..."Jika harus memilih antara nafas dan cinta, maka aku akan memilih nafas terakhir untuk mengatakan, 'Aku Cinta Padamu.'"...
Didalam, Maura disambut oleh Aina yang sudah lebih dulu datang."Tumben cepat. Biasanya selalu telat. Berangkat sama suami, ya?."
Maura tersenyum tipis, ia sempat melihat Deva berjalan ke ruang locker. Pria itu memasang ekspresi santai. Sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda kecemburuan.
"Sudah menikah. Jangan lirik-lirik laki-laki lain."kata Aina yang memperhatikan."Aku tau kamu menikah sama Pak Damar karena terpaksa. Tapi bagaimanapun pernikahan kalian itu sah di mata Allah. Lupakan dia."
Maura hanya menimpali dengan senyum tipis. Oh, Aina. Kamu tidak tau kalau pernikahanku ini hanyalah sebatas pernikahan kontrak saja. Rasanya dirinya ingin sekali bercerita tentang itu pada Aina. Tapi Damar telah memintanya untuk menutupi rapat-rapat tentang kontrak pernikahan itu.
"Aku ke locker dulu, ya, Na." ucap Maura akhirnya.
"Ya sudah." Aina mengangguk tersenyum.
Beberapa saat diruang locker, Maura keluar. Betapa terkejut dirinya melihat Deva ternyata sedang menunggunya didepan pintu, sambil bersandar pada dinding lorong.
"Chef ... ngapain?."
"Menunggumu." Deva tersenyum."Ayo ke dapur. Kita akan mulai memasak. Kira-kira menu apa yang ingin pertama kali kamu pelajari?."
"Kimchi." kata Maura sambil melihat Deva yang berjalan disisinya.
"Oke, kebetulan hari ini stok kimchi ku sudah hampir habis. Aku akan membuatnya sekalian mengajarimu."
Sesampainya didapur, Deva mengajak Maura masuk kedalam gudang penyimpanan bahan. Ia mengambil sawi putih, lobak dan beberapa bumbu lainnya dari dalam sana.
Saat ini, semua bahan sudah berada diatas meja.
"Perhatikan aku melakukannya." Deva mengambil sawi putih, mulai mengupas dari kelopaknya satu persatu."Kamu harus melakukan ini lebih dulu. Karena perlu waktu untuk merendamnya didalam air garam."
"Selama proses perendaman, kamu juga sesekali harus membolak-balik seperti ini."sambung Damar sambil membolak-balikkan helai-helai sawi didalam air garam."Ini supaya semua bagian sawi terkena rendaman air garam secara merata."
Maura mengangguk mengerti. Beberapa saat ia terus memperhatikan Deva yang kini sudah selesai memotongi lobak, juga wortel.
"Maura bisa kamu siapkan padaku jahe, dan bawang putih?."
"Baik, chef." Maura langsung mengupas jahe, juga bawang putih seperti yang Deva minta.
"Tiga cm saja untuk jahenya, dan sepuluh siung untuk bawang putih."kata Deva lagi sambil mengiris bawang bombai dengan gerakan cepat.
"Ya, chef." Maura mengangguk.
Waktu terus berputar. Kini sudah menunjukkan pukul setengah 9 pagi. Deva sudah selesai dengan segala bahan untuk pembuatan kimchi. Maura juga terus memperhatikannya. Tapi entahlah. Entah dirinya memperhatikan cara pembuatannya, atau sedang memperhatikan seseorang yang sedang mengajarinya. Karena saat ini, gadis itu tak berkedip memandang wajah Deva sejak tadi. Saat itu, beberapa pengunjung tampak mulai berdatangan.
"Kimbab dua, kimchi satu! Dalgona kopi tiga!." seru Aina dari luar.
"Oke!." seru Andre yang bertugas sebagai barista.
"Maura, tolong ratakan bumbunya."kata Deva kemudian, namun gadis itu seperti tuli tak menjawab."Maura ...."panggilnya kembali sambil bergeleng tak percaya.
"I-iya, chef?." Maura tergeragap.
"Bisakah kamu meratakan bumbu kimchi ini?." Deva memajukan wajahnya pada bahan-bahan kimchi yang ada didalam tempayan.
"Bisa, chef."
"Lakukan lah. Aku akan membuat pesanan pengunjung." Deva bergeser, membiarkan Maura menempati posisinya berdiri sejak tadi.
Dengan gerakan tangan yang kaku Maura melakukannya. Mungkin karena ini pertama kali baginya. Pasalnya selama ini ia hanya memperhatikan Deva saja setiap membuat makanan itu.
"Bukan begitu." Deva terkekeh pelan melihat Maura yang hanya mencubit-cubit bumbu menempelkannya pada bagian sawi. Ia mendekati gadis itu."Tapi begini ..." Deva mengambil tangan kanan Maura, perlahan membawa tangan putih itu bergerak mengusap bagian sawi hingga rata dengan bumbu. Merasakan jemari Deva menyentuhnya, juga jarak tubuh keduanya yang begitu rapat, membuat jantung Maura berdegup kencang bak genderang perang. Berada di posisi ini, membuatnya seperti sedang berada didalam kisah di drama-drama Korea. Kisah cinta yang ia impikan. Ah, saat ini seperti mimpi baginya.
Sibuk mengontrol perasaannya yang tak menentu, sampai-sampai suara Deva yang saat ini berbicara didekatnya, menguap begitu saja.
"Bisa, kan?."
"Hah?." Maura melihat Deva, lalu mengangguk."Emm, iya. Bisa, chef."ucapnya gugup.
Deva tersenyum."Aku ingin melihat dan mencicipi kimchi hasil buatanmu sendiri. Lakukan itu dirumah. Minggu depan kamu harus membawanya untukku."
"Bisa, kan?." Deva melihat gadis itu lekat-lekat.
Dengan sedikit terbata Maura menjawab."B-baik, chef."
___________
Suara hentak pisau dari atas meja beberapa kali terdengar dari dalam dapur. Bik Imah penasaran kemudian menghampiri. Disana ia lihat Maura tengah serius memotongi lobak. Gadis memakai kaos biru muda berukuran oversize dan celana pendek diatas lutut itu tampak sesekali menggaruk kepalanya seperti bingung. Sementara diatas meja, sudah ada beberapa bumbu dan sawi yang sudah dikupas dan direndam dalam wadah kecil.
"Masak, apa, Non?."
Suara Bik Imah membuat bahu Maura berjengit."Bibi, aku terkejut." ucapnya memegang dada mengatur degup jantung yang hampir lepas. Sementara Bik Imah langsung tertawa.
"Maaf, non. Bibi lihat serius sekali. Mau masak apa, sih?." Bik Imah penasaran.
"Belajar masak kimchi, Bik." sahut Maura sekenanya sambil kembali melanjutkan mengiris lobak.
"Kimchi itu rasanya gimana, sih, non?. Bibi belum pernah makan." kata Bik Imah dengan polos.
"Serius, bibi belum pernah makan?."Maura menoleh melihat bik Imah yang mengangguk.
"Enak ya, non?."
"Enak bagi yang suka. Tapi terkadang ada lidah yang merasa tidak cocok, Bik. Maklum lah, ini masakan Korea. Belum tentu semua orang Indonesia suka."
"Rasanya itu asam, segar dan pedas. Aku sih suka, Bik." sambung Maura kembali sambil. Kali ini sambil mencuci lobak."Tapi aku tidak tahan pedas. Jadi sekarang aku akan membuat Kimchi yang tidak terlalu pedas."
"Oh, gitu." Bik Imah manggut-manggut.
"Nanti deh, kalau sudah jadi. Aku akan kasih Bibi. Tapi harus nunggu beberapa hari. Karena membuat kimchi diperlukan fermentasi dulu." jelas Mura kembali sambil membolak-balik balik helai-helai sawi.
"Oh." Bik kembali manggut-manggut.
"Manggut-manggut mulu bik dari tadi." ucap Maura gemas. Sementara Bik Imah terkikik pelan. Ketika itu, deru mobil terdengar dari luar.
"Tuan sudah balik, non. Bibi permisi mau membuka pintu dulu, ya."Bik Imah berjalan setengah berlari ke depan.
Tak lama, dari ruangan tanpa sekat dinding itu, Maura bisa melihat Damar langsung naik kelantai atas. Sementara Bik Imah langsung berjalan ke ruang kerja memasukkan tas kerja, lalu kembali keluar menemui Maura didapur.
"Non, apa ada yang bisa bibi bantu?."
"Tidak ada, Bik. Semua sudah hampir selesai." ucap Maura sambil meratakan bumbu seperti yang diajarkan Deva padanya tadi pagi.
"Ya sudah, kalau begitu Bibi tinggal ya, non. Soalnya sudah ngantuk. Takut besok pagi kesiangan."Bik Imah terkekeh pelan.
Selang beberapa menit Maura sudah siap, ia membuka sarung tangan lalu mencuci kedua tangannya yang sedikit terkena bumbu, ketika saat itu suara langkah dari atas tangga membuatnya menoleh. Ia melihat Damar turun dan berjalan mendekat kearah dapur.
"Kamu ngapain?." tanya Damar melihat pada sarung tangan kotor diatas Counter table. Lalu meraih teko menuangkan air bening kedalam gelas.
"Mas, kebetulan kamu disini. Aku lagi belajar buat kimchi. Tadi pagi chef Deva yang mengajariku. Dan hari ini dia memberiku tugas untuk membuatnya dirumah. Minggu depan aku harus membawa kimchi ini untuknya."jelas Maura panjang lebar.
"Aku takut rasanya tidak enak. Bisa minta tolong kamu tes rasa?." tanya Maura antusias.
"No!." Damar langsung menjawab singkat dan tepat, lalu meneguk minuman, kemudian langsung pergi seraya membawa gelas berisi sisa air beningnya naik ke lantai atas.
"Kenapa dia?." tanya Maura bingung pada dirinya sendiri.
.
.
.
.
.
Salam sayang dari Author 😚 jangan lupa tinggal jejak ya😊
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments