Part 2

"Wilson Alexander Hovers, dengarkan aku dulu," pinta Maureen, tangannya hendak menggapai lengan Wilson. Dan di saat ia sudah berhasil meraihnya, Wilson menepis tangannya, membuat genggaman yang tidak kuat terlepas dalam hitungan detik.

"Wilson! Aku ingin bicara dan dengarkan aku! Jangan kira kalau kau mengabaikanku maka keputusan yang aku ambil di rumah orang tuamu berubah!" pekik Maureen, langkahnya terhenti dan kemudian disusul dengan langkah Wilson yang juga ikut berhenti. Dapat Maureen tangkap jika kedua tangan Wilson membentuk sebuah kepalan kuat yang menandakan jika suaminya itu benar-benar marah.

Tak berapa lama, tubuh Wilson berbalik. Ia menatap Maureen tajam dengan binar mata yang mengisyaratkan kekecewaan. "Atas dasar apa kau menyetujui perkataan orang tuaku? Maureen Cruz, mengatakan itu adalah hal mudah, sangat mudah. Tapi melakukannya? Kau kira melakukan itu semudah mulutmu berkata? Tidakkah kau berpikir apa yang akan terjadi di masa depan nanti?!" ucap Wilson marah, nada bicaranya meninggi, sungguh menjelaskan bahwa dirinya tengah marah saat ini. Wilson yang biasanya selalu berbicara dengan penuh lemah lembut terhadap Maureen, tetapi kini, tepatnya beberapa detik lalu, ia berbicara dengan nada tinggi. Membuat segaris luka di hati Maureen karena mendengar bentakan dari suaminya.

Maureen mudah sekali menangis, sebab memang pada dasarnya ia dilahirkan sebagai gadis lemah yang cengeng. Akan tetapi untuk sekarang, ia harus menahan air matanya agar tetap berada di pelupuk mata. Tidak, tidak, likuid itu tidak boleh terjun bebas sekarang, karena saat ini ia tengah berhadapan dengan suaminya, Wilson Alexander Hovers. Suasana juga tidak sedang kondusif jika ingin menangis. Yang harus Maureen pikirkan sekarang adalah 'masalah ini'. Masalah yang jika disinggung akan membuat seorang Wilson naik pitam.

"Wilson, kumohon jangan bicarakan ini dengan emosi, bisa kan? Kita bisa membicarakannya dengan baik-baik, mendiskusikannya bersama sampai akhirnya bertemu dengan titik ujung yang tepat—"

"Tidak bisa!" potong Wilson dengan tangan yang kemudian mengusap wajahnya kasar. Harus berapa kali ia mengatakan pada Maureen jika ia tidak menyukai rencana orang tuanya? Mereka sudah berdebat di dalam mobil tadi, dan sekarang Wilson terlalu malas untuk memulai perdebatan kembali. "Terserah kau mau mengatakan apa, aku tidak peduli," lanjutnya dengan tubuh yang mulai berbalik.

Tidak lama sesaat setelah Wilson melangkahkan tungkainya, Maureen kembali berucap dengan nada yang tak kalah dengan seruan Wilson beberapa menit lalu.

"Wilson Alexander Hovers! Aku mandul! Aku tidak bisa memberimu seorang anak! Sedangkan kau tidak bisa menolak fakta bahwa kau juga butuh penerus! Kau bilang di tahun pertama kita menikah dulu, bahwa kau sangat tidak sabar ingin melihat rumah besar ini dikelilingi oleh anak-anak kecil yang lucu. Tapi apa yang kau dapat, Wilson? Kosong! Hanya kekosongan!" Tidak tahan, Maureen menangis. Bunyi lutut yang terbentur lantai membuat tubuh Wilson berbalik. Tak sanggup melihat istrinya menangis, Wilson pun segera menghampiri Maureen, berjongkok dan kemudian mendekapnya dengan penuh kasih sayang.

Tak disangka, seorang pria tangguh seperti Wilson juga bisa menangis. "Maureen, tidak apa jika Tuhan tidak bisa memberi kita buah hati. Asalkan aku bersamamu, semuanya akan baik-baik saja," ungkap Wilson, berusaha mati-matian untuk menahan tangisnya.

Kepala Maureen menggeleng pelan, dihapusnya air mata yang telah membanjiri pipinya dengan punggung tangan. "Tidak Wil, jangan menipuku. Kau sama sekali tidak baik-baik saja," balas Maureen dengan jari yang sudah menari di pipi Wilson guna menghapus air mata suaminya yang mengalir sia-sia karena meratapi nasib.

"Maureen ...."

"Wilson, menikahlah lagi. Demiku, demimu, dan demi nama besar keluarga Hovers," pinta Maureen, sengaja memotong perkataan Wilson beberapa detik lalu.

"Sekali lagi aku tanya padamu, Maureen, agar kelak di masa depan penyesalan tidak akan terjadi. Maureen, kau yakin dengan semua ini? Mau menanggung risikonya tanpa menyalahkan siapapun? Mau menanggung segala rasa sakit hati jika aku bersetubuh dengan wanita lain hanya demi menghasilkan seorang anak?" tanya Wilson, menatap lekat-lekat istri cantiknya.

Agak menyakitkan, tetapi harus segera dituntaskan, Maureen menganggukkan kepalanya mantap. Di dalam hati ia berjanji akan menerima semuanya dengan lapang dada.

***

"Kenapa kau mencari wanita di klub malam, Hovers? Di luar sana, masih banyak wanita cantik dengan latar belakang yang baik. Bahkan aku sudah menyodorkanmu sepuluh foto wanita kenalanku." Leo bercelatuk layaknya burung beo, tak menerima jika Wilson mencari wanita di sebuah kelab malam. Leo, tidak, terkhususnya semua orang, memiliki stereotipe tersendiri pada seorang wanita yang setiap harinya selalu keluar masuk dari dalam kelab malam—sekalipun mereka tak melakukan apa pun.

"Berhentilah memanggilku dengan sebutan marga. Kau kira marga Hovers hanya punyaku?" sungut Wilson tak terima. Kaki tangannya ini—Leo Zhang—selalu memanggil dirinya dengan sebutan marga keluarga dan Wilson agak tidak menyukainya.

"Lagipula marga Hovers hanya dipakai oleh orang-orang yang terlahir dengan garis darah biru sepertimu. Margamu tidak bisa disandingkan denga margaku yang pasaran dan bisa ditemukan di mana pun," balasnya seraya terus mengikuti Wilson. Hubungan Leo dan Wilson bukan hanya sekedar atasan dan bawahan, melainkan sudah seperti saudara beda orang tua. Awalnya mereka bertemu saat duduk di bangku kuliah, menjadi dekat hanya karena memiliki hobi yang sama, sampai akhirnya Leo dipercaya menjadi kaki tangan Wilson.

Leo juga cukup berguna bagi orang sibuk sekelas Hovers ini. Di kala Wilson tengah malas mengikuti rapat, Leo selalu ada untuk menggantikan posisinya. Katakan saja Leo adalah bayangannya Wilson Alexander Hovers.

"Tapi hei, kau belum menjawabku untuk pertanyaan yang pertama!" sergah Leo seketika sadar Wilson belum mengeluarkan jawabannya. Wilson adalah orang baik-baik. Jarang, malah bisa dikatakan hampir tak pernah pergi ke kelab-kelab malam. Terlalu workaholic sampai lupa waktu, dan hanya Maureen yang mampu mematahkan pujaan Wilson terhadap dunia kerjanya. Wajar jika Leo terkejut dan bertanya kenapa Wilson mau mencari wanita dengan latar belakang tidak jelas.

"Asal kau tahu Leo, yang aku dan Maureen inginkan hanya seorang anak. Lagipula ini hanya semacam pernikahan kontrak. Setelah dia melahirkan anakku, maka hubungan kami selesai. Jadi, aku tidak tega mengontrak wanita baik-baik di luar sana," jawab Wilson, menatap Leo sesaat lalu melanjutkan langkahnya.

"Tapi Wil—" Leo menghentikan langkahnya kala sadar jika sekarang Wilson tengah berhenti di hadapannya. Hampir saja ia memukul pria itu jika saja pendengarannya tidak menangkap suara berisik dari depan sana, bertepatan di sebuah meja bar.

"Lihat wajahnya! Dia cantik! Bayar aku berapapun, maka wanita ****** ini akan jadi milikmu," ucap si pria brewokan sembari menarik lengan seorang wanita agar wajah cantiknya dapat terlihat jelas.

"Charlie, kumohon jangan jual aku," ringisnya dengan suara yang amat kecil. Namun, yang Charlie lakukan hanyalah tersenyum menyeringai.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!