"Jadi ke Tepus Set ?" Tanya Muji melihat Seti sedang berkemas di kamarnya.
"Jadilah, tinggal tunggu Dibyo balik dari kampus," jawab Seti. Tangannya memasukkan dua potong kaos hitam dan celana jeans ke dalam tas punggung.
Tak lama Dibyo terlihat mendekat dari bawah pohon sawo sambil bersiul. Tampaknya dia senang Seti akan ikut ke kampungnya.
"Dah siap Set ?" Tanya Dibyo setelah bergabung dengan keduanya.
"Sebentar lagi siap Dib. Aku pake celana pendek saja ya." Kata Seti yang memakai celana pendek dan kaos lengan panjang hitam bertuliskan Metallica band metal kesayangannya. Tas punggungnya dikancingkan diletakkan dekat sendal gunung yang akan dipakainya.
"Jangan lupa beli aqua satu galon buat cebok. Di sana gak ada air...hahaha..." Muji tertawa keras.
"Oh weduuuus ..." Dibyo bersungut mendengar kata-kata Muji.
"Emang bener Dib ?" Tanya Seti.
"Adalah, kita ke telaga," jawab Dibyo sambil berlalu ke kamarnya. Tak ingin lama-lama berdebat dengan Muji yang masih tertawa mengoloknya.
"Berapa jam ke Tepus Ji ?" Tanya Seti ke Muji.
"Sehari ...hahaha..." Muji masih mengolok kampung Dibyo lagi.
"Ah yang bener Ji," debat Seti.
"Aku belum pernah ke sana Set. Mungkin sekitar dua jam-an kalau kalian jalan normal."
"Wah lumayan jauh ya sekitar 60 kiloan."
"Bisa jadi. Tergantung masuk ke pelosok lagi gak kampung Dibyo."
Dibyo keluar kamarnya, menggembok lalu mendekat ke arah Muji dan Seti.
"Yuk berangkat. Mumpung masih jam empat sore." Kata Dibyo ke arah Seti.
"Hati-hati di jalan dab. Kalau ban kempes suruh Dibyo yang nuntun"
"Jalan dulu Ji ... jangan ngrayu mbah Jum loh selama kami tinggal... hahaha..." Balas Dibyo ke Muji.
"Kiriiiiiik ..." Muji balas mengumpat akrab olokan Dibyo.
...----------------...
Dari Samirono si Denok melewati Gedong Kuning mengarah ke ring road Selatan, lalu ke arah Patuk menuju jalan Wonosari. Matahari sudah mulai meredup ramah menaungi si Denok.
Mulai menanjak memasuki bukit Patuk, Dibyo mengingatkan Seti untuk berhati-hati.
"Pelan Set. Di depan ada tikungan irung Petruk. Jangan ngebut." Kata Dibyo.
Benar kata Dibyo. Selepas kata-katanya, tikungan tajam ke kanan menanjak terjal. Susah payah Seti mengemudikan si Denok menanjak curam. Jantungnya berdegup kencang.
Lima menit melewatinya seperti berjam-jam melewati tanjakan tak berujung. Melewati kelokan terakhir, Dibyo menyuruh Seti berhenti.
Dari situ Dibyo menunjuk ke Utara yang menontonkan kota Jogja. Ada sepuluh menit Seti dan Dibyo memperhatikan kota Jogja sambil menunggu si Denok mendingin.
"Nanti kita beli belalang Set di hutan Wanagama kalau kamu ada uang," kata Dibyo saat bersiap jalan lagi.
"Belalang ?" Seti terheran-heran.
"Iya. Belalang kayu. Cuma yang alergi bakalan puyeng ...hehehe..." Kata Dibyo lagi.
"Baik nanti kita beli. Aku masih ada uang," Seti menjawab, lalu menghidupkan si Denok meninggalkan bukit Patuk.
...----------------...
Tak berapa lama dari ketandusan bukit kapur di kanan kiri jalan ke Wonosari. Hamparan hijau menyejukkan mata terlihat di sebelah kiri jalan.
"Hutan Wanagama Set. Punya kampusku," Dibyo bangga menunjuk ke pepohonan hijau yang membentang.
"Konon hutan itu dulunya bukit tandus yang disulap menghijau dengan kerja yang sangat keras dan uang pribadi bebarapa dosen UGM" kata Dibyo lagi. Pantas saja Dibyo bangga sekali dengan kampusnya.
Menjalankan si Denok pelan sepanjang hutan itu. Seti senang dengan perjalanannya kali ini. Tidak sia-sia meluangkan waktu mengantar Dibyo. Sayangnya penjual belalang sudah tidak ada di sepanjang jalan itu.
...----------------...
Kurang lebih satu setengah jam dari Jogja sampailah si Denok ke Wonosari, kota Kecamatan sekaligus ibu kota di Gunung Kidul. Lalu belok kanan di dekat pertigaan Pengadilan. Terus ke Selatan menuju Tepus.
"Masih jauh Dib?" Tanya Seti penasaran.
"Lumayan sih. Sebelum pantai Krakal kita belok kiri." Jawab Dibyo.
Mengikuti arahan Dibyo. Seti mengikuti jalan Wonosari Tepus yang lumayan mulus dan sepi.
Kanan kirinya hanya tampak bukit-bukit kapur yang dulunya ada di dasar laut. Penjelasan teori kuliah-nya kini mulai dipahami Seti.
Setengah jam kemudian, sampailah pertigaan menuju pantai Krakal. Dibyo menyuruh Seti berhenti sejenak saat beberapa bocah terlihat mengacungkan belalang yang ditusuk di lidi daun kelapa. Kurang lebih ada 20 belalang di setiap lidi.
Membeli lima tusuk lidi seharga dua ribu rupiah. Seti masih terheran dengan belalang besar yang akan diapakan oleh Dibyo nanti.
Dari pertigaan itu Dibyo menyuruh Seti belok ke arah kiri, masuk ke jala kampung Dibyo yang hanya tersusun atas tumpukan batu koral. Seti tak bisa membayangkan licinnya jalan itu jika musim penghujan datang.
Si Denok tertatih-tatih saat memasuki kampung kecil yang penuh dengan hamparan bukit dan patahan-patahan tebing menjulang lalu berhenti di sebuah rumah semi permanen bertuliskan ... Kepala Desa Banjarejo ....
...----------------...
Suara jangkrik terdengar dari luar rumah Dibyo. Di seberang jalan menjulang sekitar 30 meter patahan bukit kapur yang dipenuhi pohon jati hutan tak beraturan. Dengan kabel listrik menempel yang digeletakkan di lereng tebing itu begitu saja.
Seti terbangun dari baring-baringnya di atas dipan kayu tanpa kasur. Ada satu jam dia berbaring melepas lelah setelah perjalanan tadi. Dibyo entah ke mana.
Ke luar dari kamar, Seti menghampiri kursi jati dengan meja jati besar di depannya, lalu duduk melemaskan kepenatannya. Menyeruput segelas kopi yang ada di atas meja sambil memperhatikan sekitar luar rumah gelap gulita. Tidak ada tetangga di kanan kiri rumah itu.
Dibyo muncul dari ruang belakang membawa satu piring besar belalang yang digoreng. Meletakkannya di depan Seti yang membaui asap panasnya yang terlihat dan tercium enak seperti bau seafood.
"Coba dulu dua atau tiga ekor belalang ini. Jika pusing dan lidahmu terasa aneh jangan diteruskan." Dibyo mengambil seekor dari piring, menggigit dan mengunyahnya. " Aku ambil nasi tiwul dulu sama tumis daun ketela." Dibyo menghilang lagi ke belakang.
Sepasang laki-laki dan perempuan sebaya Bapak dan Ibu Seti masuk saat Seti akan mencoba mencicipi belalang yang digoreng Dibyo.
"Sudah bangun nak ?" Tegur laki-laki itu. Berkacamata dan berpeci mengenakan sarung. Bapak Dibyo menyapa Seti. Duduk menyebelahi Seti.
"Iya pak. Selamat malam," Seti menjawab, lalu menyalami laki-laki itu dan Ibu Dibyo yang berkebaya berkain jarik.
Sesampai di rumah itu tadi, Seti belum sempat bertemu keduanya. Langsung tertidur pulas di kamar Dibyo. Kakak perempuan Dibyo sudah menikah dan ikut suaminya di Jakarta.
Berbincang sambil menceritakan keluarga masing-masing menghangatkan perkenalan di rumah Banjarejo. Sesekali tawa lepas Bapak Dibyo keluar jika Seti menyinggung kelucuan Dibyo di kost.
Dibyo muncul lagi. Masih sibuk bolak balik menyiapkan makan malam. Sebakul nasi tiwul panas dan sepiring tumis daun ketela ada di atas bakul yang ditentengnya. Ibu Dibyo menatanya di meja hati-hati.
"Hati-hati makan belalang nak Seti. Bisa pusing kalau tidak kuat." Ibu Dibyo tersenyum ramah saat melihat Seti mengunyah belalang yang diambilnya lagi dari piring.
"Iya bu, tadi Dibyo sudah mengingatkan," jawab Seti. Warna kemerahan berkilat dan rasa gurih belalang itu sepertinya menggoda Seti untuk terus mencicipinya.
"Suwun nak Seti. Dibyo sering ngrepotin di kost," lanjut Ibu Dibyo setelah membenahi meja yang penuh dengan makanan.
"Ah kata siapa bu. Saya malah yang sering ngrepotin Dibyo. Setiap hari dicucikan gelas dan piring yang kotor." Seti berkilah. Sungkan pemberiannya kepada Dibyo diungkit. Matanya menatap bergantian Bapak dan Ibu Dibyo yang terlihat sederhana.
Rupanya setiap pulang. Dibyo menceritakan Seti yang selalu menolongnya jika kehabisan uang saku.
Ada rasa senang dan gembira di tengah percakapan itu. Lalu Ibu Dibyo menyuruh Seti makan, merasa percakapan menyenangkan itu sudah cukup.
"Ini nasi tiwul Set. Dari gaplek." kata Dibyo. Tangannya menuangkan centhong berisi nasi tiwul itu ke piring setelah Bapak dan Ibunya masuk.
"Belalangnya enak Dib. Rasanya persis udang goreng. Kayaknya aku kuat menghabiskannya, " kata Seti.
Bau harum tumis daun ketela dan taburan belalang di atasnya membangkitkan rasa laparnya. Mengikuti Dibyo, dua centhong nasi tiwul dituangkan kepiringnya.
"Besok pagi kita jalan ke Drini Set. Mandi di laut lalu mampir ke ladang Bapak ambil semangka." Ajak Dibyo di sela-sela suapan nasi tiwulnya.
"Ayo aku juga pengin tahu pantai di sini. Kata dosenku pantai di sini curam dan sepi." Jawab Seti.
"Dan angker," Dibyo tertawa.
Cerita mistis mulai diperbincangkan di sela makan malam. Dari soal pantangan dan larangan di Banjarejo sampai ke arwah gentayangan orang yang bunuh diri di gua-gua lereng bukit kapur sekitar Banjarejo.
Menyimak cerita mistis itu tak sabar Seti menceritakannya kepada Hening dan Asri. Dan tentu saja perjalanan dari Samirono sampai Banjarejo sampai keenakan rasa belalang goreng yang dicicipnya.
Membayangkan mereka penasaran membuat Seti semakin ingin mencari tahu yang lain di kampung Dibyo.
-----------------
*Wedus : kambing dalam bahasa Jawa.
*Kirik : anak anjing dalam bahasa Jawa.
*bakul : tempat nasi dari anyaman bambu.
*gaplek : ketela yang dianginkan kurang lebih sebulan sampai berjamur agak hitam, lalu dijemur sampai kering.
*Nasi tiwul : gaplek yang ditumbuk kasar lalu dikukus sebagai pengganti nasi beras.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments