..."Waktu memang tak bisa membuatmu melupakannya. Tapi setidaknya kau mampu terbiasa tanpanya."...
Hari terus berganti seiring dengan debaran dada di hati Maura yang kian berbunga. Bagaimana tidak, sejak belakangan ini, Deva selalu menunjukkan perhatiannya. Meski terus menjadi tanda tanya besar bagi Maura, mengapa pria itu berubah menjadi begitu hangat padanya.
Senyum gadis itu tak pernah berhenti mengiringi perjalanannya pagi ini menuju Nara House.
"Aku tidak tau rasanya bagaimana. Karena aku belum mencicipinya. Tapi aku yakin, ini pasti enak. Karena aku membuatnya dengan cinta."ucapnya mencium dari luar kotak bekal yang ia bawa. Lalu terkikik pelan membayangkan wajah Deva nanti.
Disampingnya, Damar yang sedang mengemudi entah sengaja atau tidak, mobil yang dikemudikannya tiba-tiba melaju tidak stabil, hingga membuat kepala Maura terantuk pintu mobil serta kotak bekal yang sejak tadi berada ditangan gadis itu terjatuh.
Bibir Maura seketika ternganga melihat kebawah. Kimchi didalam kotak bekalnya hampir semuanya tertumpah."Astaga, Mas. Kamu nyetirnya bagaimana, sih? selain membuat kepalaku sakit kerana terantuk mobil, kamu juga sudah membuat kimchi ku jatuh."
"Lihat, ini!." tunjuk Maura kesal pada karpet mobil.
"Tadi ada motor yang ngebut dan hampir menyerempet mobilku. Aku tidak sengaja." ucap Damar tanpa rasa bersalah, melihat sekilas kebawah kaki Maura, kemudian kembali melihat pada jalan.
"Motor apaan? aku tidak melihat motor ngebut, apalagi hampir menyerempet mobilmu, Mas"
"Ya, bagaimana bisa lihat? kamu dari tadi sibuk dengan kimchi mu itu!."ucap Damar dengan nada kesal.
Tak berniat kembali menimpali, Maura hanya bisa menghela nafas berat sembari membersihkan kimchi yang tumpah. Tak lama, mobil Mercedes-Benz hitam metalik itu berhenti di pelataran Nara House. Maura langsung turun sambil membawa kotak bekalnya. Disaat yang sama, ternyata Deva juga baru saja sampai dan langsung menghampirinya.
"Chef." sapa Maura sambil tersenyum.
"Hai." Deva membalas senyuman itu, seraya matanya tersita pada kotak bekal yang ada ditangan Maura."Apa itu kimchi buatanmu?."
Maura melihat kotak bekal ditangannya, lalu mengangguk lesu."Tapi maaf, chef ... kimchi ini sudah tidak layak untuk dimakan. Soalnya tadi tidak sengaja tumpah."ucapnya merasa menyesal.
"Tapi dirumah masih ada kok, chef. Besok aku akan membawanya lagi." sambungnya dengan semangat.
Deva tersenyum lembut."Tidak masalah."
Ehmmm!!!!
Suara deham cukup keras dari arah belakang membuat Maura dan Deva terkejut. Rupanya seseorang yang sejak tadi didalam mobil memperhatikan keduanya akhirnya turun.
"Aku tidak suka karyawan yang berleha-leha!."ucap Damar dingin, lalu melangkah masuk kedalam restoran meninggalkan Maura dan Deva yang masih berdiri diluar.
Keduanya pun langsung masuk mengekori.
Saat ini Damar bersama beberapa karyawan yang bertugas dibagian masak memasak sudah berada didapur. Pria itu sudah mengganti pakaiannya dengan seragam memasak berwarna hitam. Tinggal Maura dan Deva yang baru masuk usai keduanya mengganti pakaian.
Damar yang sekilas melihat keduanya muncul didapur secara bersamaan, refleks membanting tutup panci ke atas meja, menciptakan suara yang bising. Bahu Maura bahkan sampai berjengit karena terkejut.
Astaga, kenapa hari ini dia selalu membuat jantungku hampir lepas. batin Maura kesal.
"Sup iga, dua, kimchi satu!." terdengar suara Doni dari luar."Dalgona kopi satu, watermelon punch dua!."
"Oke!." Andre dan Deva menyahuti bersamaan.
Maura mengambil pisau miliknya, berniat mengiris daun bawang, namun mata pisau itu seolah tak menggigit.
"Kenapa?." Deva yang tak sengaja melihat langsung mendekati gadis itu.
"Tidak tajam." Maura menunjukkan pisaunya pada Deva. Pria itu langsung melihatnya, ketika seruan keras dari Damar terdengar memenuhi ruangan.
"Tolong daun bawang dan juga seledri!."
"Ya, Chef!." sahut Maura cepat.
"Pakai pisau ku dulu. Aku akan mengasah milikmu." kata Deva kemudian memberikan pisaunya pada Maura.
"Tolong, cepat!."lagi-lagi teriakan keras Damar kembali terdengar.
Maura menerimanya. Dengan memakai pisau milik Deva, ia pun, langsung mengiris daun seledri dan daun bawang yang diminta oleh Damar. Namun karena sedikit terburu-buru atau karena pisau Deva yang terlalu tajam, tanpa sengaja jari telunjuk Maura teriris. Ia sontak memekik.
Damar dan Deva yang berdiri tidak jauh darinya mendengar, dan langsung mendekat. Tapi ternyata Deva lebih cepat dan langsung mengambil tangan kurus gadis itu.
"Astaga, Maura. Ini sangat dalam." Deva melihat Maura yang sedang meringis menahan sakit. Deva hendak beranjak membawa Maura agar segera diobati, tapi saat itu sebuah lengan kokoh memaksanya melepaskan tangan.
"Dia istriku, biar aku yang akan mengobatinya." ucap Damar dengan tatapan tegas melihat Deva. Lalu dengan cepat mengambil kain bersih dari dalam lemari dan langsung menutupinya pada luka Maura yang berdarah. Tanpa berlama-lama Damar langsung membawa gadis itu masuk kedalam ruangan kesehatan.
"Dasar bodoh! aku menyuruhmu memotong seledri, bukan memotong jarimu!." gerutu Damar duduk diatas sofa tepat didepan Maura, sambil membuka balutan kain dijari gadis itu. Tak seperti tadi, darah segar itu sudah mulai berhenti."Ini baru satu yang kena. Kalau kamu masak sambil mikirin cowok Korea KW itu terus, sepuluh jari tangan kamu pasti akan teriris juga."
"Kamu kok malah nyalahin aku sih, Mas? ini semua justru gara-gara kamu. Kamu yang nyuruh aku cepat-cepat sampai aku buru-buru dan jari aku teriris. Lagipula kenapa sih, aku perhatikan dari tadi kamu marah-marah terus, sudah seperti perempuan datang bulan saja?!."
Damar melempar tatapan tajam pada Maura."Bisa diam tidak?!."
Merasa malas untuk kembali menimpali, Maura akhirnya diam. Meski dengan wajah tertekuk karena kesal. Tapi kemudian dirinya memekik pelan.
"Tahan sedikit. Aku akan membersihkan lukanya agar tidak infeksi." kata Damar kemudian ketika menyadari suara pekikan dari bibir gadis itu. Lalu tangannya terulur mengambil obat luka dari dalam kotak putih berukuran sedang diatas meja. Perlahan meneteskannya pada luka Maura. Ketika itu, kembali terdengar suara gadis itu memekik menahan perih. Damar langsung meniupnya.
Maura yang meringis dibuat tertegun dengan perlakuan Damar yang menurutnya sangat kontras. Tanpa sadar netra bulatnya menyusuri lekuk-lekuk wajah tegas yang berada pada posisi tepat didepannya itu. Serta hembusan nafas berkali-kali dari pria itu, tiba-tiba mengantarkan gelayar aneh di dadanya. Maura menelan ludah.
Hingga beberapa saat, Damar menyadari ruangan menjadi hening langsung mengangkat wajah. Membuat pandangan keduanya bertemu. Namun itu tak lama. Karena Maura yang lebih dulu menyadari, buru-buru menarik tangannya yang kebetulan memang sudah hampir siap diobati. Hanya plester luka yang belum sepenuhnya merekat.
"T-terima kasih, chef." sedikit terbata Maura menunduk, kemudian buru-buru keluar dari ruangan itu meninggalkan Damar yang mematung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments