..."Aku kurang menyukai titik, karena tidak berseru dan bertanya. Tapi mengakhiri segalanya."...
^^^_Chateutic^^^
Maura keluar dari ruangan kesehatan. Entah apa yang gadis itu pikirkan, hingga tak menyadari keberadaan Deva yang berdiri didepan pintu menunggunya.
Saat itu, Deva ingin memanggil, tapi melihat pintu yang kembali terbuka dan melihat Damar keluar, suaranya tertahan.
"Selain hobi memasak, apa mengejar istri orang juga termasuk hobimu?."
Pertanyaan Damar membuat Deva berdengus kasar dengan sudut kanan bibir tertarik keatas."Istri kontrak anda maksudnya, chef?."
Kali ini pertanyaan Deva lah, yang membuat Damar terkejut tak percaya. Sorot matanya seketika menyala tajam."Dari mana kamu tau tentang itu? apa Maura yang memberitahumu?."
Deva bergeleng."Tidak ada yang memberitahuku."ucapnya berdiri tegak, dari punggungnya yang bersandar pada dinding.
"Jangan bohong, kamu!."
Deva tertawa tanpa suara melihat Damar."Kenapa? anda sepertinya sangat takut sekali, chef?"
"Jangan khawatir, chef. Selain saya ... saya pastikan tidak ada karyawan lain yang tau tentang rahasia itu. Pernikahan kalian akan tetap berjalan, sampai hari perceraian itu tiba." sambung Deva yakin."Tapi bicara tentang pernikahan anda dengan Maura .... dari awal saya tau kalau pernikahan kalian adalah karena keterpaksaan."
"Biasanya seiiring berjalannya waktu, perasaan mungkin mampu mengubah hati seseorang. Tapi saya sangat-sangat berharap ... chef tidak jatuh cinta dengan Maura. Karena saya yakin, jika perasaan itu hadir dalam diri anda, aku rasa itu bukan suatu ketulusan."
Damar menatap Deva dengan sorot tak mengerti.
"Ya, semua orang tau Maura dan almarhumah istri anda memiliki wajah yang sangat mirip. Hati-hati dalam menerka perasaan, chef. Perasaan yang anda berikan, mungkin hanya sebatas pelampiasan rasa rindu anda kepada almarhumah istri anda saja."
Damar tertawa konyol."Kamu bicara apa? apa kamu pikir aku mencintainya?."
Deva hening memperhatikan, lalu kembali bersuara."Aku sangat-sangat berharap itu tidak pernah terjadi, Chef. Dengan begitu, setelah satu tahun ini berakhir, aku bisa memiliki Maura."pungkasnya memandang Damar sesaat, lalu pergi.
Damar berdiri mematung. Entahlah, kalimat terakhir Deva tiba-tiba berputar berisik dikepalanya. Hingga ketika nyanyian ponsel dari dalam saku celana menyadarkannya.
Sempat menghela nafas jengah, namun akhirnya diangkat."Oke, aku kesana sekarang." sahutnya begitu mendengar penjelasan Aira. Langsung berjalan menuju ruangannya untuk mengganti pakaian. Hanya beberapa menit dirinya telah siap dengan setelan jas-nya semula dan berjalan keluar meninggalkan restoran.
___________
Deru mobil didepan rumah membawa langkah kaki bik Imah ke depan. Ketika pintu dibuka, ia langsung mengambil jas, dan tas kerja dari tangan majikan itu.
"Tuan mau makan sekarang? kalau iya, biar makanan langsung bibi hangatkan." ujar Bik Imah kemudian.
"Tidak perlu, bik. Tadi saya sudah makan dikantor." balas Damar sambil melonggarkan dasi, dan membuka dua kancing kemejanya."Tolong buatkan teh hangat saja, dan bawa ke ruangan kerja."sambungnya sambil berjalan menuju ruang kerjanya.
"Baik, Tuan." bik Imah sedikit menunduk, mengekori Damar masuk keruangan kerja, meletakkan tas dan kemeja majikannya itu, lalu berjalan ke dapur. Selang beberapa menit, wanita paruh baya itu kembali masuk keruangan kerja dengan membawa segelas teh hangat dan meletakkannya diatas meja kerja Damar.
"Ini, Tuan, tehnya."cicit bik Imah pada Damar yang saat ini duduk dan menatap serius layar laptop.
"Terima kasih, bik." ucap Damar tanpa melihat.
"Apa ada lagi yang bisa saya bantu, Tuan?." bik Imah kembali bersuara sebelum beranjak.
"Tidak ada, bik."sahut Damar singkat.
Buk Imah akhirnya memutuskan keluar. Tapi baru beberapa langkah, suara Damar menghentikan kakinya.
"Zayn dimana, bik? apa dia sudah tidur?." Damar kini mengalihkan pandangannya pada Bik Imah.
"Dikamar den Zayn, Tuan. Sepertinya juga belum tidur. Soalnya tadi waktu bibi ambil minuman, bibi dengar suara Non Maura masih cekikikan. Kayaknya lagi main sama Aden." Bik Imah tersenyum.
Damar manggut-manggut."Ya sudah."
Waktu sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Bik Imah yang sudah terlelap tiba-tiba terbangun. Wanita paruh baya itu berjalan ke dapur berniat mengambil segelas air bening demi membasahi tenggorokannya yang terasa kering. Namun pada saat melintas, tanpa sengaja pandangannya tertuju pada lampu ruang kerja yang masih menyala karena memang pintu ruangan itu sedikit terbuka.
Bik Imah berjalan dan perlahan membukanya. Ia terkejut melihat Damar tengah tertidur dengan posisi duduk menumpukan wajah pada kedua tangan diatas meja, sementara layar laptop dibiarkan masih menyala.
Wanita paruh baya itu berjalan mendekati. Perlahan satu tangannya terangkat menepuk pelan bahu Damar yang masih berbalut kemeja hitam."Tuan." cicitnya kemudian.
"Tuan." panggil Bik lagi kembali hingga akhirnya Damar terbangun.
"Maaf, Tuan, kalau saya lancang. Tapi tadi saya tidak sengaja melihat Tuan tertidur disini." jelas bik Imah kemudian.
Damar hanya mengangguk dengan mata yang sedikit kabur.
"Saya permisi, Tuan." Bik Imah keluar.
Damar segera menutup layar laptopnya. Kemudian menggerakkan lehernya ke kanan dan ke kiri karena merasa pegal setelah beberapa saat tidur dalam posisi duduk. Sesaat hening, barulah ia berdiri. Mematikan lampu dan menutup pintu kemudian melangkah ke lantai atas menuju kamar Zayn.
Dengan perlahan ia membuka pintu kamar itu. Didalam kamar yang didominasi berwarna biru tua, serta hiasan dinding dengan karakter yang lucu itu, ia melihat Maura sudah terlelap dengan telapak tangan diatas perut Zayn. Pemandangan yang sudah lama tidak pernah ia lihat, berhasil membuat hatinya kembali hangat. Perlahan ia berjalan mendekati ranjang. Sedikit membungkuk membentangkan selimut menutupkannya pada tubuh Maura dan Zayn.
Netranya beberapa saat terkunci pada Maura. Menyusuri setiap lekuk wajah gadis itu dengan seksama, mengingatkannya pada wanita yang saat ini begitu ia rindukan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments