Damar buru-buru masuk kedalam mobil ketika Maura mengejarnya.
"Dasar kakak ipar nyebelin!!."
"Hahahaha." Damar hanya tertawa, terlihat dari kaca mobilnya yang sengaja dibuka.
Merasa kesal, Maura sempat menendang ban mobil Mercedes-Benz hitam keluaran terbaru itu sebelum masuk kedalam mobil butut pink miliknya yang sudah di modifikasi menjadi estetik. Tapi Maura dibuat bingung karena beberapa saat menyalakan mobil, mobil kesayangannya itu tak berniat menyala.
"Aduuuh, Chubby ... jangan mogok, dong. Please." Maura mengusap-usap stir mobilnya lembut "Ayo dong, nyala, ya. Aku udah telat, nih."rayunya pada benda mati yang ia beri nama chubby itu. Mobil VW Beetle dengan bentuk kecil dan unik itu sebenarnya adalah mobil peninggalan almarhum sang Ayah yang ia rawat dan jaga selama ini. Tak heran jika mobil antik itu masih terawat dengan body mengkilap.
Saat itu, Damar yang baru saja menerima telepon dari ponselnya, melihat pada Maura yang kebingungan didalam mobil.
"Kenapa? mogok lagi?."tebak Damar yang sudah hapal betul kebiasaan buruk mobil antik itu. Ini mungkin sudah hitungan yang ke 101 kali. Tapi gadis itu seakan tak pernah bosan.
Maura nyengir."Iya, Mas. Aku boleh numpang nggak?."
"Ya sudah."
Maura gegas turun dari dalam mobil kesayangannya dan masuk kedalam mobil mewah milik Damar.
"Bye, chubby. Kamu aku tinggal dulu, ya." ucapnya seraya menutup pintu mobil.
Damar bergeleng melihat itu."Sudah ... dimuseumkan saja. Mobil mbakmu nganggur di garasi, jarang dipakai. Kamu kan, bisa pakai itu."ucapnya seraya melajukan mobil perlahan.
"Selama masih bisa diperbaiki aku akan tetap pakai chubby, mas. Itu mobil kesayangan Bapak dulu. Kalau lihat Chubby, aku merasa Bapak seperti masih ada bersamaku."
Damar menghela nafas jengah."Terserah kamu saja lah."ucapnya akhirnya seraya fokus melihat jalan yang padat merayap di tengah kota.
Hening sesaat.
"Mas, boleh tidak aku pinjam buku resep masakanmu?."ujar Maura tiba-tiba tanpa ragu.
"Buat apa?." Damar melihat sekilas.
"Enggak apa-apa. Belakangan ini aku tertarik masakan Korea. Jadi pingin belajar."
Damar berkerut dahi."Jangan bilang ini karena si oppa kamu itu, ya?."
Maura bergelang cepat."Itu alasan kedua. Alasan pertama, aku pingin seperti mas Damar. Jadi pengusaha kuliner Korea terkenal."
"Dulu almarhumah ibu juga punya warung sederhana, Mas. Ibu itu pintar masak. Sama kayak aku. Hihihi." Maura terkikik pelan di akhir kalimat.
"Kayak kamu?." ucap Damar tak yakin.
"Iyalah ... gini-gini aku alumni jurusan tata boga. Tiga tahun belajar memangnya mas pikir aku nggak punya ke ahlian memasak." Maura sedikit meninggikan suara, ketika mulai merasa di remehkan.
"Mas saja ... menerimaku sebagai karyawan tapi diposisikan sebagai kepala pelayan."sambungnya kini dengan wajah cemberut.
"Lumayan dong, kepala pelayan. Dari pada jadi tukang bersih-bersih."
"Tapi itu penghinaan, Mas. Aku punya sertifikat kelulusan tata boga. Masa cuma di jadikan pelayan restoran. Jadi asisten chef kek. Hitung-hitung aku bisa belajar lagi."
Damar manggut-manggut."Oke, baiklah. Itu bisa dipikirkan."
Maura seketika berbinar."Mas Damar serius?."
"Untuk beberapa hari ini, bekerjalah dengan baik. Sebelum pikiranku berubah lagi."ucap Damar tanpa melihat, sambil terus mengemudi pelan mengingat jalanan yang padat ditengah ramainya orang-orang yang hendak beraktivitas.
"Aaa ... makasih, Mas." Maura terus tersenyum saking bahagianya.
"Sebenarnya kalau untuk makanan Indonesia, masakanmu tidak begitu buruk."kata Damar mengingat beberapa kali mencicipi masakan Maura ketika di rumah."Tapi kalau masakan Korea ... nilaimu masih jauh."
"Ya jelas lah, Mas ... waktu kuliah, kan aku hanya belajar masakan Indonesia saja. Masakan Korea hanya beberapa. Itu pun cuma nyelip sedikit di otakku." jelas Maura yang kini melihat ke depan.
"Kalau ingin belajar masakan Korea, kenapa tidak kursus di Korea saja? bisa ambil yang satu tahun, setengah tahun, bahkan yang tiga bulan juga ada."sambung Damar seraya terus mengemudi dengan hati-hati.
"Disana lebih fokus, penjelasan lebih detail. Dan kamu pasti gampang memahaminya."
"Sebenarnya aku sudah membahas ini dengan mbak Naomi. Dan mbak Naomi setuju."jelas Maura kemudian, mengingat percakapannya dengan Naomi usai menyantap makan malam, tadi malam.
"Bagus, dong. Apalagi?." Damar memberi semangat."Soal biaya, nanti mas dan mbakmu yang nanggung. Kamu tenang saja."
"Kalau kamu serius mau belajar, kamu pasti bisa jadi pengusaha kuliner yang hebat." Damar memungkasi.
"Makasih ya, Mas." Maura tersenyum penuh semangat."Sekarang aku juga sudah mulai menyiapkan syarat-syarat pendaftaran."
Damar manggut-manggut pelan.
"Tapi catatan resepnya aku boleh pinjam kan, Mas?." tanya Maura mengulangi, karena tadi Damar memang belum menjawabnya.
Damar bergelang."Buku itu tidak akan aku pinjamkan pada sembarang orang. Hanya orang-orang terpilih yang bisa melihatnya."
Mendengar itu Maura menekuk bibir kecewa. Kakak iparnya ini memang selalu berubah-ubah. Kadang baik, kadang menyebalkan. Bahkan keduanya kerap seperti anak kecil yang suka mengejek. Beruntung dalam hal itu selalu ada Naomi yang menengahi.
Maura melihat jam tangan kulit yang melingkar ditangan kurusnya. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan lewat lima belas menit. Ia merasa ingin cepat-cepat segera sampai. Pasti saat ini restoran telah dibuka.
Damar sedikit menepikan mobilnya, membuat Maura heran karena tempat mereka berada saat ini bukan lah pelataran restoran. Melainkan komplek perumahan elit."Sebentar, ya. Tadi mbak Aira telpon. Dia mau nebeng ... katanya mobilnya lagi di servis."
Maura tak berniat menjawab. Mendengar nama wanita itu, rasanya ia tak suka. Gerak gerik Aira seperti menyimpan sesuatu yang lebih pada sang kakak ipar. Dalam hati ia berharap semoga itu hanya perasaannya saja. Mungkin karena keduanya telah bersahabat sejak lama.
Tak lama, Aira keluar. Wanita cantik, dengan rambut ikal terurai dan selalu terlihat modis itu semula hendak membuka pintu disamping kemudi. Namun urung karena melihat keberadaan Maura yang duduk dengan santai seperti tak ingin beranjak. Ia akhirnya memilih melangkah membuka pintu belakang.
"Maaf membuat kalian menunggu."ujar Aira tidak enak.
"It's okay, Aira."
"Buruan, Mas. Aku sudah terlambat." kata Maura kemudian. Dapat ia lihat dari kaca mobil, wajah sendu Aira berubah sungkan.
"Iya, bawel!." celetuk Damar seraya melajukan perlahan mobilnya."Ini sekarang kok aku jadi kayak taksi online, ya.?"
Mendengar itu Aira terkekeh pelan. Sementara Maura yang moodnya mendadak berubah hanya memasang wajah datar.
Beberapa saat berlalu, mobil Mercedes-Benz itu telah sampai di pelataran Nara House. Maura gegas turun. Ketika hendak masuk, ia sempat memperhatikan wajahnya melalui kaca kecil yang baru ia raih dari dalam tas.
Rupanya itu sempat dilihat oleh Damar. Pria itu hanya bergeleng konyol.
Sementara Aira tertawa pelan."Kenapa dia? lingkar matanya hitam begitu?."
"Biasa ... kasmaran. Mikirin cowok tidak tidur semalaman." sahut Damar santai seraya melajukan kembali mobilnya menuju Alga Karya. Perusahan sang Papa yang baru-baru ini dikelola olehnya.
Aira kembali tertawa renyah."Yah ... begitulah wanita."
"Apa kamu juga begitu?."
"Tentu saja." sahut Aira lagi seraya melihat kesamping jendela.
"Aku tidak tau siapa pria yang mengganggu pikiranmu, hingga sulit tidur tiap malam. Tapi sebaiknya jangan begitu. Itu bisa mengganggu kesehatan."
Aira manggut-manggut dengan senyum tipis.
_
_
_
Jangan lupa Like, komentar dan Vote ya🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments