Dari Babarsari jalan kaki ke Mirota kampus membeli kertas HVS. Jalan kaki lagi ke arah Janti. Seti meloncat ke pintu bus jalur 10 yang menuju Malioboro.
Celingukan dalam bus yang mulai berjalan, duduk dekat supir. Seti meniupkan nafas lega. Masih banyak waktu menunggu Asri di stasiun.
Si Denok sudah dua hari dibawa Joe dan Doni bolak balik Demangan lapak Malioboro. Seti berharap mereka mampu mengumpulkan uang.
Kalau urusan merayu bule, Doni jagonya. Cerita kisah motif-motif etnik yang tergambar dengan bumbu-bumbu mitos dan legenda membuat mereka tertarik memborong dompet dan tas kulit bikinan lapak itu.
Pertanyaan Seti adalah masih atau habis stok dagangan mereka. Jika habis maka tinggal pernik-pernik kecil yang harganya tidak seberapa. Diborongpun tidak akan cukup melunasi hutang Doni.
Turun dekat stasiun. Seti melangkah cepat ke lapak. Ingin tahu kabar Joe dan Doni secepatnya.
Mendekati lapak. Dilihatnya Joe dan Doni sedang berbicara dengan tiga laki-laki. Semakin dekat semakin jelas kata-kata bernada keras.
"Bukannya kalian menjanjikan hari Minggu ? Kenapa baru hari Rabu menagihnya ?" Suara Joe terdengar sengit.
"Kami butuh untuk hari ini. Ada berapa sekarang ? Sisanya hari Minggu !" Sosok laki-laki tegap membentak Joe.
Seti memperhatikan laki-laki itu. Mengenali Sigit yang pernah saling menatap di kost Mantrijeron setelah mengingatnya.
"Sopo kowe " laki-laki bertato di sebelah Sigit menegur Seti yang tiba-tiba saja ada di antara mereka.
"Oh bajingan ... Kamu lagi !!!" Bentak Sigit yang juga mengenali Seti.
Seti tak menanggapi umpatan tadi. Menarik Doni ke arahnya. Menjauh sedikit dari Joe yang masih meladeni pertengkaran itu.
"Ada uang berapa sekarang Don ?" Bisik Seti sambil mengawasi Joe.
"Empat ratusan. Dua hari ini lapak lumayan ramai."
"Berikan kepada mereka tiga ratus. Minggu kita lunasi. Nanti kubantu cari kekurangannya."
Doni bergegas meninggalkan Seti. Mendekat ke arah pertengkaran itu. Berbicara dengan Sigit yang lalu menerima uluran uang yang diberikan.
Ketiga orang itu meninggalkan lapak ke arah stasiun. Sigit masih melotot ke arah Seti saat berpapasan melewatinya.
...----------------...
"Brengsek." gerutu Joe. Masih menatap arah kepergian Sigit dan gerombolonnya. Tampaknya hatinya masih kesal.
"Sudahlah. Siang-siang ribut bikin lapak sepi." Seti mengingatkan Joe. Mengambil dingklik lalu duduk.
Tak mengira bertemu Sigit lagi membuat gelisah pikiran Seti. Bukan takut kepadanya. Tapi memikirkan bagaimana jika hutang Doni tidak lunas di hari Minggu. Bisa dibayangkan keributan yang akan terjadi di lapak buntut saling pelotot dirinya dan Sigit di kost Mantrijeron dulu.
Doni menghampiri, nongkrong di sebelah Seti. "Kuhitung jika semua dagangan kita diborongkan ke lapak sebelah masih ada sisa Set buat bayar hutangku."
"Dapat berapa kalau diborongkan ?" Seti melirik Doni.
"Tujuh ratusan. Tapi dagangan habis."
"Kalau itu bisa menyelesaikan masalah lapak ini, coba kamu jadikan uang Don." balas Seti pelan.
"Tapi lapak tutup. Gak ada modal lagi." Joe menyela. Ikut nongkrong di depan Seti.
"Jadi kalian main billiard dengan Sigit ?" Seti mengalihkan pembicaraan. Tertarik dengan urusan billiard yang bikin ruwet lapak.
"Ya sama yang bertato." kata Doni.
"Bagaimana mainnya ?" Seti tertarik dengan permainan billiard Sigit. Masih tak percaya Doni dan Joe yang setahunya bagus mainnya bisa kalah.
"Hoki saja dia. Kartunya bagus." keluh Joe lagi.
"Nanti tantang lagi Don di hari Minggu. Biar aku lawan." Seti berpaling ke arah Doni.
"Kenapa kamu malah ikut-ikutan judi ?" Doni heran. Balas menatap Seti.
"Lihat saja nanti." Seti mengedipkan matanya ke arah Doni dan Joe. Ada rencana yang disembunyikannya." Aku jemput Asri dulu." lanjutnya.
Beranjak ke stasiun, Seti mematangkan strategi Minggu nanti untuk membalas kejengkelannya kepada Sigit.
...----------------...
Kereta Purbaya datang sedikit telat. Penumpang mahasiswa tidak sebanyak hari Minggu di awal bulan yang biasanya dipenuhi anak kuliah dari Purwokerto dan sekitarnya yang kuliah di Jogja.
Seti menyisirkan pandangan ke arah penumpang yang turun. Tak berapa lama dilihatnya sosok yang dicintainya.
Asri membalas lambaian tangan Seti. Tersenyum ke arahnya dan mendekat. Senyum lebarnya menambah kecantikan Asri saat berpelukan dengan Seti. Beberapa penumpang laki-laki memperhatikan kedekatan mereka dengan tatapan iri.
Setahun kedekatan mereka membuat Seti dan Asri tak canggung menunjukkan kemesraan mereka. Tentu saja tidak berlebihan.
"Capek ?" Seti mengangkat tas yang dibawa Asri.
"Gak. Keretanya kosong." Asri menjawab sambil merapikan kaos yang dipakainya. Duduk tiga jaman di kereta membuat pakainnya sedikit kusut.
Dua kekasih itu berjalan berdekatan meninggalkan stasiun. Ada senda gurau dan saling tatap di langkah riang mereka.
"Motormu mana ?" Tanya Asri setelah melewati tempat parkir.
"Ada di lapak. Joe dua hari ini memakainya. Nanti kuantar kamu dari sana."
"Ramai dagangan mereka ?"
"Lumayan." Seti menggandeng tangan Asri. Menyeberang ke arah Malioboro dari jalan Pasar Kembang yang padat merayap.
...----------------...
Joe dan Doni terlihat sedang memasukkan barang ke kardus saat Seti dan Asri menghampiri. Beberapa tas kulit buatan tangan Doni diikat bertumpuk.
"Ada yang borong ?" Asri menatap Joe.
"Oh si cantik. Kupikir siapa... iya ... dibayar lapak sebelah." Joe menjawab sambil melirik. Tangannya masih sibuk mengikat kardus.
"Oh sukurlah." Asri belum paham apa yang terjadi.
Seti mengedipkan mata ke arah Joe dan Doni melihat kecanggungan mereka. Tak ingin Asri tahu yang sebenarnya.
Kesibukan packing berlanjut. Masing-masing mencoba merahasiakan kepada Asri yang berpikir barang dagangan lapak diborong dengan harga yang pantas.
Setelah tawar menawar yang alot. Akhirnya barang dagangan lapak jadi dioperkan ke teman kakak Doni.
Sore meneduh ketika barang terakhir dari lapak diantarkan Joe dan Doni. Keduanya menghampiri Seti dan Asri yang sedang duduk bersebelahan di lapak yang kosong. Empat bungkusan nasi ditenteng Joe.
"Makan ... makan ..." Joe menaruh bungkusan tadi di meja lapak.
Ikan tongkol berkuah kuning dan telor dadar kesukaannya membuat Asri berkomentar saat membuka bungkusan. "Kayaknya istimewa nih lauknya."
"Sekali-kali dong. Mosok tiap hari tempe tahu di mbah Jum." Doni mulai menyuapkan nasi.
"Eh si Hening gimana As ?" Joe menyela.
"Baik ... Sampai hari Minggu dia menemani mbak Ning." wajah Asri berubah. Senyumnya memudar teringat Joko kakaknya.
"Mas Joko sudah masuk ruangan ?" Seti menatap Asri. Memahami kekasihnya teringat Joko.
"Belum ... masih di ICU." Asri membalas tatapan Seti.
"Selesaikan makan dulu. Nanti singgah ke kost-ku dulu baru kuantar ke Mantrijeron." senyum Seti melegakan Asri.
"Dapat uang berapa Don ?" Seti berpaling ke arah Doni.
"Pokoknya cukup buat Minggu. Ada sisa sedikit." Doni melirik Seti.
"Ada acara apa hari Minggu ?" Asri penasaran.
"Ah cuma acara kampus," tak biasa berbohong, Seti mencoba mengalihkan pandangannya dari tatapan Asri.
"Ikut..." Asri merasakan ada yang tak biasa dari cara Seti mengalihkan pandangan ke arah Doni yang terlihat bingung.
"Ya." Joe menjawab pendek. Tak ingin Asri bertanya terlalu banyak.
Perlahan suasana Jogja menepikan segala kekuatiran Asri tentang Joko. Senda gurau di lapak mulai terdengar lagi.
Merasa lelahnya berkurang setelah naik kereta, Asri mencolek Seti yang masih mengobrol dengan Doni. Menyadari Asri mengajaknya pulang. Seti berdiri berpamitan.
"Aku antar Asri dulu." Seti mengambil kunci si Denok yang tergeletak di meja. Mengangkat tas Asri, lalu beranjak meninggalkan lapak.
"Ok... hati-hati." Joe menjawab mengawasi keduanya menyeberangi jalan Malioboro ke arah parkiran si Denok.
...----------------...
"Salam dari Hening." Asri menggoda Seti saat perjalanan ke kost Samirono.
"Ya nanti kutelpon dia." Seti balas menggoda Asri yang mencubit pinggangnya.
"Sudah kamu ceritakan tentang kita ?" Asri memeluk erat pinggang Seti.
"Nanti kuceritakan saja kalau bertemu dengannya langsung." Seti paham Asri menyuruhnya berterus terang ke Hening.
Sejak mengatakan keseriusan hubungan kedekatan mereka. Seti dan Asri masih menyembunyikan hubungan itu kepada Joko dan Bening. Hanya Ibu Asri yang tahu. Itupun Asri memintanya untuk jangan diceritakan ke Joko. Tak enak jika Bening tahu dan lalu menceritakannya kepada Hening.
Si Denok berjalan pelan menyusuri Kotabaru. Melewati lorong-lorongnya menghindari kemacetan lalu lintas ke arah Samirono.
...----------------...
"Ada apa di hari Minggu Set ?" tanya Asri setelah sampai di kost Samirono. Merasakan ada sesuatu yang disembunyikan Seti.
Setelah kedekatan mereka. Asri tahu Seti berterus terang atau tidak dari cara menatapnya. Jika Seti mengalihkan tatapan saat ditanya, hatinya mudah menebak ada sesuatu yang disembunyikannya.
"Acara kampus Doni dan Joe." Seti masih mencoba menutupi.
"Menjelang ujian semester ?"
Seti terdiam. Paham Asri tahu ketidak terusterangan-nya. "Janji kamu tidak marah kepada kami ?" kali ini Seti menatap Asri.
Asri diam sejenak. Membalas tatapan Seti lalu mendekatkan wajahnya dan menganggukkan kepalanya.
Hembusan nafas wangi dan harum tubuh Asri dinikmati oleh Seti. Kali ini dia menarik dan merangkul erat leher Asri. Mencium bibirnya.
Kaget sejenak merasakan ciuman pertamanya, Asri membalas ciuman Seti. Tangannya membalas pelukan erat Seti, merapatkan keduanya dalam kedekatan yang lebih dewasa.
Cukup lama keduanya menikmati sentuhan kelelakian dan kewanitaan masing-masing saat menyadari pintu kamar terbuka.
Seti melepaskan pelukannya perlahan. Menepuk pelan punggung Asri yang masih menikmati kelelakiannya.
"As ... " Seti berbisik di telinga Asri. "Cukup." lanjutnya.
"Hmmm ... " Asri bergumam, mencium bibir Seti sekali lagi, merengkuh dada liatnya dalam pelukannya. Masih ingin berlama-lama menikmati ciuman laki-laki pertamanya.
Tepukan dan usapan pelan tangan Seti di punggungnya sekali lagi membuat Asri akhirnya melepaskan pelukannya. Pipi dan leher putih langsatnya terlihat memerah. Tampak malu saat Seti memandangnya.
"Maaf As ... kita terlalu berlebihan."
"Sudah terjadi."
Tak mau berpanjang membahas apa yang sudah terjadi dan dinikmatinya, Asri meneguk kopi Seti yang ada di meja.
"Jadi hari Minggu kami mau bayar hutang judi." Seti membahas pertanyaan Asri tadi.
"Kalian berjudi ?" suara Asri terdengar terkejut.
"Bukan aku ... Joe dan Doni,"
"Lalu apa hubungannya denganmu ?"
"Sigit .... " Seti menyebutkan nama yang diketahui dari Asri saat saling menatap di kost Mantrijeron.
"Sigit seniorku di kampus yang pernah bertemu denganmu ?" Asri bertanya lagi. Dahinya berkerut kesal teringat laki-laki itu.
"Iya ... entah bagaimana Joe dan Doni kenal dengannya. Lalu taruhan main billiard."
"Billiard tuh apa ?" Asri masih belum begitu paham.
"Pokoknya ya bola yang pakai meja. Disodok pakai tongkat." Seti menjelaskan sebisanya. "Lalu mereka kalah banyak. Lapak mau diminta Sigit jika hari Minggu hutang Doni dan Joe tidak dibayar."
"Lalu ?"
"Ya itu tadi yang kamu lihat. Barang dagangan dioperkan. Uangnya buat bayar hutang hari Minggu."
"Cukup ?"
"Cukup ... Aku hanya memintamu untuk membiarkanku menantang billiard Sigit."
"Taruhan ?"
"Ya...." Seti tak mau berbohong lagi.
Asri terdiam. Merebahkan bahu dan kepalanya ke bahu Seti yang ada di sampingnya. Memikirkan Seti dalam kekonyolan taruhan judi.
"Kamu ijinkan tidak ?" Seti mengelus tangan Asri yang ada di pangkuannya.
"Pertama dan terakhir ?" Asri menatap Seti dalam-dalam.
"Ya... " Seti mengangguk. "Boleh-kah ?" lanjutnya pasrah. Jika Asri melarangnya, taruhan itu akan dibatalkannya.
"Jika itu mau-mu ... Aku tak berhak menghalangi rencana kalian ... Ajak aku ikut menontonnya." kata Asri tegas.
"Aku tahu Sigit ada di balik kekisruhan lapak. Kali ini tak akan kubiarkan dia seenaknya sendiri."
"Tapi tidak pakai berkelahi kan ?"
"Tidak." Seti tertawa kecil. "Jadi kamu mengijinkanku ?" lanjut Seti.
Asri mengangguk. Menarik Seti ke arahnya dan mencium bibirnya lebih dalam. Kali ini keduanya menikmati lagi deru nafas dan sentuhan yang membakar jiwanya.
...----------------...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments