..."Jangan menyalahkan takdir. Sebab pohon pun, tidak pernah membenci angin ketika menggugurkan daunnya."...
Sudah seminggu sejak kepergian Naomi, Damar hanya menghabiskan waktu didalam kamar. Sejak itu pula, segala pekerjaan ia serahkan pada Aira. Benar-benar waktu ia gunakan untuk sendiri.
Razdan dan Amelia berkali-kali membujuk, namun Damar tetap pada pendirian tak ingin keluar. Meski dirundung rasa cemas, keduanya akhirnya memaklumi dan memberi ruang. Tapi kali ini tidak lagi.
"Ini sudah seminggu, Ma. Meratap terus tidak akan membuat semuanya berubah. Naomi tidak akan kembali." Razdan sedikit meninggikan suaranya ketika Amelia bertindak ragu.
"Papa ... tenang dulu. Ingat kondisi papa saat ini."kata Amelia mengusap punggung suaminya menenangkan."Baiklah, Mama akan menemuinya keatas."
Razdan tak berniat menjawab. Sedangkan Amelia berjalan menaiki tangga menuju kamar utama.
"Damar, ini Mama, nak." kata Amelia seraya mengetuk pintu."Damar, tolong buka pintunya, sayang." sambungnya lagi dengan penuh kesabaran, meski tak mendapat sahutan dari dalam.
Kali ini, Amelia mencoba membuka handle pintu yang ternyata tidak terkunci. Ia perlahan membukanya. Suasana gelap, dan pengap terasa didalam kamar itu karena tirai kaca yang tertutup. Amelia menyalakan kontak lampu yang ada di samping pintu. Tak ada orang didalam. Hanya tempat tidur dan bantal diatasnya yang berserakan tak tentu arah, juga sepiring nasi dan segelas susu diatas nakas yang belum tersentuh sejak bik Imah menghidangkannya pagi tadi.
"Damar ..." panggil Amelia kembali seraya melangkah masuk. Detik itu, sorot mata Amelia tertumbuk pada sang anak yang tengah duduk dilantai seraya bersandar pada pinggir tempat tidur dengan tatapan kosong. Wajah tampan itu terlihat tak terawat dengan rambut-rambut halus yang mulai tumbuh panjang disekitar wajah. Juga tubuh yang selalu tegap berisi itu kini berubah menjadi lebih kurus.
"Ya Allah, Damar ... kenapa jadi begini, nak?." Amelia bersimpuh menangis memeluk tubuh Damar. Ia merasa iba, tak pernah menyangka kepergian Naomi akan membuat anaknya menjadi serapuh ini."Cukup, nak ... jangan siksa dirimu seperti ini."
"Aku tidak bisa hidup tanpa Naomi, Ma."ucap Damar menumpahkan segala tangis kesedihan didalam pelukan sang Mama.
"Tidak, nak." Amelia bergeleng seraya mengurai pelukan."Kamu bisa." sambungnya meyakinkan mengusap air mata di wajah sayu sang anak."Kamu harus semangat. Masa depan kamu masih panjang. Kalau tak bisa melakukannya untukmu, setidaknya lakukan demi anakmu, Zayn."
Zayn?
Mendengar nama itu membuat sudut hati Damar berdenyut. Sang anak yang ia rindukan namun ia abaikan selama seminggu ini. Bukan tanpa alasan ia melakukannya, ia hanya tak ingin Zayn melihat sisi lemah dan kerapuhannya sebagai seorang ayah.
"Kalau begitu bangkit lah. Tunjukkan pada Zayn kalau kamu bisa menjadi ayah yang kuat." kata Amelia seolah tau apa yang ada didalam pikiran sang anak."Mama yakin kamu bisa."
"Seminggu, nak ..." sambung Amelia lagi dengan suara bergetar memegang kedua sisi wajah Damar."Seminggu waktumu habis percuma terbuang disini. Ingat Zayn ... dia membutuhkan mu."
Damar hening dengan mata basah.
Amelia menepuk pelan bahu Damar memberi semangat, sebelum melangkah keluar meninggalkan sang anak yang masih duduk membisu.
_______________
Nara House,
Hari ini, hari pertama Maura bekerja sejak kepergian Naomi. Hari ini juga ia memulai tugasnya sebagai asisten chef sejak persetujuan Damar seminggu yang lalu. Semangatnya tak lagi berapi seperti saat itu. Bahkan ia lebih banyak diam dan melamun.
"Ttoekbokki satu, kimchi satu, chef.!" seru Doni karyawan yang bertugas menggantikan posisi Maura sebagai pelayan sejak seminggu yang lalu.
"Oke!." sahut Deva dari dapur.
"Maura, tolong daun bawangnya diiris lagi." ujar Deva sambil membuat saus gouchujang (pasta cabai khas Korea) tanpa melihat pada gadis itu."Dan tolong ambilkan untukku teh minyak wijen." tak ada sahutan, Deva menoleh kesamping seraya menghentikan tangan kanannya yang sedang mengaduk pasta. Saat itu ia baru menyadari Maura tengah berdiri didepan kompor dengan pandangan kosong.
"Maura, awas!." Deva menarik tangan Maura mundur seraya mematikan kompor yang ternyata saat itu sebuah panci tengah menguap dan menumpahkan air rebusan telur dari dalam.
Maura tersentak terkejut. Saat itu ia menyesali kebodohan karena hampir membuat tangannya tersiram uapan air mendidih.
Deva menatap Maura seraya mengatur nafas yang tak beraturan karena panik.
"Bagaimana tanganmu. Apa baik-baik saja?." tanya Deva kemudian.
Maura melihat kedua tangannya, lalu bergeleng."Maafkan aku."
"Tidak apa-apa. Tapi sebaiknya kamu jangan terlalu memaksakan diri. Istirahat lah dulu. Aku bisa mengerti posisimu saat ini." Deva tersenyum tulus.
"Maafkan aku. Ini hari pertama ku bertugas di dapur, tapi aku malah merepotkanmu."
"Sudah kubilang tidak apa-apa. Kembalilah besok, dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi." kedua sudut bibir Deva tertarik tipis.
"Yuza tea dua!." kembali terdengar seruan dari meja pengunjung.
"Pergilah."kata Deva lagi.
Maura akhirnya menurut, ia keluar dari dapur. Ada yang berbeda, Maura tak lagi centil dan ceria seperti biasa. Bahkan panggilan Oppa yang selalu ia sematkan pada Deva tak terdengar hari ini.
Tanpa Maura sadari, sejak ia keluar pemuda itu memperhatikannya.
Pergantian shift seharusnya sudah sejak dua jam yang lalu. Berniat untuk mencari ketenangan, Maura justru tanpa sadar tertidur didalam ruangan khusus karyawan wanita. Ia baru terbangun ketika pintu terbuka melihat Aina masuk kedalam.
"Baru bangun?." Aina tersenyum mendekati.
Maura tersenyum tipis seraya duduk menggeliat meluruskan pinggangnya yang terasa pegal karena tidur diatas sofa berukuran pendek."Kamu baru datang?."tanyanya mengingat Aina yang memang Minggu ini berada di shif kedua.
Aina bergelang."Sudah dari tadi."Ucapnya mencari buku catatan pesanan pelanggan yang kemarin ia letakkan didalam laci.
"Serius?." ulang Maura tak percaya. Ia lalu melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Refleks bibirnya ternganga melihat jam yang sudah hampir menunjukkan pukul empat sore."Aina, kenapa tidak membangunkan ku?."
"Kamu tidur sangat nyenyak, aku jadi tidak enak membangunkan mu." jelas Aina kemudian menatap Maura yang sudah berdiri."Kamu mau pulang sekarang?."
"Tidak ... hari ini aku akan ziarah ke makam mbak Naomi dulu. Sudah tiga hari aku tidak kesana. Rasanya sudah rindu."
Aina mengerti perasaan sahabatnya itu."Ya sudah, pergilah. Hati-hati, jangan pulang terlalu sore."
"Iya, Aina." Maura tersenyum seolah melihat Naomi dalam diri Aina."Aku pergi sekarang, ya."
Aina mengangguk pelan. Sementara Maura melangkah menuju ruang locker untuk mengganti pakaian.
Beberapa saat berlalu, sebuah ojek yang mengantarkan Maura telah sampai di pemakaman. Diatas gundukan tanah merah yang basah itu, tampak bunga-bunga segar bertaburan, juga seikat bunga mawar putih tersusun rapi diatas batu nisan. Seperti baru saja ada seseorang yang datang.
Maura meletakkan satu ikat bunga mawar yang sama. Ia membawanya, karena bunga itu adalah bunga kesukaan Naomi. Maura menekuk kedua lutut, satu tangannya terulur mengusap batu nisan."Sudah seminggu, mbak. Tapi rasanya baru kemari mbak pergi."suaranya bergetar.
"Aku rindu, mbak."lirihnya pelan, diiringi air mata yang luruh hingga bahunya berguncang. Tanpa Maura sadari, sejak dirinya sampai ditempat itu, dari jarak yang tidak terlalu jauh seseorang dari dalam mobil memperhatikannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments