Joe datang saat Seti bersiap ke wartel untuk menelepon Asri. Melihat muka suntuk karibnya, Seti menunda menelepon. Mengajaknya masuk ke kamar.
"Kenapa Joe ? Mukamu ruwet." Seti duduk bersandar menyebelahi Joe.
Tidak seperti biasanya Joe duduk anteng di kamarnya.
"Mumet ... lapak mau diambil orang." Joe memegang keningnya.
"Diambil bagaimana ? Dijual ?"
"Ntar tunggu Doni datang. Anaknya lagi kencing tuh di belakang. Biar dia cerita sendiri." Joe menyalakan rokok.
Kali ini Seti membiarkannya merokok di kamar.
Tak berapa lama Doni masuk. Seperti Joe, mukanya terlihat muram. Seti menyuruh Joe membuat kopi. Lalu keluar ke warung mbah Jum membeli gorengan meninggalkan keduanya.
"Sial Set." Doni membuka perbincangan setelah Seti kembali. Gorengan tempe yang dibawa Seti diambilnya sepotong.
"Lapak sepi ?" Seti masih belum paham soal kesialan apa yang dikatakan Doni.
Menghisap rokok dalam-dalam akhirnya Doni bercerita. " Aku kalah billiard Set .... Hampir satu juta."
Seti terbelalak mendengar kata Doni. " Satu juta ? Bagaimana ceritanya ?" Lalu duduk mendekat tertarik dengan penuturan Doni.
"Salahku juga Set." Doni melanjutkan ceritanya.
Kali ini perbincangan di kamar ujung kost Samirono mulai serius.
Billiard memang permainan mengasikkan jika sekedar olah raga. Joe dan Doni biasanya bermain di Billiard Nusa Indah jalan Solo di hari Minggu sepulang dari lapak.
Berkenalan dengan beberapa orang di situ mengenalkan mereka pada judi billiard kartu. Berkali-kali menang kecil-kecilan membuat Doni lupa diri ketika suatu saat taruhan dinaikkan.
Dan kalah telak...
Uang dagangan habis, itupun masih berhutang yang harus dibayarnya Minggu depan.
"Aku dikasih waktu seminggu. Kalau tidak lapak mau diambilnya." Keluh Doni.
Menggelar lapak di Malioboro bukan perkara gampang. Trotoar satu meterpun sudah dikuasai turun temurun. Selain harus kenal dan akrab dengan yang menguasai tempat itu. Uang untuk mengambil alihnya juga tidak sedikit.
Lapak itu punya kakak Doni yang sudah selesai kuliah. Berpesan untuk meneruskan dan menjaganya. Tidak bisa dibayangkan kemarahan kakaknya jika lapak itu sampai tergadai apalagi berpindah tangan.
"Hutang judi kan ?" Tanya Seti sedikit gelisahelirik arloji di tangannya, teringat akan menelepon Asri.
"Iya sih." Jawab Doni pendek.
"Dah ngopi-ngopi dulu. Aku mau telepon sebentar .... Nanti kita cari jalan keluar." Seti bergegas ke luar kamar.
...----------------...
"Jemput aku hari Rabu di lapak." Pinta Asri di ujung telepon.
"Naik Purbaya ?"
"Ya." Jawab Asri.
"Aku jemput saja di stasiun As." Seti memikirkan lapak Malioboro.
Memutuskan menjemput Asri di stasiun. Seti tak enak hati, jika Asri menunggu di lapak yang ternyata tutup sebab permasalahan Doni.
Kabar Joko yang masih di Rumah Sakit. Serta Hening yang bergantian dengan Asri menemani Bening membuat pikiran Seti ke mana-mana setelah menutup pembicaraan telepon dengan Asri.
Menaiki si Denok kembali ke kost Samirono. Kali ini memikirkan tentang lapak Malioboro. Bagaimanapun juga ada hubungan keterikatan yang erat dengan lapak itu.
Malam minggu bersama Asri dihabiskannya di situ. Juga tak sedikit uang yang diperolehnya dari sana. Tidak akan semudah itu lapak itu dilepaskan begitu saja hanya sebab kebodohan Doni.
Terbersit untuk meminjam kepada Seto andai saja dia tidak terlanjur menceritakan keadaan Joko dan Bening kepadanya lewat surat yang baru dikirimkannya kemarin. Niat itu dibatalkannya.
...----------------...
"Jadi bagaimana kejadiannya ?" Tanya Seti sepulang dari wartel. Mengambil sebatang rokok dari bungkus yang tergeletak di depannya.
"Kami main billiard tujuh kartu ber-empat. Aku berpasangan dengan Doni. Kupikir main biasa. Gak tahunya taruhan besar. Dua puluh ribu per game." Jawab Joe. "Kebetulan ada bule Belanda borong dompet." Sambung Joe lagi.
"Kok bisa sampai kalah hampir sejuta ?"
" Aku naikkan terus taruhannya. Sampai modal habis dan berhutang. Kami main dari jam sepuluh malam sampai pagi." Doni melirik Seti .... Asap rokoknya dihembuskan ke atas.
"Tapi lapak masih jalan kan ?" Tanya Seti.
"Masih sampai hari Minggu." Jawab Doni lagi.
Ketiganya terdiam sejenak. Memikirkan uang satu juta yang bukan soal gampang untuk mencarinya.
"Dah bagaimana caranya, pokoknya seminggu ini kalian jual semua yang ada. Nanti hari Sabtu kita lihat ada uang berapa." Seti memberi saran setelah keterdiaman itu.
"Buat jalan dan makan berdua seminggu ini bagaimana Set ?" Doni masih terlihat ragu. "Kosong bener .... Makanya kami ke sini."
"Makan di mbah Jum. Catat dulu. Nanti aku yang ngomong. Pakai si Denok buat pulang pergi ke lapak seminggu ini. Jangan ngrokok dulu sementara." Seti memandang keduanya. "Bagaimana usulku ?" Lanjutnya.
Berpandangan sejenak. Doni dan Joe mengangguk. Sedikit lega mendengar kata Seti. Paling tidak masih ada waktu satu minggu untuk mengembalikan hutang judi itu.
"Kalian dah makan belum ?" Seti melirik Doni dan Joe yang menghabiskan gorengan di piring. Keduanya menggeleng. "Nanti makan di mbah Jum." Lanjut seti lagi.
...----------------...
Joe dan Doni tampak lahap menghabiskan nasi sayur dan tempe di warung mbah Jum. Kelihatannya belum makan seharian dari cara makannya. Terbiasa makan dari dari hasil lapak. Kali ini mereka terjun bebas tanpa serupiah-pun di kantong.
"Aku dah ngomong ke mbah Jum. Makan saja gak usah tanya-tanya mulai besok. Sekalian bungkus buat bekal di lapak"
"Thanks Set. Kamu bilang apa ke mbah Jum ?" tanya Joe.
"Kubilang kalian kecopetan di Sarkem sehabis nyewa perempuan." Seti tertawa keras.
"Asuuuuu ..." hampir berbarengan Joe dan Doni mengumpat. Ketiganya tergelak bersama.
Sehabis makan Joe dan Doni membereskan dan mencuci semua piring dan gelas. Mbah Jum terkekeh melihat kekakuan keduanya.
"Cah sugih sobo dapur." Masih terkekeh mbah Jum menggoda Joe dan Doni.
"Sugih hutang mbah." Seti yang sedang mengumpulkan sisa nasi ikut mengolok. Melirik Joe dan Doni yang hanya bisa cengengesan.
...----------------...
"Aku hari Rabu siang jemput Asri di stasiun." Seti bersandar santai. Duduk bersama Joe dan Seti di kamarnya setelah makan.
"Kok tumben Asri balik hari Rabu. Biasanya kan Minggu ?" Joe menyela ingin tahu.
"Minggu kemarin kuantar pulang. Nengok mas Joko yang sakit."
"Sakit apa ?"
"Entahlah tadi lupa tanya saat kutelpon Asri." jawab Seti. "Hening juga pulang Joe." Kata Seti lagi.
"Wah pengin ketemu lagi sama dia Set. Tambah cantik dan langsing waktu kutemui di Jakarta. Kayaknya kalau kamu ketemu dia nanti bakalan terpesona." Joe menggoda. Teringat surat-surat Seti yang dibacanya.
"Ah kamu ini. Pengin Asri ngamuk kayaknya." Seti tersenyum kecil.
"Eh dah kamu apakan Asri ?" Joe tertawa. Kali ini berbalas meledek Seti.
"Telepon," Seti ikut tertawa. Tak mau mengumbar kemesraannya dengan Asri.
Perbincangan berlanjut soal mencari uang dalam seminggu ke depan dengan segala konsekuensinya.
Merasa cukup mencari jalan keluar urusan lapak, Joe dan Doni beranjak pamit ke lapak. Kali ini keduanya sedikit lega ada si Denok yang dipinjamkan Seti buat bolak balik Malioboro ke kost sampai urusannya selesai.
-----------
*Wartel : warung telepon.
*Cah sugih sobo dapur : anak orang kaya main ke dapur dalam bahasa Jawa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments