8. Dari Tepus ke Banjarejo Tanjungsari

"Jadi ke Tepus Set ?" Tanya Muji melihat Seti sedang berkemas di kamarnya.

"Jadilah, tinggal tunggu Dibyo balik dari kampus," jawab Seti. Tangannya memasukkan dua potong kaos hitam dan celana jeans ke dalam tas punggung.

Tak lama Dibyo terlihat mendekat dari bawah pohon sawo sambil bersiul. Tampaknya dia senang Seti akan ikut ke kampungnya.

"Dah siap Set ?" Tanya Dibyo setelah bergabung dengan keduanya.

"Sebentar lagi siap Dib. Aku pake celana pendek saja ya." Kata Seti yang memakai celana pendek dan kaos lengan panjang hitam bertuliskan Metallica band metal kesayangannya. Tas punggungnya dikancingkan diletakkan dekat sendal gunung yang akan dipakainya.

"Jangan lupa beli aqua satu galon buat cebok. Di sana gak ada air...hahaha..." Muji tertawa keras.

"Oh weduuuus ..." Dibyo bersungut mendengar kata-kata Muji.

"Emang bener Dib ?" Tanya Seti.

"Adalah, kita ke telaga," jawab Dibyo sambil berlalu ke kamarnya. Tak ingin lama-lama berdebat dengan Muji yang masih tertawa mengoloknya.

"Berapa jam ke Tepus Ji ?" Tanya Seti ke Muji.

"Sehari ...hahaha..." Muji masih mengolok kampung Dibyo lagi.

"Ah yang bener Ji," debat Seti.

"Aku belum pernah ke sana Set. Mungkin sekitar dua jam-an kalau kalian jalan normal."

"Wah lumayan jauh ya sekitar 60 kiloan."

"Bisa jadi. Tergantung masuk ke pelosok lagi gak kampung Dibyo."

Dibyo keluar kamarnya, menggembok lalu mendekat ke arah Muji dan Seti.

"Yuk berangkat. Mumpung masih jam empat sore." Kata Dibyo ke arah Seti.

"Hati-hati di jalan dab. Kalau ban kempes suruh Dibyo yang nuntun"

"Jalan dulu Ji ... jangan  ngrayu mbah Jum loh selama kami tinggal... hahaha..." Balas Dibyo ke Muji.

"Kiriiiiiik ..." Muji balas mengumpat akrab olokan Dibyo.

                                 

...----------------...

Dari Samirono si Denok melewati Gedong Kuning mengarah ke ring road Selatan, lalu ke arah Patuk menuju  jalan Wonosari. Matahari sudah mulai meredup ramah menaungi  si Denok.

Mulai menanjak memasuki bukit Patuk, Dibyo mengingatkan Seti untuk berhati-hati.

"Pelan Set. Di depan ada tikungan  irung Petruk. Jangan ngebut." Kata Dibyo.

Benar kata Dibyo. Selepas kata-katanya, tikungan tajam ke kanan menanjak terjal. Susah payah Seti mengemudikan si Denok  menanjak curam. Jantungnya berdegup kencang.

Lima menit melewatinya seperti berjam-jam melewati tanjakan tak berujung. Melewati kelokan  terakhir, Dibyo menyuruh Seti berhenti.

Dari situ Dibyo menunjuk ke Utara yang menontonkan kota Jogja. Ada sepuluh menit Seti dan Dibyo memperhatikan kota Jogja sambil menunggu si Denok mendingin.

"Nanti kita beli belalang Set di hutan Wanagama kalau kamu ada uang," kata Dibyo saat bersiap jalan lagi.

"Belalang ?" Seti terheran-heran.

"Iya. Belalang kayu. Cuma yang alergi bakalan puyeng ...hehehe..." Kata Dibyo lagi.

"Baik nanti kita beli. Aku masih ada uang," Seti menjawab, lalu menghidupkan  si Denok  meninggalkan bukit Patuk.

                             

...----------------...

Tak berapa lama dari ketandusan bukit kapur di kanan kiri jalan ke Wonosari. Hamparan hijau menyejukkan mata terlihat di sebelah kiri jalan.

"Hutan Wanagama Set. Punya kampusku," Dibyo bangga menunjuk ke pepohonan hijau yang membentang.

"Konon hutan itu dulunya bukit tandus yang disulap menghijau dengan kerja yang sangat keras dan uang pribadi bebarapa dosen UGM" kata Dibyo lagi. Pantas saja Dibyo bangga sekali dengan kampusnya.

Menjalankan si Denok pelan sepanjang hutan itu. Seti senang dengan perjalanannya kali ini. Tidak sia-sia meluangkan waktu mengantar Dibyo. Sayangnya penjual belalang sudah tidak ada di sepanjang jalan itu.                              

...----------------...

Kurang lebih satu setengah jam dari Jogja sampailah si Denok ke Wonosari, kota Kecamatan sekaligus ibu kota di Gunung Kidul. Lalu belok kanan di dekat pertigaan Pengadilan. Terus ke Selatan menuju Tepus.

"Masih jauh Dib?" Tanya Seti penasaran.

"Lumayan sih. Sebelum pantai Krakal kita belok kiri." Jawab Dibyo.

Mengikuti arahan Dibyo. Seti mengikuti jalan Wonosari Tepus yang lumayan mulus dan sepi.

Kanan kirinya hanya tampak bukit-bukit kapur yang dulunya ada di dasar laut. Penjelasan teori kuliah-nya kini mulai dipahami Seti.

Setengah jam kemudian, sampailah pertigaan menuju pantai Krakal. Dibyo menyuruh Seti berhenti sejenak saat beberapa bocah terlihat mengacungkan belalang yang ditusuk di lidi daun kelapa. Kurang lebih ada 20 belalang di setiap lidi.

Membeli lima tusuk lidi seharga dua ribu rupiah. Seti masih terheran dengan belalang besar yang akan diapakan oleh Dibyo nanti.

Dari pertigaan itu Dibyo menyuruh Seti belok ke arah kiri, masuk ke jala kampung Dibyo yang hanya tersusun atas tumpukan batu koral. Seti tak bisa membayangkan licinnya jalan itu jika musim penghujan datang. 

Si Denok tertatih-tatih saat memasuki kampung kecil yang penuh dengan hamparan bukit dan patahan-patahan tebing menjulang lalu berhenti di sebuah rumah semi permanen bertuliskan ... Kepala Desa Banjarejo ....

                                 

...----------------...

Suara jangkrik terdengar dari luar rumah Dibyo. Di seberang jalan menjulang sekitar 30 meter patahan bukit kapur yang dipenuhi pohon jati hutan tak beraturan. Dengan kabel listrik menempel yang digeletakkan di lereng tebing itu begitu saja.

Seti terbangun dari baring-baringnya di atas dipan kayu tanpa kasur. Ada satu jam dia berbaring melepas lelah setelah perjalanan tadi. Dibyo entah ke mana.

Ke luar dari kamar, Seti menghampiri kursi jati dengan meja jati besar di depannya, lalu duduk melemaskan kepenatannya. Menyeruput segelas kopi yang ada di atas meja sambil memperhatikan sekitar luar rumah gelap gulita. Tidak ada tetangga di kanan kiri rumah itu. 

Dibyo muncul dari ruang belakang  membawa satu piring besar belalang yang digoreng. Meletakkannya di depan Seti yang membaui asap panasnya yang terlihat dan tercium enak seperti bau seafood.

"Coba dulu dua atau tiga ekor belalang ini. Jika pusing dan lidahmu terasa aneh jangan diteruskan." Dibyo mengambil seekor dari piring, menggigit dan mengunyahnya. " Aku ambil nasi tiwul dulu sama tumis daun ketela." Dibyo menghilang lagi ke belakang.

Sepasang laki-laki dan perempuan sebaya Bapak dan Ibu Seti masuk saat Seti akan mencoba mencicipi belalang yang digoreng Dibyo. 

"Sudah bangun nak ?" Tegur laki-laki itu. Berkacamata dan berpeci mengenakan sarung. Bapak Dibyo menyapa Seti. Duduk menyebelahi Seti.

"Iya pak. Selamat malam," Seti menjawab, lalu menyalami laki-laki itu dan  Ibu Dibyo yang berkebaya berkain jarik.

Sesampai di rumah itu tadi, Seti belum sempat bertemu keduanya. Langsung tertidur pulas di kamar Dibyo. Kakak perempuan Dibyo sudah menikah dan ikut suaminya di Jakarta. 

Berbincang sambil menceritakan keluarga masing-masing menghangatkan perkenalan di rumah Banjarejo. Sesekali tawa lepas Bapak Dibyo keluar jika Seti menyinggung kelucuan Dibyo di kost.

Dibyo muncul lagi. Masih sibuk bolak balik menyiapkan makan malam. Sebakul nasi tiwul panas dan sepiring tumis daun ketela ada di atas bakul yang ditentengnya. Ibu Dibyo menatanya di meja hati-hati.

"Hati-hati makan belalang nak Seti. Bisa pusing kalau tidak kuat." Ibu Dibyo  tersenyum ramah saat melihat Seti mengunyah belalang yang diambilnya lagi dari piring.

"Iya bu, tadi Dibyo sudah mengingatkan," jawab Seti. Warna kemerahan berkilat dan rasa gurih belalang itu  sepertinya menggoda Seti untuk terus mencicipinya.

"Suwun nak Seti. Dibyo sering ngrepotin di kost," lanjut Ibu Dibyo setelah membenahi meja yang penuh dengan makanan.

"Ah kata siapa bu. Saya malah yang sering ngrepotin Dibyo. Setiap hari dicucikan gelas dan piring yang kotor." Seti berkilah. Sungkan pemberiannya kepada Dibyo diungkit. Matanya menatap bergantian Bapak dan Ibu Dibyo yang terlihat sederhana.

Rupanya setiap pulang. Dibyo menceritakan Seti yang selalu menolongnya jika kehabisan uang saku.

Ada rasa senang dan gembira di tengah percakapan itu. Lalu Ibu Dibyo menyuruh Seti makan, merasa percakapan menyenangkan itu sudah cukup. 

"Ini nasi tiwul Set. Dari gaplek."  kata Dibyo. Tangannya menuangkan centhong berisi nasi tiwul itu ke piring setelah Bapak dan Ibunya masuk.

"Belalangnya enak Dib. Rasanya persis udang goreng. Kayaknya aku kuat menghabiskannya, " kata Seti.

Bau harum tumis daun ketela dan taburan belalang di atasnya  membangkitkan rasa laparnya. Mengikuti Dibyo, dua centhong nasi tiwul dituangkan kepiringnya. 

"Besok pagi kita jalan ke Drini Set. Mandi di laut lalu mampir ke ladang Bapak ambil semangka." Ajak Dibyo di sela-sela suapan nasi tiwulnya.

"Ayo aku juga pengin tahu pantai di sini.  Kata dosenku pantai di sini curam dan sepi." Jawab Seti.

"Dan angker," Dibyo tertawa. 

Cerita mistis mulai diperbincangkan di sela makan malam. Dari soal pantangan dan larangan di Banjarejo sampai ke arwah gentayangan orang yang bunuh diri di gua-gua  lereng bukit kapur sekitar Banjarejo.

Menyimak cerita mistis itu tak sabar Seti menceritakannya kepada Hening dan Asri. Dan tentu saja perjalanan dari Samirono sampai Banjarejo sampai keenakan rasa belalang goreng yang dicicipnya.

Membayangkan mereka penasaran membuat Seti semakin ingin mencari tahu yang lain di kampung Dibyo.

 -----------------

*Wedus : kambing dalam bahasa Jawa.

*Kirik : anak anjing dalam bahasa Jawa.

*bakul : tempat nasi dari anyaman bambu.

*gaplek : ketela yang dianginkan kurang lebih sebulan sampai berjamur agak hitam, lalu dijemur sampai kering.

*Nasi tiwul : gaplek yang ditumbuk kasar lalu dikukus sebagai pengganti nasi beras.

Episodes
1 1. Jogja 1990
2 2. Cerita Baru Di Jogja
3 3. Teman Baru Jogja
4 4. Kedekatan di Jogja
5 5. Hangat Di Jogja
6 6. Lapak Malioboro
7 7. Melepas Jerat
8 8. Dari Tepus ke Banjarejo Tanjungsari
9 9. Dari Banjarejo ke Drini
10 10. Malioboro
11 11. Kost Mantrijeron
12 12. Ungkapan Rasa
13 13. Jakarta
14 14. Kesulitan Pertama
15 15. Pulang
16 16. Kesulitan Kedua
17 17. Lawan
18 18. Konsekuensi
19 19. Keluar Dari Kesulitan Pertama
20 20. Dari Jakarta Sampai Ke Jogja
21 21. Rumah Wirobrajan
22 22. Tentang Kejujuran
23 23. Tentang Cinta dan Kebencian
24 24. Persinggungan Lapak Malioboro dan Sanggar Seni Ancol
25 25. Tentang Kejujuran dan Kepercayaan
26 26. Sesuatu Yang Seharusnya Tak Perlu Diceritakan
27 27. Tentang Keterbukaan Hati
28 28. Kerinduan
29 29. Sebuah Lorong Waktu
30 30. Isi Hati
31 31. Tentang Suatu Masa
32 32. Kembali Ke Banjarejo
33 33. Dari Beringharjo Ke Pulau Drini
34 34. Jalinan Cerita Baru
35 35. Sanggar Taji
36 36. Awal Cobaan
37 37. Rangkaian Pertanda
38 38. Tentang Niatan
39 39. Tentang Cinta
40 40. Dari Baron Ke Drini
41 41. Noda Di Hari Minggu
42 42. Tentang Ruang Dan Waktu
43 43. Awal Sebuah Dendam
44 44. Naluri Dan Insting
45 45. Pelajaran Hidup Menjadi Dewasa
46 46. Jangan Mundur !
47 47. Perjalanan Selanjutnya
48 48. Awal Hari Baru
49 49. Harapan Baru
50 50. Kegundahan
51 51. Membuka Diri
52 52. Kembali Ke Wonosari
53 53. Awal Perlawanan
54 54. Singgah Di Rumah Banjarejo
55 55. Kedekatan Hati
56 56. Tentang Hati Yang Bersyukur
57 57. Sang Waktu Tak Pernah Kembali
58 58. Persinggungan Di Jogja
59 59. Rangkaian Awal Dilema
60 60. Rencana Pembalasan
61 61. Menjelang Pelepasan
62 62. Strategi Kawan dan Lawan
63 63. Tentang Cinta Dan Rencana Sesudahnya
64 64. Cerita Senja
65 65. Tentang Adab Dan Keberuntungan Pekerjaan
66 66. Kelegaan Perpisahan
67 67. Dunia Baru
68 68. Dari Kokap Ke Panjatan Kulon Progo
69 69. Penghujung 1998
70 70. Tanah Panjatan
71 71. Tentang Keinginan
72 72. Kedekatan Dan Perpisahan
73 Buat pengikut Seti dan Asri
Episodes

Updated 73 Episodes

1
1. Jogja 1990
2
2. Cerita Baru Di Jogja
3
3. Teman Baru Jogja
4
4. Kedekatan di Jogja
5
5. Hangat Di Jogja
6
6. Lapak Malioboro
7
7. Melepas Jerat
8
8. Dari Tepus ke Banjarejo Tanjungsari
9
9. Dari Banjarejo ke Drini
10
10. Malioboro
11
11. Kost Mantrijeron
12
12. Ungkapan Rasa
13
13. Jakarta
14
14. Kesulitan Pertama
15
15. Pulang
16
16. Kesulitan Kedua
17
17. Lawan
18
18. Konsekuensi
19
19. Keluar Dari Kesulitan Pertama
20
20. Dari Jakarta Sampai Ke Jogja
21
21. Rumah Wirobrajan
22
22. Tentang Kejujuran
23
23. Tentang Cinta dan Kebencian
24
24. Persinggungan Lapak Malioboro dan Sanggar Seni Ancol
25
25. Tentang Kejujuran dan Kepercayaan
26
26. Sesuatu Yang Seharusnya Tak Perlu Diceritakan
27
27. Tentang Keterbukaan Hati
28
28. Kerinduan
29
29. Sebuah Lorong Waktu
30
30. Isi Hati
31
31. Tentang Suatu Masa
32
32. Kembali Ke Banjarejo
33
33. Dari Beringharjo Ke Pulau Drini
34
34. Jalinan Cerita Baru
35
35. Sanggar Taji
36
36. Awal Cobaan
37
37. Rangkaian Pertanda
38
38. Tentang Niatan
39
39. Tentang Cinta
40
40. Dari Baron Ke Drini
41
41. Noda Di Hari Minggu
42
42. Tentang Ruang Dan Waktu
43
43. Awal Sebuah Dendam
44
44. Naluri Dan Insting
45
45. Pelajaran Hidup Menjadi Dewasa
46
46. Jangan Mundur !
47
47. Perjalanan Selanjutnya
48
48. Awal Hari Baru
49
49. Harapan Baru
50
50. Kegundahan
51
51. Membuka Diri
52
52. Kembali Ke Wonosari
53
53. Awal Perlawanan
54
54. Singgah Di Rumah Banjarejo
55
55. Kedekatan Hati
56
56. Tentang Hati Yang Bersyukur
57
57. Sang Waktu Tak Pernah Kembali
58
58. Persinggungan Di Jogja
59
59. Rangkaian Awal Dilema
60
60. Rencana Pembalasan
61
61. Menjelang Pelepasan
62
62. Strategi Kawan dan Lawan
63
63. Tentang Cinta Dan Rencana Sesudahnya
64
64. Cerita Senja
65
65. Tentang Adab Dan Keberuntungan Pekerjaan
66
66. Kelegaan Perpisahan
67
67. Dunia Baru
68
68. Dari Kokap Ke Panjatan Kulon Progo
69
69. Penghujung 1998
70
70. Tanah Panjatan
71
71. Tentang Keinginan
72
72. Kedekatan Dan Perpisahan
73
Buat pengikut Seti dan Asri

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!