..."Ini hanya tidak mudah. Bukan tidak mungkin."...
Hari sudah semakin sore, Maura akhirnya memutuskan pulang. Ia berjalan kaki menuju persimpangan untuk menunggu taksi. Tapi pada saat itu, sebuah mobil berwarna hitam berhenti disampingnya.
Maura menoleh, ia sempat tak percaya kala melihat seorang pria dari balik kaca mobil yang perlahan terbuka."Mas, Damar?."
"Masuk!."
Ucap pria itu tegas tanpa melihat.
Maura akhirnya langsung menurut untuk masuk. Sepertinya ia harus bersyukur, karena tidak perlu bersusah payah menunggu taksi.
"Kalau bukan karena Naomi menyayangimu, aku pasti sudah menyeret mu ke penjara." kata Damar melihat Maura yang baru saja duduk disisinya dengan sorot mata tajam.
Gadis itu sontak mamaku. Hatinya sakit. Damar masih saja menuduhnya atas kecelakaan penyebab kematian sang istri.
"Polisi mengatakan kamu terbukti lalai karena mengemudi dengan mobil yang sudah tidak layak pakai?! rem mobilmu, blong!." ucap Damar dengan nada suara yang tinggi.
"Tapi bukan seperti itu kejadiannya, Mas!." kata Maura dengan suara tak kalah tinggi."Ada mobil lain yang menyerempet mobil kami saat itu."
"Polisi bahkan tidak bisa mencari informasi tentang itu. Tidak ada cctv dan saksi disana. Itu pasti hanya akal-akalan mu saja agar posisimu tidak diberatkan dalam kasus ini. Iya, kan?!."
Bulir bening yang Maura tahan akhirnya menitik. Ia lelah terus dituduh. Jika waktu bisa diputar dan ditukar, biar lah dia yang mati. Bukan Naomi. Jika tadi ia sempat merasa bersyukur, saat ini dirinya justru merasa menyesal karena telah masuk ke dalam mobil pria itu. Tak tahan, ia akhirnya memutuskan untuk keluar. Sementara Damar langsung memacu mobil meninggalkannya.
Waktu sudah hampir senja, ketika Maura sampai dirumah. Diruang tamu, ia melihat Amelia dan Razdan tengah duduk menanti adzan maghrib tiba.
"Assalamualaikum." ucap Maura pada sepasang paruh baya itu.
"Waalaikumussalam."
Sahut Amelia dan Razdan bersamaan.
"Maura, kamu dari mana saja, nak? Tante sempat khawatir. Bik Imah bilang, kamu tidak pernah pulang sampai sesore ini." Amelia berdiri, kemudian berjalan menghampiri Maura.
Maura tersenyum tipis."Aku tadi ziarah ke makam mbak Naomi, Tante. Jadi sedikit terlambat."
"Maaf sudah membuat Tante cemas." sambungnya merasa tak enak.
"Oh begitu. Tidak apa-apa." Amelia tersenyum lembut."Tadi mas-mu juga ziarah. Kalian enggak ketemu?."
Hendak menjawab, saat itu Maura melihat Damar turun dari lantai atas sembari menggendong Zayn yang meringik. Kala itu pandangan keduanya bertemu. Damar masih dengan sorot mata dingin menatapnya."Tidak Tante. Mungkin waktu aku datang Mas Damar sudah lebih dulu pulang."akunya akhirnya.
"Ma ... Zayn sepertinya haus. Sus Ana dimana? aku tidak melihatnya." ucap Damar pada Amelia.
"Sus Ana lagi mandi. Sini, biar Zayn sama Mama dulu." Amelia mengambil Zayn dari tangan Damar, lalu beralih melihat Maura lagi."Maura ... ini sudah hampir malam. Sebaiknya bersihkan dirimu. Selesai maghrib kita makan malam sama-sama."
"Iya, Tante." Maura melangkah menuju kamarnya.
Tepat pukul tujuh malam, semua sudah berkumpul dimeja makan. Tidak banyak bicara, hanya suara Razdan dan Amelia lah yang sesekali terdengar, juga denting sendok yang beradu bernyanyi diatas piring. Sementara Damar dan Maura hanya diam dalam posisinya masing-masing. Ketika itu dari ruangan televisi suara tangis Zayn memecah nyaring. Karena memang posisi dapur dan ruangan televisi hanya dibatasi oleh sofa besar, semua bisa melihat dengan jelas sus Ana tengah berusaha menenangkan Zayn.
Amelia hendak berdiri, tapi suara Maura menahannya.
"Biar aku saja, Tante. Aku sudah selesai."
Amelia mengangguk pelan. Sementara Maura langsung berdiri dan berjalan menuju suara Zayn yang masih menangis. Dari jarak yang tidak terlalu jauh itu, semuanya bisa melihat dan mendengar bayi kecil itu perlahan berhenti menangis ketika Maura menggendongnya. Bukan hanya itu, Maura juga tampak seperti bernyanyi, terlihat dari bibir gadis itu yang bergerak teratur. Entah lagu apa yang gadis itu nyanyikan terdengar tidak begitu jelas, tapi Zayn tampak tenang.
"Damar, cepat selesaikan makan malam mu. Setelah itu temui Papa didepan."pria paruh baya yang saat ini sedang mengalami stroke ringan itu, mengayuh kursi roda dengan satu tangannya. Amelia yang melihat sang suami hendak beranjak dari ruang makan segera berdiri membantu mendorong. Meski sudah tak lagi muda dan sering sakit-sakitan, tapi pria tua itu masih terlihat ketegasannya.
Damar tak menjawab. Namun dari suara sang Papa, ia bisa menebak seperti ada hal penting yang ingin dibahas.
Tak lama, usai menyantap makan malamnya, Damar menemui Razdan yang saat ini sedang duduk bersama Amelia diruang televisi. Pria tua itu langsung mematikan televisi begitu melihat kehadiran putranya.
"Duduk dulu." Razdan mengarahkan dagunya yang dipenuhi jenggot beruban ke sofa yang kosong. Damar pun menurut duduk.
"Ada apa, Pa?."
Razdan tak langsung bersuara. Ia menghela nafas berat menatap Damar.
"Papa mau kamu menikah dengan Maura." ujar Razdan akhirnya tanpa ragu. Sementara Amelia sejak tadi hanya diam dengan kecemasan. Ia tahu sifat keras Damar dan juga pria tua itu. Ini tak mudah.
"Apa? Papa ingin aku menikahi Maura?!." Damar langsung berdiri menatap tak percaya pada Razdan."Papa bercanda, kan? itu konyol, Pa!."
"Papa serius!." ucap Razdan dengan suara tegas.
Sulit dipercaya, namun Damar tahu, Razdan tak pernah main-main. Ia mengusap wajahnya kasar."Tapi ini konyol, Pa! Maura adik iparku. Aku tidak mau!."
"Justru karena dia adik iparmu, maka kamu harus menikahinya, Damar!." Tegas Razdan meninggikan suaranya.
Sementara Amelia yang sudah tau pertentangan ini akan terjadi, ia berdiri menenangkan sang putra. Damar menurutnya adalah foto copy sang suami. Keduanya tak jauh berbeda. Sisi baiknya Damar, mewarisi ketampanan suaminya ketika muda, tapi sisi buruknya, ternyata mewarisi sifat keras suaminya juga. Mungkin yang meniru dirinya hanya sekian persen. Dan itu sepertinya adalah tentang kesetiaan saja. Terbukti selama ini sang putra sangat mencintai Naomi. Meski saat ini menantunya itu sudah tiada. Begitu pun Amelia, yang senantiasa setia meski Razdan selalu marah-marah membuatnya pusing tujuh keliling.
"Mas ..." Amelia melempar tatapan tajam pada suaminya. Padahal tadi ia sudah sempat mengingatkan pria tua itu untuk berusaha mengontrol emosi.
"Kamu saja yang teruskan. Aku rasa stroke ku akan semakin parah jika berbicara dengannya."
"Sus, Rita ... tolong bawa Bapak pergi dari sini!."Amelia memanggil Rita seorang suster yang membantu proses pemulihan sang suami selama ini.
"Baik, Bu." Rita mendorong Razdan
"Aku tidak ingin mendengar ada penolakan." kata Razdan pada Amelia sebelum sus Rita mendorongnya pergi dari ruangan itu.
Amelia menghela nafas berat. Ia melihat sang putra."Duduk dulu, nak. Dengarkan Mama bicara."
"Ma , tapi ini ..."
Pejaman mata dan anggukan lembut Amelia berhasil membuat sang putra yang ingin menentang akhirnya menurut duduk.
"Ada dua alasan kenapa Papa dan Mama memutuskan ini." Amelia kembali membuka suara seraya duduk disisi Damar."Yang pertama ... ini tentang Zayn." ucapnya melihat Damar."Zayn masih sangat kecil, nak. Usianya baru mau memasuki tiga bulan. Dia masih membutuhkan sosok seorang ibu."
"Tapi kenapa harus, Maura, Ma?."
"Kenapa harus Maura??" Amelia mengulangi pertanyaan yang keluar dari bibir sang putra."Ini salah satu poin pentingnya."
"Kenapa Maura? Karena Maura tantenya, nak. Hanya Maura yang pantas menjadi ibu sambung untuk Zayn dari pada wanita lain. Ada pertalian darah antara almarhumah Naomi dan Maura. Zayn pasti bisa merasakan kehadiran Naomi dalam diri Maura."
"Kamu lihat tadi?." Amelia masih menatap sang putra yang kini hening. Tidak ada pertentangan seperti tadi ketika Razdan yang berbicara."Zayn langsung tenang ketika Maura menggendongnya. Bukankah menurutmu dia merindukan Mamanya?."
"Dan alasan kedua ... ini tentang Maura." Amelia sejenak hening menjeda kalimat."Dia adik iparmu, nak. Tapi Naomi sudah tidak ada. Kalau kalian berdua berada dalam satu rumah yang sama ... apa kata orang-orang yang melihat?."
"Kamu tau Naomi sangat menyayangi Maura, kan? apa kamu tega mengusir Maura dari rumah ini sementara kamu sendiri tau Maura sudah tidak punya siapa pun lagi di dunia ini."Amelia terus berbicara dengan penuh kelembutan dan kesabaran demi sang putra agar mengerti.
"Mungkin dia bisa bertahan hidup diluar sana. Tapi apa kamu tega membiarkan dia hidup seorang diri?."
Damar masih bergeming. Dalam hati ia ingin menentang, namun ia tak punya alasan lain untuk membantah. Bagaimana pun, apa yang diucapkan Amelia benar adanya.
"Jadi, jalan satu-satunya untuk menyelesaikan masalah ini adalah, kamu harus menikah dengan Maura."Amelia memungkasi.
"Tapi apa harus secepat ini, Ma?."
"Lebih cepat lebih baik, nak."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments