Rumah kost Samirono masih dengan kesibukan masing-masing penghuninya. Di kamar paling ujung Seti sedang sibuk dengan pensil warnanya menyelesaikan tugas Kristalografi yang rumit. Saat Dibyo anak Satra Jawa UGM yang kost di kamar tengah melongok ke dalam kamar Seti.
Dibyo sudah Semester Tiga. Asalnya dari Tanjungsari Gunung Kidul. Bapaknya Kades di sana. Perawakannya gemuk dan mudah bergaul. Tidak mau dipanggil mas oleh Seti. Dibyo lebih senang dipanggil Dib jika Seti memanggilnya. Katanya sih biar bertambah akrab saja.
"Ngopo Dib ngintip-ngintip," Seti tersenyum melihat kepala Dibyo yang diliriknya terlihat bolak balik nongol di gawang pintu.
"Hehehe ... Lembur terus anak teknik ini," ucap Dibyo sambil masuk, lalu berdiri di belakang Seti yang masih sibuk menggambar. Mata Dibyo memperhatikan coretan buku praktikum Seti.
"Buat kopi sendiri Dib ..., kalau mau , ada mie tuh di lemari," kata Seti tanpa menghiraukan Dibyo yang masih saja berdiri memperhatikan dari arah belakang duduknya.
"Wah suwun Set," jawab Dibyo yang tanpa disuruh Seti-pun pasti akan membuat kopi atau mencari makanan.
Seti tahu jika Dibyo masuk ke kamarnya pasti untuk mencari kopi atau makanan setelah blusukan ke kamar Muji teman kost yang lain di kamar paling ujung.
Uang saku Dibyo yang hanya cukup untuk satu minggu kadang sudah habis di hari Kamis atau Jum'at. Tersisa hanya untuk pulang ke Kampungnya setelah kuliah di hari Sabtu.
"Kamu buat kopi juga Set ?" Tanya Dibyo disela suara dentingan adukan sendok dan gelas kopi yang sedang dibuatnya.
"Ini saja masih ... Tuh ada mie goreng di lemari. Tadi dikasih mbah Jum." Jawab Seti.
Membuka lemari, Dibyo mengambil sepiring penuh mie goreng yang ditunjukkan Seti.
"Beneran nih kuhabiskan ?" Dibyo masih ragu dengan tawaran Seti. Mie goreng dalam piring yang dikeluarkannya kelihatan cukup untuk dimakan berdua.
"Makanlah saja. Lagipula kalau sudah malam aku malas makan besar. Eneg perutku," jawab Seti.
"Mbah Jum kok eman bener sama kamu Set," tanya Dibyo lagi. Mie di dalam piring mulai disendoknya.
"Ah sama kalian juga eman lah. Tinggal bagaimana saja kita membawa diri," jawab Seti. "Eh si Muji lagi ngapain Dib ? Kayaknya ramai benar kamarnya dengan suara ketikan." lanjut Seti menanyakan Muji tetangga kamar Dibyo.
"Biasa anak Sastra Inggris... Tugas terjemahan... hahaha..." Jawab Dibyo sambil tertawa.
Tingkah Muji tetangga kost Seti di kamar paling ujung mirip lucunya seperti Dibyo. Hanya perawakannya ceking dan kulitnya hitam legam. Asalnya dari Wates. Bapaknya petani biasa. Muji kuliah di Sastra Inggris IKIP Sanata Dharma. Sudah semester tujuh.
Sama seperti Dibyo. Muji lebih suka dipanggil Ji, jika Seti menyebut namanya.
"Panggil dia Dib. Bagi mie-nya kalau dia mau. Ada peyek juga tuh buat teman mengetiknya," tunjuk Seti ke arah toples di atas lemari yang penuh peyek kacang hijau pemberian Ibu.
Tak membantah. Dibyo berdiri, beranjak menuju kamar Muji sambil membawa piring mie di tangannya.
Seti tertawa geli memperhatikan Dibyo yang terlihat kelaparan. Dari cerita Dibyo. Walaupun Bapaknya Kades, tapi namanya tinggal di sekitaran Tepus Gunung Kidul jika musim kemarau panjang semua yang ada di sana akan susah. Tidak ada yang bisa ditanam.
Tak heran kemarau ini uang saku Dibyo sangat pas-pasan buat satu minggu saja. Jika ada tugas yang harus difoto kopi. Sudah pasti uangnya tak akan cukup sampai hari Sabtu.
Jika besok Sabtu tak ada janji ke tempat Asri, sebenarnya Seti berniat mengantar Dibyo pulang ke kampungnya.
...----------------...
"Ngopo dab ?" Suara Muji dari pintu kamar mengejutkan Seti yang sedang menyeruput kopinya. Tangan Muji memegang piring berisi mie. Tampaknya Dibyo berbagi mie dengannya.
Seti terbahak melihat Muji yang hanya memakai kolor. Badan kerempengnya menontonkan tulang dadanya yang menonjol tanpa baju. Tangannya sibuk menyuapkan mie goreng ke mulut.
"Tuh peyek di toples buat cagak ngantuk,"
"Wah kamu baik banget Set ... Suwun." Muji masuk ke kamar Seti. Mengambil peyek yang ada di toples, mengunyahnya bersama mie yang asik disuapkan dengan tangan telanjangnya.
Dibyo menyusul masuk beberapa saat kemudian. Mie gorengnya sudah habis lebih dahulu. Tangannya membawa Piring dan sendok yang sudah dicuci bersih kemudian meletakkan-nya di rak sebelah lemari, lalu mengambil kopi yang tadi dibuatnya.
"Kopiku endi Dib ?" Protes Muji melihat Seti dan Dibyo yang masing-masing menyanding kopi. Potongan peyek yang dikunyahnya hampir terloncat dari mulutnya.
"Tak pikir kamu kepanasan, kok malah minta ngopi," Dibyo terkekeh. Tapi tetap saja diambilnya gelas. Lalu menyeduhkan kopi buat Muji.
"Tadi memang sumuk Dib ... Njeblug kepalaku mengartikan puisinya Shakespeare. Lah wong puisinya Rendra saja bikin mumet. Apalagi ini puisi Inggris kuno. Dapat C saja sudah untung besok." Keluh Muji.
Seti dan Dibyo tertawa mendengar keluhan Muji. Cerita tugas terjemahan anak sastra inggris menghibur kerumitan tugas Kristalografi-nya.
Meletakkan pensil warna, Seti lalu duduk di lantai menyebelahi Dibyo dan Muji untuk bergabung mengobrol sebentar dengan mereka.
Tentu saja obrolan itu tidak jauh dari obrolan anak kost yang selain harus memikirkan materi kuliah juga harus memikirkan uang saku yang terbatas.
Muji meletakkan piring kosong setelah menghabiskan isinya di luar kamar. Berniat mencucinya nanti. Mengambil peyek lagi dan mendekatkan kopi yang dibuatkan Dibyo.
Cukup lama ketiganya berbalas cerita. Jika Muji mengeluhkan tugas terjemahan-nya, Dibyo mengeluhkan uang saku-nya yang selalu tak cukup di obrolan tadi.
Sama seperti Seti. Dibyo menghindari berhutang. Walau berkali-kali mbah Jum menyuruhnya makan saja dulu di warungnya, Dibyo sungkan untuk menerima tawaran mbah Jum.
Untungnya bekal camilan dari Ibu yang dibawa Seti setiap pulang akhir bulan ke rumah joglo di Purwokerto selalu ada dan disisihkan buat Dibyo oleh Seti.
Belum lagi kalau mbah Jum memberikan jajan atau panganan sisa jualan kepada Seti yang pasti juga disisihkan Seti untuk Dibyo.
Itulah yang selalu dicari Dibyo jika kehabisan uang makan, sekedar untuk mengganjal perut dan membuat dirinya tidak perlu berhutang untuk makan.
Karena keterbatasan Dibyo itu membuat Seti sangat berhasrat untuk menemani Dibyo pulang akhir pekan ke Gunung Kidul. Ingin tahu cerita Dibyo lebih banyak ... Terutama tentang cerita bunuh diri di Tepus jika gagal panen karena diserang hama dan kemarau panjang.
Kata Dibyo segala macam hama ada di Tepus. Dari belalang, burung betet, sampai wereng.
Belum lagi cerita tentang ikan pari Manta yang sebesar perahu di pantai Kukup. Atau pohon Drini di pulau Drini yang tidak boleh sembarangan dibawa menyeberang semakin membuat Seti bertambah ingin tahu tentang kampung Dibyo lebih dekat.
Tapi Sabtu besok Seti sudah terlanjur berjanji untuk mengunjungi Asri. Mungkin minggu depan baru kesampaian niatnya ke kampung Dibyo.
Merasa cukup mengganggu Seti yang sedang menyelesaikan tugas kuliahnya, Dibyo dan Muji berpamitan masuk ke kamarnya masing-masing.
...----------------...
Jam satu malam Seti menyelesaikan tugas praktikum-nya. Merapikan meja belajarnya. Mematikan lampu kamar, menyalakan lampu tidur dan beringsut ke kasur busanya merebahkan badan.
Suara ketikan di kamar Muji masih terdengar sampai kamar Seti. Dari kamar Dibyo yang gelap, terdengar sayup-sayup suara pelan siaran wayang dari radio Dibyo.
Kelihatannya Dibyo sudah tertidur. Ada setengah jam dia tadi mengobrol bersama Seti dan Muji sebelum mencuci semua gelas kopi dan pamit ke kamarnya.
Janji ke kost Asri membuat mata Seti sulit terlelap. Memikirkan kata-kata apa yang akan disampaikannya besok. Dan alasan apa yang harus disampaikan ke mbak Yem jika Asri mengajaknya ke luar.
Seti paham, Asri pasti akan mengajaknya ke Alun-Alun Selatan. Penasaran dengan masangin, suatu ritual melewati beringin kembar di Alun-alun itu dengan mata tertutup. Yang kata orang-orang, jika siapapun berhasil melakukannya maka segala keinginannya akan terkabul.
Seti juga penasaran dengan ritual itu. Benar atau hanya mitos saja jika berhasil melakukan masangin kata Dibyo yang anak sastra Jawa tidak perlu diperdebatkan. Yang jelas kata Dibyo, tidak gampang melakukan masangin dengan mata tertutup.
Ah, malam minggu pertamanya bersama Asri di Jogja tak sabar dinantikan Seti.
-----------------------
*Ngopo : kenapa dalam bahasa Jawa.
*Eman : sayang dalam bahasa Jawa.
*Dab : panggilan kepada laki-laki dalam bahasa gaul Jogja.
*Cagak ngantuk : mencegah kantuk dalam bahasa Jawa.
*Endi : mana dalam bahasa Jawa.
*Sumuk : gerah kepanasan dalam bahasa Jawa.
*Njeblug : meledak dalam bahasa Jawa.
*Mumet : pusing dalam bahasa Jawa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments