..."Bahkan sebuah pohon ditengah kemarau akan tetap berjuang tumbuh. Meski dedaunannya layu, jatuh berguguran....
...Tapi ini bukan tentang pohon."...
"Mbak ... mbak harus bertahan ya, mbak. Mbak harus kuat. Ingat Zayn. Dia butuh mbak." kata Maura sambil menangis membawa tubuh Naomi bersandar kepadanya. Genggaman tangan Naomi begitu erat memegangnya. Seperti ada yang ingin dikatakan, wanita itu membuka mulut namun seolah tak berdaya. Sementara darah segar terus mengucur deras dari wajah wanita itu yang sedikit robek karena benturan kaca.
"Mbak mau ngomong apa?." tanya Naomi dengan suara bergetar menahan tangis."Bicaralah ... "
"M-mbak ... titip ... Z-zayn sama .... kamu, ya."ucap Naomi akhirnya terbata-bata dengan segala usaha untuk kuat meski sakit yang menghantam kepalanya sudah tak tertahan." T-tolong ..." suara Naomi tercekat menelan ludah yang terasa kering, dengan kedua tangan bergerak meraih kedua tangan Maura dan menggenggamnya erat. Seolah menaruh harapan besar sang adik."T-tolong j-jaga dia. Mbak sudah .... tidak k-kuat, Ra."
"Enggak Mbak .... mbak nggak boleh ngomong begini. Mbak pasti selamat. K-kita ke rumah sakit sekarang." Maura melihat pada beberapa pria yang berhenti, menepikan kendaraan dan berjalan menuju mobilnya.
"Pak ... tolong kami, Pak. Tolong antarkan kami ke rumah sakit. Mbak saya terluka parah." pinta Maura memaksa.
Beberapa orang tidak berani. Namun diantara mereka ada yang baik hati menawarkan diri."Biar saya antar." ujar pria paruh baya tulus itu membuka pintu yang sudah tak berbentuk di sisi kiri. Tepat pintu dimana Naomi berada. Pria itu menarik pelan tubuh Naomi yang lemah, dan mengangkatnya menuju mobilnya yang terparkir dipinggir jalan.
Sepanjang jalan Maura menangis. Sementara suara Naomi tak lagi terdengar. Ketakutan Maura semakin menjadi.
"Mbak ... aku mohon, bertahan lah." ucap Maura lagi sambil terisak-isak.
Tak lama, mobil yang mengantarkan mereka telah sampai dirumah sakit terdekat. Pria paruh baya yang menolong itu mengangkat tubuh Naomi kembali dengan langkah terburu-buru. Sementara Maura sudah berlari lebih dulu, memanggil perawat yang bertugas. Selang kemudian, suara gemuruh bersahutan, langkah cepat dari beberapa orang berseragam serba putih datang mendorong brankar menuju Naomi yang lemah berada.
"Tolong selamatkan mbak saya, Dokter." pinta Maura dengan suara bergetar ketika sudah berada didepan ruang operasi.
"Berdoa ya, mbak. Kami akan melakukan yang terbaik." ujar Dokter wanita itu sebelum masuk kedalam.
Maura berdiri disisi lorong rumah sakit. Namun tiba-tiba ia teringat, sajak tadi dirinya belum menghubungi siapa pun. Gegas ia membuka sling bag mengambil ponselnya dari dalam sana. Dengan tangan bergetar ia memilih nama.
Setengah jam telah berlalu. Maura terus bergumam memanjatkan doa. Sesekali ia berdiri lalu duduk dengan segala kecemasan. Ketika itu, suara adzan Dzuhur menggema. Maura memang bukan lah gadis yang alim. Sering bahkan ia melupakan kewajiban kalau Naomi tak tahu. Acap kali Naomi marah setiap kali adik kesayangannya itu lalai. Namun tanpa disuruh, kali ini hatinya terketuk. Sempat merasa berdosa karena terlambat dan hanya datang disaat kesulitan. Tapi dalam hati Maura memohon, semoga Allah memberikan sang kakak pertolongan.
Gemericik air wudhu mengalir menyirami wajahnya. Menghapus sisa darah kering dari pelipisnya yang sudah dibalut perban. Usai berwudhu, Maura berjalan menuju musholla kecil yang ada dirumah sakit. Disana ia berdoa, menangis sejadinya merayu sang kuasa menyambut segala doa.
Langkah kaki Maura terburu-buru menyusuri koridor rumah sakit. Pintu ruangan operasi ia lihat sudah terbuka. Namun tangis raungan dan racauan dari dalam mematahkan harapannya. Masih didepan pintu, Maura menapak seakan tak berpijak. Melihat kakak iparnya yang menangis. Terlihat begitu rapuh sambil memeluk tubuh Naomi yang sudah memucat tertutup kain putih.
"Sayang, aku mohon bangun. Kamu dengar aku, kan?." ucap Damar sambil mengguncang-guncang tubuh Naomi yang terbujur."Yang mana yang masih sakit ... ayo bangun katakan lah." ia menggenggam jemari dingin Naomi seraya mengusap puncak kepala sang istri yang terbalut kain perban.
"Bangun lah, sayang. Bukan kah kamu ingin kita membesarkan Zayn bersama? hah?." Damar terus berbicara seolah Naomi mendengarnya."Kalau begitu ayo, bangun! Kita akan lihat tumbuh kembangnya bersama. Kita akan lihat dia tersenyum ... kita akan lihat dia belajar berjalan ... berlari. Dan masih banyak lagi." Damar tersenyum merayu. Namun Naomi tak bergerak. Bahkan sepatah kata pun tak ada sahutan. Membuat pria itu sadar. Bahwa istrinya sudah benar-benar pergi. Bahu Damar seketika berguncang menahan isak yang sesak.
"Enggak!!."Masih berdiri didepan pintu, Maura bergeleng lemah tak percaya.
"Mbak Naomi!!." teriak Maura akhirnya berlari memeluk tubuh tak berdaya sang kakak, membuat Damar yang kala itu memeluk menegakkan tubuh. Entah mengapa, tatapan pria itu berbeda. Menghujam menatapnya seakan marah namun berusaha menahan, membiarkan Maura menangis sejadinya.
"Enggak!! Mbak Naomi nggak boleh pergi. Mbak Naomi enggak boleh meninggal. Jangan tinggalin aku, mbak."tangis Maura meraung-raung mengguncang tubuh Naomi."Cuma mbak yang aku punya di dunia ini. Aku enggak punya siapa pun selain mbak."
"Ayo bangun, mbak! mbak pasti bisa." sambungnya kali ini seraya menyeka bulir air mata yang terus tumpah."Mbak pasti kuat. Darahnya sudah berhenti, mbak ... lukanya sudah dijahit." kali ini ia tersenyum. Namun jelas itu adalah senyum getir."Mbak harus bangun ... ayo!." ucapnya kembali, terus menyemangati. Sesaat hening menahan isak tangis. Sama seperti Damar, Maura akhirnya sadar Naomi telah pergi meninggalkannya untuk selamanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments