Kamar kost Demangan sedikit sepi. Ujian semester yang semakin dekat membuat masing-masing penghuninya berkutat dengan buku-buku dan catatan kuliahnya.
Dari dalam kamar Doni dan Joe saja yang masih terdengar perbincangan di dalamnya.
"Jadi Sigit meladeniku ?" Seti duduk berhadapan dengan Doni membahas tantangan billiard delapan bolanya.
"Ya ... sembilan game. Masing-masing game seratus ribu." Doni memandang Seti.
"Sisa berapa uangmu buat modal ?" Tanya Seti lagi.
"Seratus lima puluhan," jawab Doni. "Kamu yakin bisa mengalahkannya ?" Masih ada kekuatiran di hati Doni.
"Iya Set ... Jangan-jangan kayak kita nasibnya... keok." Joe menimpal sambil tiduran.
"Kalau kalah si Denok kujaminkan." Seti bersandar ke dinding.
"Edaaaan ... " Doni terperanjat ... Tak menyangka keberanian pertaruhan Seti.
"Itulah resiko. Makanya kutantang dia main delapan bola," jawab Seti pendek. " Salah kalian juga kenapa meladeni permainan kartunya." Imbuh Seti.
"Iya sih .... " Joe menyadari kesalahannya.
"Aku mau bertaruh tapi dengan kemampuanku. Bukan dengan hoki kartu yang bisa saja curang."
"Sudah kamu pikirkan matang-matang ?" Joe bangun dari tidurannya. Mendekat ke arah Doni dan Seti.
"Sudah," Seti mengalihkan pandangan ke arah Joe. "Asri juga sudah kuberitahu." Lanjutnya.
"Kenapa harus ada Asri ?" Joe mengernyitkan dahi.
"Dia tahu kita bohong masalah lapak. Bisa merajuk lama dia kalau aku tak jujur mengatakannya." Jawab Seti.
"Lalu ?" Doni menyela. Tak enak hubungan Seti dan Asri terganggu kebodohannya.
"Dia membiarkan kita untuk kali ini."
"Kalian tidak bertengkar kan?" Doni masih ragu.
"Tidak ... Malah dia memaksa untuk ikut hari Minggu. Aku tak bisa menolaknya."
"Bukankah dia masih kepikiran mas Joko ? Kenapa malah kamu tambah dengan persoalan kita ?" Joe berpaling memandang Seti.
"Masalah mas Joko kukesampingkan dulu Joe." Kata Seti.
Joe tak bisa mencegah Seti lagi. Sejak SMP dia tahu persis sikapnya jika sudah punya keinginan.
Merasa cukup membahas urusan hari Minggu, Seti berpamitan ke kost Mantrijeron. Tadi pagi mbah Jum menyuruhnya mengantarkan bakpia dan sriping pisang buat Asri.
...----------------...
Ujian akhir semester kali ini tidak terlalu dirisaukan Seti. Merasa mampu dan yakin untuk menghadapinya. Yang lebih dirisaukan justru Asri, Joe dan Doni.
Tak mau Asri terlalu memikirkan Joko, dirinya berusaha sesering mungkin menemuinya jika tak sempat menelepon. Menemaninya mengobrol setidaknya membuat Asri sedikit senang dan melupakan keadaan Joko.
Mengenai Joe dan Doni. Masalah pertemanan membuat dirinya memikirkan lapak. Apalagi setelah tahu ada Sigit dalam kekisruhan lapak.
Jika bukan karena Sigit. Seti tak akan gegabah menantangnya bertaruh. Tidak suka kata-katanya dan sekaligus ingin meladeni kesombongannya, Seti memutuskan untuk mengikuti permainannya. Tentu saja dengan segala konsekuensi yang harus dihadapinya.
...----------------...
"Salam dari mbah Jum." Seti menyerahkan bungkusan yang dibawanya ke Asri.
Asri tersenyum menerima jajanan mbah Jum. "Mbah Jum selalu bawain jajanan terus. Aku jadi tidak enak Set."
"Terima saja. Toh bukan kepadamu saja dia memberi sesuatu. Kami di kost malah hampir tiap hari menerima pemberiannya. Kalau dihitung-hitung lebih banyak yang kami terima dari yang kami bayar."
"Baik banget orangnya." Asri menyanjung mbah Jum.
"Makanya kami di kost gantian bantu dia di warung."
"Bulan depan mungkin kirimanku berkurang Set." Asri mengalihkan pembicaraan. "Mas Joko butuh biaya banyak untuk berobat."
"Masih belum membaik keadaannya ?"
"Masih stabil. Hanya mungkin butuh biaya besar. Bapak tadi barusan menelepon."
"Sudah ketahuan sakit apa ?"
"Kanker hati." Asri menjawab pendek.
Seti terpaku mendengar keluhan Asri. "Sudahlah jangan terlalu dipikirkan. Kamu tidak sendirian di sini." Kata Seti setelah keterdiamannya sejenak.
"Aku tidak mengeluhkan kiriman uang saku Set. Justru aku minta ke Bapak supaya urus mas Joko dulu."
Cerita Asri membuat Seti semakin bulat untuk menghidupkan lapak. Ada rasa yang hilang jika lapak itu dibiarkan terlalu lama tutup.
"Aku sudah bercerita ke mas Seto tentang mas Joko. Tapi surat jawabannya belum datang. Mungkin minggu ini," kata Seti. "Mereka pernah dekat di Semarang ... Aku yakin mas Seto pasti ikut memikirkannya."
"Lalu rencanamu dengan Sigit besok Minggu ?" Asri menyinggung Sigit.
"Sudah terlanjur ... Akan kuhadapi." Seti menatap Asri... Berharap dia tidak ikut memikirkan urusan lapak.
"Jemput aku besok. Aku menginap di mbah Jum. Kita berangkat bareng." Asri membalas tatapan Seti.
Mengangguk pelan, Seti mengiyakan keinginan Asri. "Apapun yang terjadi aku siap jika kamu menyalahkanku As."
"Bukankah kita sudah berjanji tak akan saling meninggalkan ? Untuk apa saling menyalahkan jika kita sudah sepakat di awal." Kali ini kata-kata Asri membuat Seti semakin tak mau kehilangan dan melukainya.
Bukan karena dirinya sudah menjamah kewanitaan Asri ... Tidak dipungkiri kelelakiannya sudah terpahat pada Asri setelah keduanya bergumul di kost Samirono.
Rasa tak mau kehilangan itu lebih kepada kepercayaan Asri ... Itulah yang dirawat dan dijaga Seti ... Tak bisa dibayangkan jika Asri tak lagi mempercayainya.
Asri membuka bungkusan di atas meja. Mengambil sepotong bakpia lalu menyodorkan ke mulut Seti. "Untuk yang sedang mumet diuji lapak Malioboro." Asri tertawa kecil. Keceriannya muncul lagi.
Seti menggigit sedikit Bakpia yang disodorkan. Ikut tertawa mendengar candaan Asri. Hatinya ikut senang melihat senyum cantiknya.
Ketika keterus terangan menjadi jembatan kedekatan pasangan yang sedang hangat-hangatnya memadu kasih, maka bisa dipastikan sesulit apapun suatu persoalan yang datang menghantam justru akan semakin merekatkan kedekatan itu.
Seti dan Asri mulai menikmatinya ... Merasa saling membutuhkan untuk saling menguatkan ...
...----------------...
Dibyo melongok Seti yang sedang berbaring di kamarnya. Masuk dengan sepiring penuh gaplek. "Camilan sehat Set." Dibyo ngakak ke arah Seti.
"Hahaha ... Suwun ... Masih ada saja simpananmu." Seti bangun dari tidurannya.
"Pokoknya stok melimpah."
Segenggam penuh gaplek yang masih hangat diambil Seti. "Enak Dib ... Pas nih buat teman baca buku."
"Makanya aku bawa banyak. Buat teman begadang ujian."
"Muji kemana Dib ? Seharian gak kelihatan." Seti menanyakan Muji.
"Katanya lagi cari buku buat persiapan sidang."
"Moga-moga lancar Dib."
"Amin."
"Pacarmu piye ?" Dibyo ganti menanyakan Asri.
"Baik, hanya kakaknya kena kanker."
"Kanker apa ?"
"Hati"
"Wah berat itu Set. Biasanya medis menyerah kalau sudah lanjut."
"Aku kurang paham tentang itu. Yang jelas sekarang dirawat di rumah sakit."
"Nanti kalau sudah mentok, coba pakai alternatif."
"Besok Asri menginap di mbah Jum. Katakan saja langsung padanya Dib,".Seti sungkan mengatakannya langsung ke Asri. "Suwun masukanmu. Paling tidak sudah menunjukkan perhatianmu pada Asri."
"Aku besok pulang ... Pokoknya kalau nanti mau pakai cara alternatif langsung ke kampungku saja Set. Kukenalkan pada uwak-ku. Siapa tahu lewat perantaraannya bisa pulih."
"Alternatif itu pakai mejik atau bagaimana ?" Seti mencoba mencari tahu.
"Gak pakai mejik-mejikan tapi pakai tanaman obat. Aku sendiri kurang paham jenis-jenisnya."
"Oh aku pikir pakai ritual ini itu lalu disembur." Seti tertawa.
"Itu kan kalau orang kerasukan ... hahaha ..." Dibyo ikut tergelak.
Seti tiba-tiba saja merindukan kampung Dibyo. Ingin berlama-lama di sana menelusuri setiap sudut ladang sampai tepi lautnya. Rindu masakan di tengah ladang. Rindu kehangatan pasir putih pantainya. Rindu kejernihan air lautnya ....
-------------
*Uwak : kakak dari Bapak atau Ibu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments
Nikfyni
Pakai sim sala bim mas Seti haha
2023-09-09
1