Maura baru saja mengganti pakaiannya diruang locker. Sambil berjalan ia merapikan rambutnya hendak keluar, tapi tanpa diduga Damar tiba-tiba masuk kedalam dan menarik tangannya.
"Ikut keruangan ku sekarang!." ucap pria berperawakan tinggi memakai setelan jas biru tua itu setengah berbisik namun tegas.
"Mas, kamu mau ngapain?? belum nikah, juga. Sudah main tarik-tarik saja. Lepaskan tanganku!." Maura berusaha memberontak, karena genggaman tangan kokoh itu cukup kuat hingga terasa menyakiti tangan kurusnya.
"Berisik kamu!. bisa diam tidak?!" Damar berhenti menatap Maura tajam, kemudian kembali berjalan dengan langkah panjang menuju ruangan pribadinya. Gadis itu akhirnya terdiam. Saat itu, Maura cukup tergesa-gesa mengimbangi langkahnya.
"Masuk!." kata Damar pelan namun tegas sambil menutup pintu ruangannya. Ia juga sempat memastikan tak ada orang lain melihat mereka.
Damar mendudukkan diri disebuah kursi kerja kemudian membuka tas kerja, mengambil map berwarna coklat, kemudian menarik selembar kertas putih dari dalam."Duduk!." perintahnya pada Maura yang masih berdiri.
Gadis bertubuh mungil itu lagi-lagi menurut. Ia mendudukkan diri di kursi kosong yang tersedia didalam ruangan yang didominasi warna hitam bernuansa minimalis itu. Meski sejujurnya ia bingung apa tujuan kakak iparnya itu membawanya kemari. Namun tak perlu menunggu lama, semuanya terjawab.
"Ini kontrak pernikahan." kata Damar tanpa beban meletakkan kertas putih beralas map coklat diatas meja.
"Kontrak pernikahan?." ulang Maura bingung.
"Aku tau kamu tidak menginginkan pernikahan ini. Begitu juga denganku. Mari membuat kesepakatan agar tidak ada yang merasa diberatkan." Damar menyodorkannya pada Maura."Bacalah."
Maura meraihnya, dan membaca point-point yang yang tertulis didalamnya. Tak ada yang memberatkan apalagi merugikan menurutnya. Apalagi di poin pertama, sangat jelas tertulis tidak boleh adanya hubungan suami-istri diantara mereka selama pernikahan. Itu membuat Maura merasa tidak perlu cemas. Jika bercerai pun, dirinya masih bersegel.
"Untuk poin kedua .... satu tahun, aku rasa itu cukup buat kamu merawat Zayn. Dia tidak akan lagi merasa kekurangan perhatian. Lagi pula, ada sus Ana yang selalu menjaganya."ucap Damar dengan wajah datar menatap gadis berkulit putih dengan rambut ekor kuda itu."Dan selama satu tahun itu, kamu bisa menunggu panggilan dari sekolah memasak di Korea. Karena yang aku tahu, penerimaan murid baru, baru akan dimulai tahun depan. Jangan khawatir ... semua biaya selama kamu sekolah disana, aku yang akan menanggungnya."
"Aku tau itu impianmu."Sambung Damar lagi sambil terus melihat Maura yang belum bersuara."Dan aku tidak akan menghalangi mu untuk menggapainya."
"Jika saat itu tiba ... maka mari kita bercerai."pungkasnya tanpa rasa beban.
Maura mengangkat wajah melihat pria yang kini sudah terlihat rapi itu. Kedua sisi wajahnya tak lagi ditumbuhi rambut-rambut halus tak terawat seperti kemarin."Oke. Aku setuju!."
"Tapi apa tidak bisa ditambahin?."tanya Maura menawar.
"Apa itu?." Damar menatapnya serius.
"Kita kan, cuma nikah kontrak. Kalau misalnya selama menjalani pernikahan aku punya pacar, boleh kan, Mas?."
Damar tak langsung menjawab, ia melihat Maura kesal."Selama satu tahun ini kita akan tinggal bersama. Kalau kamu punya pacar ... orang lain pasti akan tau kalau pernikahan kita ini hanya main-main. Bagaimana sih, kamu?!"
"Dan satu hal kamu harus ingat! tidak ada yang boleh tahu tentang kontrak pernikahan ini. Siapa pun itu. Apa lagi Papa dan Mamaku. Jika ada yang tau ... itu pasti karena dirimu!."
Maura menekuk bibir kesamping."Oke, baiklah. Aman, sudah tenang saja!."
Aira berjalan memasuki Nara House. Wajah gadis itu tampak sembab seperti baru habis menangis. Langkahnya panjang, suara sepatu dari heels-nya yang tinggi menapak tegas dilantai. Tanpa bertanya, ia terus berjalan. Langkahnya tiba-tiba melambat, manakala melihat Deva melintas didepan pintu yang bertuliskan ruang manager.
Aira sempat memperhatikan, tapi kemudian kembali berjalan dan membuka pintu ruangan itu. Namun tanpa diduga, saat itu Maura juga keluar. Keduanya tanpa sengaja saling menabrak hingga membuat map coklat yang berada ditangan Maura jatuh berpencar kelantai.
Buru-buru Maura mengambilnya, memasukkan kertas putih yang sempat keluar.
Aira menatapnya heran.
Sementara Damar memejamkan sekilas matanya geram.
"Maaf, mbak Aira. Aku buru-buru."
Kedua sudut bibir Aira tertarik kaku."Hati-hati."
Maura gegas berjalan menuju ruang locker kembali."Mbak Aira tadi lihat nggak, ya? bisa gawat kalau dia tau. Pasti bakalan cerita ke Tante sama Om juga."ia bertanya pada dirinya sendiri seraya menggigit bibir, ketika hendak membuka pintu locker.
"Tapi kayaknya enggak, deh. Soalnya tadi waktu aku lihat ekspresinya biasa saja." sambungnya merasa yakin. Ia lalu menarik tas miliknya kemudian memasukkan map coklat berisi kontrak pernikahan itu kedalam, lalu mengunci lokernya kembali.
Deva melihat Maura berjalan menuju dapur restoran. Gadis itu tampak lebih baik, berbeda jauh seperti kemarin terlihat murung dan lebih banyak melamun.
"Berjanjilah padaku tidak melamun lagi seperti kemarin."
Maura tersenyum tipis."Tentu saja. Aku sudah jauh lebih baik sekarang." ia menghela nafas semangat."Sekarang, apa yang harus aku lakukan untukmu?."
......................
"Damar, apa kamu tidak membaca pesan, ku? bukan kah sudah aku bilang bahwa hari ini ada rapat penting? kenapa kamu malah kemari?."
"Aku tadi sudah ke rumahmu. Tapi kamu malah pergi lebih dulu tanpa mengabari ku!." cecar Aira dengan nada tinggi.
"Soal itu aku minta maaf. Aku kemari karena ada hal penting yang harus ku selesaikan."aku Damar datar.
"Damar aku mohon kamu harus bersikap profesional. Aku tau restoran dan memasak adalah salah satu kebahagiaanmu. Aku juga tau kamu tidak bisa terpisahkan dari semua itu. Tapi pikirkan juga Alga Karya. Perusahaan membutuhkanmu!."
"Aira, kenapa denganmu?." Damar berdiri menatap Aira bingung."Aku sudah meminta maaf. Lagipula ini bukan masalah. Rapat masih ada waktu satu jam lagi. Tapi kamu datang marah-marah seolah aku melakukan kesalahan besar?!."
"Aku juga tau, Aira. Aku juga tau apa yang harus aku lakukan untuk perusahaan Papaku!."
Aira terbungkam. Entah mengapa ia tidak dapat mengontrol emosinya sejak tadi."Maafkan aku."lirihnya pelan menahan bulir bening yang menggenang di kedua bola mata.
"Aku tau kamu peduli padaku. Aku juga senang mempunyai sahabat sepertimu. Tapi ketahuilah, Aira ... aku juga tengah belajar mengatur restoran dan juga perusahaan supaya tetap terkendali." kali ini Damar merendahkan suaranya.
Namun Aira, merasakan hatinya tiba-tiba tercubit mendengar bait kalimat yang baru terlontar dari bibir Damar. Lagi, aku merasa kalah. Tidak bisakah status sahabat diantara kita menjadi lebih? batin Aira perih.
"Sudah pukul 9. Ayo kita pergi. Bukankah katamu rapat akan dimulai?."
Suara Damar menyadarkannya. Aira menelan ludah, kemudian mengangguk pelan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments