..."Jika sulit melupakan yang telah hilang, maka berusaha lah mencintai yang masih ada. Bukan tidak bisa, hanya saja belum terbiasa."...
"Tapi apa harus secepat ini, Ma?."
"Lebih cepat lebih baik, nak."
Damar menghela nafas berat. Sesaat ia hening, lalu kembali membuka suara.
"Baik lah, Ma. Aku akan menikahinya."ucapnya akhirnya.
Sungguh, mendengar pernyataan itu membuat Amelia lega sekaligus haru."Mama tau ini berat buat kamu. Tapi ketahuilah nak, keputusan ini sudah tepat."
Damar hening menatap lantai, tak berniat menanggapi.
Amelia tersenyum tipis, menepuk punggung sang putra, lalu beranjak. Saat baru melangkah, ia terkejut melihat keberadaan Maura tengah berdiri di sisi dinding.
"Maura?." Amelia memandang gadis yang berdiri mematung dengan wajah pias itu."Sejak kapan kamu berdiri disini, nak ?."
Maura bergeming. Itu membuat Amelia yakin bahwa gadis itu telah mendengar semuanya.
"Maaf kan Tante karena memutuskan ini sebelum bertanya denganmu lebih dulu."
"Aku bersedia, Tante."
Kalimat singkat yang langsung keluar dari bibir gadis itu membuat Amelia tak percaya. Tidak seperti Damar yang harus melewati perdebatan, Maura justru dengan tanpa diminta langsung menyetujui. Sementara Damar yang kebetulan hendak beranjak, dibuat tertahan dengan pernyataan tanpa paksaan yang keluar dari bibir gadis itu.
Sebenarnya bukan tanpa alasan Maura menyetujui. Hal ini juga tidak mudah baginya. Masih banyak masa depan yang ingin ia gapai. Namun pesan terakhir Naomi yang memintanya untuk menjaga Zayn kala itu, membuatnya dirinya terpaksa menerima keputusan ini.
"Kamu serius?."Amelia meraih kedua tangan kurus gadis itu.
Maura mengangguk, dengan air mata menitik.
Didalam kamar, Razdan hendak merebahkan diri tapi tidak jadi karena melihat Amelia masuk. Sang istri langsung membantunya pada posisi duduk."Bagaimana, apa dia tetap menolak?."
"Itu akan terjadi kalau kamu yang bicara dengannya, Mas." kata Amelia langsung duduk di bibir ranjang seraya merapikan selimut yang menutupi kaki sang suami.
"Jadi maksudmu berhasil?."
Amelia mengangguk."Maura juga sudah setuju."
Razdan menghela nafas lega."Syukurlah. Mulai besok kamu urus persiapannya. Minggu depan mereka harus sudah menikah."
Amelia tak berniat menjawab."Mas sudah minum obat?."
"Sudah. Pipiku ini loh, rasanya agak kaku lagi."Razdan memegang pipi kirinya.
"Itu akibat kamu bicara selalu saja emosi. Ingat, Mas ... kamu masih dalam proses terapi. Memang kamu mau darah tinggi kamu semakin parah, terus bibir kamu jadi merot enggak bisa balik lagi?."
"Kamu itu kalau ngomong jangan sembarangan! itu nyumpahin namanya."Razdan kesal mendengar ucapan istrinya itu.
"Bukan nyumpahin, Mas. Aku cuma mau kamu agar lebih mengontrol emosimu."
"Halah ... ngeles aja kamu itu!." Razdan membaringkan tubuhnya dengan posisi membelakangi istrinya. Amelia hanya bergeleng melihat tingkah suaminya itu, lalu berjalan ke kamar mandi.
___________
Aira memarkirkan mobilnya. Gadis cantik dengan penampilan rapi dan selalu elegan itu tersenyum dan langsung mencium takzim tangan putih Amelia dan Razdan yang tengah duduk menikmati matahari pagi bersama, Zayn di teras rumah.
"Eh, Aira ... tumben pagi-pagi sudah datang kemari?."sambut Amelia ramah.
"Iya, Tante ... Damar bilang hari ini dia sudah mulai masuk bekerja. Jadi aku datang kemari supaya kami bisa berangkat ke proyek sama-sama. Sekalian juga mau ketemu Zayn." Aira tersenyum mencubit gemas pipi tembam bayi tampan itu."Hai ganteng ... anteng banget kena matahari pagi."
"Tapi Damar sudah berangkat, Aira. Cuma tadi dia bilang mau ke restoran dulu."
Aira sepertinya kecewa. Terlihat dari ekspresinya yang berubah."Oh, gitu, ya Tante?."
"Bagaimana perkembangan proyek? lancar-lancar saja, kan?." tanya Razdan kali ini.
"Lancar, Om." Aira menjawab sekenanya.
"Om percaya, ditangan kamu perusahaan pasti aman. Tidak seperti anak itu, kalau tentang restoran dia selalu paling sibuk."
"Lihat sekarang ... seminggu tidak bekerja, yang pertama dia lihat adalah restorannya itu. Padahal perusahaan lebih penting. Ini berhubungan dengan masa depannya dan juga Zayn."
"Mas ..." Amelia mengusap bahu suaminya. Razdan akhirnya diam, namun sedetik kemudian kembali bersuara.
"Om menaruh harapan sama kamu. Tolong bantu Damar agar konsisten pada perusahaan. Cuma dia yang om harapkan untuk mengurus Alga Karya." sambung Razdan. Kali ini dengan suara rendah, mungkin karena tangan Amelia masih berada di bahunya.
"Iya, Om." ucap Aira lembut, ketika saat itu sus Ana datang memanggil Amelia.
"Buk."
"Iya, sus. Ada apa?."
"Anu, buk ... barusan ada telepon dari butik pengantin. Kata anggotanya, hari ini sudah bisa untuk fitting kebaya. Soalnya desainernya sudah pulang dari luar negeri."
"Oh gitu. Makasih, ya, sus."
"Sama-sama, buk. Itu Aden sudah siap dijemur, kan, buk? kalau sudah ... biar saya mandiin."ucap Sus Ana lagi.
"Iya, Na. Sudah siap. Lama-lama juga kasihan. Kayaknya dia silau deh." Amelia tertawa pelan melihat Zayn menyipitkan mata."Mukanya sampai merah."sambungnya lagi seraya memberikan Zayn pada sus Ana.
"Maaf, Tante ... butik pengantin? siapa yang mau menikah?." tanya Aira kemudian pada Amelia ketika sus Ana sudah pergi membawa Zayn.
Amelia hening. Ia sempat menghela nafas pelan sebelum menjawab pertanyaan Aira."Maura dengan Damar, Ra."
Aira menelan ludah. Sesaat dia hening mengatur ekspresi.
"Kapan Tante?."tanyanya kembali.
"Minggu depan, Ra. Ada beberapa alasan kenapa kami menikahkan mereka. Sebenarnya ..."
"M-maaf, Tante. Sepertinya saya sudah terlambat. Saya pergi dulu." Aira berpamitan pada dua orang paruh baya itu. Membuat Amelia dan Razdan saling pandang penuh tanya.
_
_
_
Jangan lupa tinggalkan jejak, ya. Salam sayang dari Author 😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments