Part 12

Hidup adalah pilihan.

Jika saja ia tidak memilih untuk pacaran dengan Charlie brengsek, mungkin saja ia tidak akan terjebak dalam hidup keluarga Hovers. Padahal Veila yakin betul jika dirinya adalah wanita baik-baik, penurut, dan memiliki sopan santun. Namun, kenapa hidupnya tak sebaik sikapnya? Bukankah itu patut untuk ia pertanyakan pada sang pencipta? Dirinya lelah hidup, sungguh. Kehidupannya yang sekarang sudah seperti buntalan benang kusut, tidak tahu di mana ujungnya. Hidupnya sama sekali tidak sesuai dengan rencana yang sudah ia rancang sejak dulu.

Ma, bolehkah aku menjadi seorang dokter?

Jika diingat, tentu akan melukai perasaan Veila. Menjadi seorang dokter adalah cita-citanya sejak masih kecil, terbukti saat ia masih kelas satu sekolah dasar, setiap pulang sekolah, Veila selalu mampir ke rumah temannya guna ikut bermain dengan alat-alat—mainan—dokter temannya. Entah kenapa, aura seorang dokter yang sering ia lihat saat menemani mamanya check up di rumah sakit sangat menarik perhatiannya. Veila terbuai dengan keramahan serta senyum manis seorang dokter, tua ataupun muda.

Dan sekarang? Untuk menginjakkan kaki di gedung universitas saja hanya tinggal mimpi yang perlahan menjadi kenangan. Setelah tamat sekolah menengah atas, bukannya berkuliah, ia malah membanting tulang untuk menghidupi dirinya dan papa tirinya. Mencari pekerjaan saja susah minta ampun, Veila sudah sering mendapatkan penolakan di berbagai jenis perusahaan. Hingga akhirnya, ia terpaksa mengambil dua pekerjaan part time. Untuk sore hari, ia bekerja di cafe kecil milik Charlie, dan untuk tengah malam, ia bekerja di minimarket. Rasanya, tubuh ringkihnya meremuk karena kurang istirahat. Membuat ia harus selalu memasang koyo di punggungnya untuk meredakan rasa pegal.

Karena sadar jika hidupnya melarat seperti ini, Veila pun mulai merancang mimpinya kembali. Tidak ada universitas ataupun dokter di dalam mimpi barunya, yang ia inginkan adalah bahagia. Hanya itu, tidak lebih. Dan saat bertemu dan pacaran dengan Charlie, ia merasa jika itu adalah kebahagiaannya. Charlie selalu sukses membuatnya terbang ke atas langit lewat ucapan kelewat manisnya. Namun nyatanya, tidak ada definisi bahagia yang dihantarkan oleh sosok Charlie. Pria berkumis tipis itu malah menghantarkannya pada dunia yang lebih gelap, hitam.

Untuk kali ini Veila menyesal dan ingin mengulang waktu. Di luar sana, Veila yakin banyak yang ingin menggantikan posisinya sekarang, menjadi istri kedua Wilson. Jika boleh, Veila ingin bertukar nasib dengan mereka. Ada benarnya, Wilson dicintai setiap orang karena dia tampan dan kaya. Namun, tidak untuk Veila, ia tidak menyukai Wilson. Sikap pria itu yang kelewat angkuh dan kasar membuat Veila harus jaga jarak, apalagi Wilson itu adalah tipikal pria yang sayang istri.

Veila yang tadinya tengah melamunkan masa lalu serta sosok Wilson pun segera terkesiap saat sadar jika pintu kamarnya terbuka. Buru-buru wanita itu segera membaringkan tubuhnya—memunggungi pintu—dan mulai memejamkan matanya. Pura-pura tidur adalah salah satu cara ampuh untuk menghindari pria mengerikan ini. Veila benar-benar tak minat berbicara dengan pria yang tadi menghina rasa nasi gorengnya. Wilson Alexander Hovers, bagaimana dia tahu jika yang datang adalah sosok yang membawanya menuju neraka dunia? Jawabannya hanya satu, parfum.

"Hei." Suara berat itu membuat Veila memejamkan matanya dengan erat, tak berniat untuk membuka mata atau sekedar menyahut.

"Hei, aku tahu kau tidak tidur! Jangan pura-pura tuli, aku benci diabaikan," geram Wilson, langkahnya semakin mendekat, membuat tubuh Veila kembali merasakan dingin yang menyeruak. Wilson itu dingin, membuatnya menggigil.

"Jangan sampai membuat aku menarik rambutmu hanya untuk membuatmu menyahut panggilanku," ancamnya, Wilson si tukang ancam yang mengerikan. Sialan memang.