Jogja Pada Suatu Masa
Si Denok melewati jalan Gejayan, masuk gang kecil di depan IKIP Sanata Dharma Jogja. Berhenti di rumah kost sederhana kampung Samirono. Rumah dinding separoh bata separoh gedheg itu tampak sepi saat Seti mematikan mesin si Denok. Ada tiga kamar di rumah kost itu.
Kost Seti tidak terlalu jauh dari kampus fakultas tekniknya. Kebanyakan yang kost di sekitarnya dari IKIP Jogja dan UGM. Kamar Seti paling ujung. Teduh ternaungi pohon sawo besar. Mengingatkan rumah joglo yang sudah sebulan ini ditinggalkan Seti.
Jogja jadi pilihan Seti setelah kelulusan SMA-nya bersama Joe, dan Asri. Hening memilih Jakarta. Lalu Bening dan Joko menikah. Sementara Seto masih dengan pelayarannya.
Terlintas persinggungan cerita-cerita hidup yang melintas dan membekas di benak Seti. Seperti roda pedati. Waktu terus berputar, dan Seti masih dengan kedekatan Joe, Asri, dan Hening. Bersama mereka cerita itu terus mengalir...
...----------------...
Seti membasuh mukanya dengan air sumur yang ditimba. Kesegarannya mengurangi rasa lelahnya setelah seharian mengikuti Ospek dan penataran P4 di kampus.
Menyeka air yang menempel di wajahnya dengan handuk, Seti lalu merebahkan tubuhnya ke tikar pandan yang digelar di dekat pintu kamar.Tempat itu selalu jadi favorit Seti sepulang dari kampus. Udara segar yang mengalir dari pintu itu sangat dinikmatinya.
Sambil berbaring, surat Hening yang baru diterima Seti dibaca pelan-pelan. Ada rasa rindu yang terobati membaca baris demi baris tulisan Hening. Seperti kenikmatannya mencium wangi tubuh dan nafas Hening saat kedekatan mereka di Purwokerto dulu.
Tentang kabar Hening yang baik-baik saja dan kesibukan persiapan kuliahnya menenangkan kekuatiran Seti. Tampaknya dia mulai menikmati petualangannya di Jakarta.
Berdesak desakan naik mikrolet dari kost-nya ke kampus. Makan di warteg bareng teman kost-nya sampai kenalan baru runtut diceritakan Hening. Tentu saja pertanyaan Seti yang sedang ngapain saat menerima suratnya juga ditanyakan Hening.
Tentang Joe dan Asri tak lupa disinggung Hening. Menanyakan apakah keduanya sudah bertemu Seti di Jogja. Lima lembar kertas tulisan Hening selesai dibaca Seti, dan disimpan baik-baik. Nanti malam dia berencana membalas surat itu.
Seti tak sabar menceritakan kampus dan kost-nya di Jogja, dan tentu saja Joe serta Asri yang sampai sekarang belum dikunjunginya.
Kost Joe sebenarnya tak terlalu jauh dari kost Seti. Tetapi jadual padat Ospek dan penataran P4 menyita waktunya untuk mengunjungi Joe. Sedangkan kost Asri juga belum sempat dicarinya selama di Jogja.
Gemerlap malam Jogja saat pertama kali makan malam di angkringan bersama teman baru di kost sebenarnya sudah mengusik Seti untuk mengajak si Denok berkeliling mengenal pelosok-pelosoknya. Tentu saja juga melampiaskan keinginan hatinya bersama si Denok untuk mencari kost Asri.
Sayangnya minggu-minggu ini waktu Seti habis di kost dan kampusnya saja. Bahkan pakaian kotornya belum sempat dicuci masih bertumpuk di ember sudut kamar. Semua keinginan hatinya masih terpendam.
Makan di Jogja tidak terlalu menguras bekal Seti. Nasi dengan sayur lima puluh rupiah. Tambah tempe goreng dan tahu lima puluh rupiah. Masih ada sisa dua puluh lima ribu sampai sampai akhir bulan jika Seti berhemat dengan pengeluarannya.
...----------------...
"Ini empat puluh ribu dari mas-mu Set. Dicukup-cukupkan sampai kiriman berikutnya," Ibu memberikan uang bekal satu bulan kepada Seti saat akan berangkat ke Jogja.
"Terimakasih bu, itu sudah lebih dari cukup buat makan satu bulan," jawab Seti.
"Kalau kurang jangan berhutang. Langsung pulang saja," Ibu mengingatkan lagi.
"Iya bu." Seti tak mau membantah Ibu.
Kebutuhan setiap bulan di Jogja dihitung Seti dengan cermat saat pertama kali ke Jogja. Dari biaya makan, beli sabun, bensin si Denok, sampai bayar listrik disampaikan kepada Seto, diluar uang kost satu tahun dan belanja buku.
Kost Seti seratus dua puluh ribu setahun sudah dibayar Seto di awal. Jadi Seti tinggal mengatur pengeluaran bulanannya. Seto mulai mengajarkan Seti untuk menghargai uang dan waktu.
Untungnya Seti tidak terlalu suka merokok dan jajan yang tidak perlu. Main-main billiard, nongkrong di warung kopi dibuang dari daftar pengeluaran bulanan.
...----------------...
Setelah mandi sore yang menghilangkan lelahnya, Seti berganti baju sambil memandang cermin di depannya. Rambut kucirnya sudah hilang berganti potongan cepak 1 senti sesuai aturan sekolah teknik kedinasannya.
Dua kampus yang berjauhan tertolong si Denok. Tidak banyak waktu yang terbuang jika naik bus kota jalur 10 dari jalan Solo ke Ketandan di kampus pusat atau berbalik ke Babarsari di kampus lainnya.
Tertawa sendiri memandang wajah lucunya. Seti membayangkan apa kata-kata Asri dan Hening jika foto-fotonya selama Ospek dan Penataran P4 dilihat mereka. Sudah direncanakan-nya untuk mengirimkan foto-foto itu secepatnya kepada mereka.
Puas bercermin dan merasa lapar. Seti keluar kamarnya menuju warung makan yang diurus mbah Jum sekaligus pemilik kost itu.
Mbah Jum janda tak punya anak sepantaran Nenek. Suaminya meninggal 10 tahun lalu. Untungnya kampung Samirono dekat IKIP Karangmalang yang kebanyakan mahasiswanya dari kelas menengah ke bawah. Sehingga kost murah dan warung makan mbah Jum kelas mahasiswa tidak pernah sepi.
Selain karena ramah dan harganya terjangkau, mbah Jum sangat dekat dengan semua anak yang ada di kostnya atau pelanggan warungnya.
Seti pun mulai merasa betah kost di tempat mbah Jum. Kripik dan gethuk goreng oleh-oleh pemberian Ibu yang diberikan kepada mbah Jum membuat mbah Jum senang, semakin mengakrabkan Seti dan mbah Jum.
"Sini cah bagus ... ambil sendiri kalau mau makan," ada senyum dari mbah Jum melihat kedatangan Seti.
"Ya mbah ... aku mau buat kopi dulu. Kayaknya belum seger kalau seharian belum nyicipin kopi tubruk si-mbah."
Mbah Jum tertawa keras. Sirih yang dikunyahnya hampir terlompat di antara gigi ompongnya. Semakin suka dirinya kepada Seti.
"Kamu itu kayak mbah lanang saja Set... kalau belum ngopi lemes," masih terkekeh mbah Jum menyinggung mendiang suaminya dulu.
Biasanya sampai jam 8 malam Seti menemani mbah Jum. Lalu membantunya menutup warung makan setelah keramaian makan pelanggannya dan mengumpulkan sampah sisa makanan ke dalam kresek yang pagi-pagi buat pakan ayam-ayam peliharaan mbah Jum.
Walau mbah Jum bersikeras tak mau menerima pembayaran makan-nya, Seti tetap saja meninggalkannya di meja sesudah selesai menutup warung.
Kehangatan rumah Nenek tergantikan di rumah kost mbah Jum.
...----------------...
"Sesuk kuliah pagi le ?" Mbah Jum bertanya kepada Seti yang sedang mengumpulkan sisa-sisa makanan dari piring yang bertumpuk.
Malam ini warung mbah Jum sangat ramai. Anak-anak baru rupanya sudah mulai betah makan di warung itu.
"Sore mbah, kuliah pertama,"
"Hati-hati motormu, jangan parkir sembarangan," mbah Jum mengingatkan Seti untuk menjaga si Denok hati-hati.
"Iya mbah ... di kampus juga pakai karcis,"
"Dulu yang kost di kamarmu hilang motornya waktu di kampus... mesakke,"
"Ketemu nggak mbah ?"
"Nggak sampai dia lulus," kata mbah Jum, "Eh yang kost di kamarmu itu selalu waskita loh le," sambung mbah Jum lagi.
"Apa itu mbah ?" Seti tertarik kata-kata mbah Jum.
"Ditajamkan penglihatannya, jadi dimudahkan segala urusannya kemudian. Semuanya lulus dan sudah pada kerja. Ada yang jadi guru dan insinyur." Kata mbah Jum.
Cerita rumah kost mbah Jum menyenangkan Seti. Dirinyapun merasa nyaman di kamar kost itu. Terbersit keinginan memasang lukisan Mercu Suar di anyaman gedheg dindingnya.
Teringat surat Hening yang harus dibalasnya, Seti berpamit kepada mbah Jum setelah menutup pintu warung dan meninggalkan uang di meja.
-------------------------
*Gedheg : anyaman dari bambu
*Kripik : panganan dari tempe tipis yang digoreng kering.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments
manisnya kamu 😘❤️
Semangka
Ceritanya bagus
2023-09-30
1
Setia R
haha, zaman 90an!🤓🤓🤓🤓
2023-09-23
1
Maria_dwi90
keren kk,
2023-07-24
1