..."Pada akhirnya takdir Tuhan selalu baik. Walau pada awalnya, perlu air mata untuk memulainya."...
Damar tak ingin beranjak menatap gundukan tanah merah yang menjadi tempat peristirahatan terakhir sang istri. Sementara yang lain sejak satu jam lalu telah pulang kembali ke rumah.
Sungguh duka ini masih seperti mimpi baginya. Pagi tadi Naomi bahkan masih bertingkah manja dengannya. Tak ada tanda-tanda bahwa sang istri akan pergi untuk selamanya.
Wajah tampan itu tampak lelah. Jejak air mata yang habis terkuras masih berbekas. Bahkan senja datang, Damar masih bergeming.
"Damar, ini sudah hampir gelap. Mari kita pulang. Sebentar lagi akan ada pengajian." kata Aira yang setia menemani sahabatnya itu sejak tadi. Gadis itu menekuk kedua lutut, bersimpuh mengusap pelan bahu Damar yang kekar, namu rapuh.
Damar menurut. Ia kemudian kembali mengusap batu nisan yang baru saja tertancap pada tanah merah itu. Mendekatkan wajahnya disana, lalu berbisik pelan."Sayang, aku pergi dulu, ya. Semoga kamu tenang."perlahan ia berdiri, kemudian berjalan. Seakan berat, baru beberapa langkah ia kembali menoleh kebelakang. Aira yang berjalan disisinya pun ikut berhenti sesaat memberi waktu.
"Ayo."
Suara lembut Aira membuat Damar menoleh ke depan. Keduanya kembali melanjutkan langkah pulang ke rumah.
Pukul setengah sepuluh malam acara pengajian telah selesai. Satu persatu para tamu mulai meninggalkan rumah mewah itu. Termasuk Aira, dan Hardi. Ada juga beberapa karyawan lainnya yang baru sempat datang pada malam hari.
Maura masih duduk diatas karpet coklat tua yang membentang diatas lantai. Gadis yang memakai abaya abu muda itu tampak diam tak bersuara dengan tatapan kosong.
Sejak kepergian kedua orang tuanya, hidupnya bergantung pada sang kakak yang sangat dicintainya. Kini Naomi juga telah pergi. Sekarang tanpa Naomi, ia tak tahu harus berbuat apa. Semua seperti gelap, tidak ada lagi semangat untuk melangkah. Hilang tempat berpegang. Gadis itu menunduk, menghapus sisa air mata dengan kerudung putih yang menutupi kepalanya.
Saat itu, Aina melihat. Gadis itu kemudian mengusap bahu Maura."Sudah malam, Ra. Kamu istirahat, ya ... kondisimu saat ini juga sedang tidak baik."
Maura masih tak bersuara. Namun kata-kata Aina benar adanya. Tubuhnya benar-benar lelah. Bahkan rasa sakit di kepalanya sejak kecelakaan tadi ia abaikan.
"Ayo, biar ku antar ke kamarmu." Aina membantu tubuh lemah Maura berdiri.
"Berhenti!."
Baru saja berjalan, langkah keduanya dibuat tertahan dengan suara tegas Damar. Pria itu berdiri dari duduknya berjalan ke arah Maura dan Aina.
"Kamu sudah lihat hasil dari keteledoran mu, kan? Lihat sekarang ... Naomi sudah meninggal. Istriku sudah meninggal." teriak Damar memenuhi ruangan dilantai bawah rumah itu. Tatapannya merah menahan amarah pada Maura.
"Zayn sudah kehilangan Mamanya. Ini semua gara-gara kamu dan mobil bututmu itu!." Damar mengangkat tangan kanannya hendak menampar Maura. Namun gerakan tangan Amelia, dan teriakan Razdan menahannya.
"Damar kendalikan dirimu!." teriak pria paruh baya yang sedang duduk di kursi roda.
"Damar ... apa yang kamu lakukan, nak. Istighfar .... ini semua terjadi karena kehendak Allah." kata Amelia hampir menangis melihat keributan yang terjadi ditengah duka yang belum pergi."Berhenti menuduhnya ... Maura juga pasti tidak mau semua ini terjadi pada kakaknya sendiri."
Netra Maura memerah, namun air mata seolah habis karena terus menangis sejak tadi. Ia hanya diam menelan tuduhan. Rasanya lelah. Bukan hanya hati, namun juga tubuh. Kata-kata Damar membuatnya sakit, namun ia tak punya bukti dan saksi atas kecelakaan tadi.
Damar berdiri lemah. Saat itu Amelia membawa tubuh tegapnya kedalam pelukan. Mencoba menenangkan sang anak yang kondisinya sedang tak terkendali.
Melihat Aina, wanita paruh baya itu mengangguk pelan sebagai isyarat. Aina yang mengerti, kemudian membawa Maura ke kamar.
"Tenangkan dirimu, nak. Mama dan Papa tau perasaanmu. Bukan hanya kamu yang kehilangan Naomi. Tapi Mama dan Papa juga." suara Amelia bergetar seraya mengusap punggung kekar Damar dengan tangannya yang mulai keriput.
"Kami sangat menyayangi Naomi. Naomi bukan hanya menantu bagi kami ... tapi dia juga sudah kami anggap seperti anak kami sendiri selama ini."sambung Amelia langsung mengusap pipi yang akhirnya basah. Tak ingin memperlihatkan kerapuhan di depan sang anak.
"Damar ... ini sudah hampir larut. Istirahat lah, nak. Papa tau kamu lelah." kata Razdan kemudian.
Amelia mengurai pelukan. Kemudian kedua tangannya menghapus jejak air mata di wajah tampan anaknya itu."Papa benar. Kamu harus istirahat. Tabahkan dirimu, nak. Ingat ada Zayn yang membutuhkan perhatianmu."
Damar mengangguk lemah kemudian berjalan menuju lantai atas. Perlahan ia membuka handle pintu. Pandangannya langsung menyapu pada setiap sudut ruang kamar. Sepi, tidak ada lagi suara manja dan senyuman manis menyambutnya.
Damar berjalan lemah menuju bibir ranjang, kemudian mendudukkan dirinya disana. Rasanya sebak manakala harum parfum Naomi masih menyisakan jejak didalam, menambah kerinduannya semakin menjadi. Tanpa sengaja netranya melihat bingkai berisi foto Naomi di atas nakas. Perlahan tangannya bergerak menggapai. Menghapus lembut wajah cantik yang tersenyum didalam sana. Detik itu bahu Damar berguncang menahan tangis. Seperti menyalurkan kerinduan, ia mencium potret wajah cantik itu berkali-kali. Rasa lelah akhirnya menuntunnya untuk berbaring. Hingga menit detik berlalu, Damar akhirnya terpejam sambil meringkuk memeluk potret Naomi erat dalam dada.
.
.
.
.
.
Hai, hai! berikan komentar, Like, dan vote kamu, ya🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments