Maura diam. Ia tidak tau harus menjawab apa sekarang. Harus kah ia katakan, ya? lalu bagaimana dengan impiannya menjadi chef terkenal? mungkin tahun depan setelah perceraian ia bisa lanjutkan semua itu. Tapi bukan kah saat ini ia sedang dalam tahap belajar. Ya, posisinya menjadi asisten chef saat ini, dari Deva dia sudah banyak belajar. Entah itu tentang bumbu dan cara memasak yang benar.
Namun jika saat ini ia katakan tidak mau? bukan kah itu akan menjadikannya sebagai menantu yang tak taat di mata Razdan dan Amelia?
Maura memandang Damar, berharap sedikit mendapatkan pembelaan. Namun pria itu tampak tak peduli menyantap sarapan dengan wajah datar.
"Mas ..." Amelia memegang tangan kiri suaminya sambil menyalurkan isyarat melalui mata pada Razdan. Pria paruh baya itu menghela nafas pelan.
"Ma, Pa ... aku berangkat dulu." Damar berdiri mencium bergantian tangan Amelia dan Razdan."Nanti pulang hati-hati. Kabari kalau sudah sampai."
"Iya, nak." kata Amelia tersenyum.
"Kamu juga hati-hati. Papa doakan agar pekerjaanmu selalu lancar. Terutama fokus dengan Alga Karya. Itu lebih penting." kata Razdan kembali.
Damar tak berniat menjawab. Bicara dengan sang Papa menurutnya hanya akan berakhir dengan perdebatan.
"Dua-duanya penting, Pa."ucap Amelia mengusap tangan suaminya kembali."Mama yakin, Damar pasti selalu berusaha mengatur agar perusahaan dan restoran tetap berjalan dengan baik."
Razdan tak lagi menimpali. Sementara saat itu Damar hendak pergi, tapi suara Amelia menahannya.
"Damar," Amelia langsung menajamkan mata pada sang putra seraya memajukan wajah pada Maura.
Damar mengerti dengan isyarat Amelia, dengan malas dirinya menjulurkan tangan pada Maura. Gadis itu dengan gerakan ragu meraih dan mencium tangannya.
Amelia tersenyum tipis melihat keduanya.
"Zayn didepan, sama sus Ana lagi berjemur." kata Amelia seolah tau gerak pandang Damar yang seperti sedang mencari Zayn.
"Terima kasih, Ma." kata Damar sebelum berlalu.
______________
Alga Karya,
Aira berdiri menatap gedung-gedung yang menjulang tinggi melalui dinding kaca besar didepannya dengan tatapan kosong. Sambil memeluk kedua tangan dibawah dada, gadis itu seperti sedang bertengkar dengan pikirannya sendiri.
Bahkan ketika pintu ruangan terbuka, ia tak menyadari. Baru ketika suara memanggil ia langsung menoleh. Tapi sepertinya wanita itu menangis. Terlihat dari gerakannya yang seperti menghapus wajah sebelum berbalik.
"Aira!." seru Damar melihat Aira sudah berada didalam ruangannya."Apa yang kamu lakukan disini?."
"Menunggumu." sahut Aira menatap Damar.
"Maksudku sambil menunggumu aku melihat pemandangan dari sini. View-nya keren." Aira menunjuk kearah dinding kaca dimana gedung-gedung tinggi terlihat diluar."Pengantin baru tidak cuti dulu? aku tadi sudah mau pergi, ku pikir kamu tidak datang. Soalnya sudah pukul sembilan."
Damar tertawa konyol tak berniat menimpali.
"Tadi malam, kenapa kamu buru-buru pulang? padahal acara belum selesai." Damar meletakkan tas kerjanya diatas meja."Kamu bahkan tidak berpamitan denganku."
"Oh, itu ... aku tadi malam mendadak tidak enak badan. Mungkin kelelahan." Aira mengusap leher dengan punggung tangannya.
"Benarkah?." Damar meletakkan punggung tangannya di dahi Aira. Memang sedikit hangat. Wajah wanita itu juga tak segar, seperti tak tidur semalaman."Kalau sakit, kenapa bekerja? Kamu bisa libur dulu supaya bisa istirahat dirumah."
"Aku tidak yakin membiarkanmu sendiri mengurus perusahaan." Aira tersenyum menggoda. Mendengar itu Damar berdesis.
"Kamu menyepelekanku. Aku memang tidak menyukai bidang ini, tapi kamu juga harus ingat ... kalau aku juga pernah kuliah di jurusan ini. Tiga tahun." Damar mengacungkan tiga jarinya didepan Aira.
Mendengar itu Aira manggut-manggut."Berarti tidak sia-sia Papa mu dulu memaksamu kuliah di bidang konstruksi. Desain mu juga cukup bagus."
"Bisa dibilang begitu." Damar manggut-manggut."Selain itu, aku juga berterima kasih pada Papaku ... kalau dulu aku menolak, mana mungkin aku bisa berjumpa dengan Naomi, menikah dengannya dan memiliki anak tampan seperti, Zayn. Benar kan?."
"Benar." Aira tersenyum getir."Termasuk menikahi Maura sekarang."
Damar terdiam.
Aira memperhatikan."Damar, bagiamana perasaanmu pada Muara?."tanya kemudian.
"Kenapa kamu bertanya begitu?."suara Damar terdengar tidak suka.
"Tidak ada. Tapi aku lihat wajah mereka sangat mirip." Aira sedikit mencebikkan bibir."Aku rasa bukan aku saja yang berpikir begitu. Tapi siapa saja yang mengenal mereka, pasti akan berpikir hal yang sama."
"Apalagi tadi malam." sambung Aira kembali melihat Damar yang diam."Melihat Maura memakai pakaian itu ... aku seperti sedang melihat Naomi. Persis seperti Naomi menikah denganmu dulu."
Damar menelan ludah.
"Kamu tidak takut jatuh cinta dengannya?." Aira menatap Damar dalam-dalam.
Damar tertawa merasa konyol."Mereka berbeda, Aira. Sifat mereka juga jelas jauh berbeda. Tidak mungkin aku mencintainya."
Aira tak lagi bersuara, ia hening memperhatikan Damar yang masih tertawa lekat-lekat.
"Sudah lah, apa tidak ada pembahasan lain? mari kita bahas tentang pekerjaan. Bukan kah kamu bilang kemarin kamu ingin menunjukkan berkas progres pembangunan?."
"Mana? biar ku lihat." Damar mendudukkan dirinya di kursi kerja.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments