Memilah-milah lukisan yang akan diserahkan untuk seleksi pameran kampus membingungkan Hening. Membaca literasi tentang kritik sosial yang dijadikan tema pameran membuatnya bolak balik memelototi koleksi lukisan lamanya.
Berkali-kali lukisan pertarungan ayam jago wiring kuning-nya dipisahkan. Tetapi masih ada sedikit keraguan untuk mengikutkannya dalam seleksi yang tinggal beberapa minggu lagi.
Lukisan itu mengalir begitu saja dari pikirannya. Tentang pertarungan si kuat melindungi si lemah. Cerita awal yang tak akan mudah begitu saja dilewatkannya. Selalu mengingatkan Seti yang melindungi Bening dan dirinya.
Suara ketukan pintu depan mengalihkan perhatian Hening dari alas narasi tema cerita lukisan yang sedang disusunnya.
Berdiri di pintu, tukang pos yang sudah dihapal Hening menyerahkan sepucuk surat dari Seti. Surat-surat yang seperti air menyiram kuncup bunga di hatinya. Menjaganya tak layu di tengah kesibukan Jakarta.
Tak mau berlama membaca isinya, Hening beringsut ke kamar.
...----------------...
Berharap dirinya baik-baik saja di Jakarta, Seti menanyakan pameran pertama yang akan coba diikuti Hening. Tentu saja keseruan Jogja runtut diceritakan Seti setelahnya dalam suratnya.
Tentang kesibukan kampus, tentang kost Samirono, tentang lapak Malioboro, tentang Joe, dan lalu tentang kost Mantrijeron yang mulai menyinggung Asri.
Rencana Joe ke Jakarta jika lukisannya lolos seleksi pameran juga diceritakan Seti dalam suratnya.
Barisan paragraf tulisan tangan Seti di surat dinikmati Hening, seperti kenikmatannya menatap foto Seti yang terbingkai di atas meja belajar. Mengingatkan kedekatan di SMA dan rumah jengki.
Jika saja Jakarta Jogja hanya sepelangkahan kaki, saat itu juga dirinya pasti akan melangkahkan kaki menemuinya melampiaskan ruang rindunya.
Memang ada sedikit rasa ingin tahu di hati Hening ketika Seti menyinggung Asri di surat itu. Teringat kata-kata Bening menjelang kepergiannya ke Jakarta, rasa itu tak terlalu merisaukannya lagi. Toh Seti berjanji akan mengatakan langsung kepada dirinya.
Kewanitaan Hening merasakan Seti sudah menjatuhkan pilihan. Dan dirinyapun sudah bersiap untuk tidak terjerambab dalam kepatah hatian berkepanjangan seperti Bening yang berdamai dengan masa lalunya. Bahkan jika Seti pun kelak mengatakan tentang pilihannya kepada Asri.
...----------------...
Makan siang di jam yang sama butuh kesabaran untuk mengisi perut yang lapar. Warteg di sepanjang jalan Kali Pasir seperti biasa ramai di jam makan siang. Anak IKJ yang kost di sekitarnya biasanya makan siang di situ ramai-ramai.
Menengok kanan kiri, Hening masuk ke salah satu warteg yang sudah tidak terlalu berjubel bersama seorang teman kampusnya di siang panas agak berdebu itu.
Memesan nasi sayur ikan dan segelas es teh, kedua perempuan itu duduk di dekat pintu masuk mencari angin yang bertiup. Setidaknya mengurangi rasa pengap di warung sempit itu.
"Selamat Hen, lukisanmu lolos," obrolan pameran yang akan dibuka terlontar di meja itu saat makan.
"Makasih Yun. Lukisanmu juga lolos, " Hening menanggapi Yuni teman kampusnya. Tangannya sibuk memainkan sendok menyuapkan nasi.
Yuni asli Jakarta. Bapaknya seniman lukis di Ancol. Masuk IKJ bareng Hening. Keduanya akrab setelah perploncoan dan sama-sama di seni rupa. Cantik dengan dandanan yang seadanya.
"Kamu sengaja buat lukisan itu untuk seleksi ?" tanya Yuni.
"Sudah lama. Iseng saja kupilih. Tak kusangka lolos." jawab Hening senang.
"Punyaku seminggu yang lalu kubuat. Tiba-tiba saja melintas saat kulihat teman Bapak ke sanggar meminta makan." Yuni menceritakan lukisan laki-laki kurus berkaos putih yang sedang makan di atas piring seng yang dilukisnya.
"Tapi kena banget menurutku," Hening mengomentari lukisan Yuni." Urban banget." lanjutnya lagi.
Yuni tertawa. " Begitulah pasar seni Bapak. Memilih membeli cat minyak atau kanvas daripada buat beli makan."
Pasar seni mengalihkan topik obrolan di sela makan siang. Tentang pelitnya teman Bapak untuk urusan makan sampai antrian panjang di hari Minggu memesan lukisan wajah. Yuni mengajak Hening ke sana kapan-kapan.
...----------------...
Kipas angin yang berputar menyejukkan kamar yang terbuka pintunya. Hening dan Yuni mengeluarkan satu-satu lukisan yang ada di dalamnya. Memindahkan ke loteng atas hati-hati.
Setelah makan, Yuni singgah ke kost Kali Pasir. Membantu Hening membersihkan kamarnya dari tumpukan lukisan.
"Banyak juga lukisanmu. Pajang saja di sanggar Bapak. Siapa tahu laku." Yuni menghitung lukisan yang tertumpuk rapi di loteng.
"Nantilah. Siapa tahu masih kubutuhkan jika ada pameran lagi." Hening menutup tumpukan lukisan itu dengan sprei. Menaruh bungkusan silica gell dan kapur barus di sela-sela kayu penopang.
"Benar juga katamu. Aku malah tidak punya koleksi sama sekali. Kebanyakan pesanan orang." Yuni tertawa. Mengelap keringat di lehernya.
Seperti bapaknya. Melukis bagi Yuni adalah untuk mencari uang. Tak heran lukisan wajah menjadi hobi sekaligus profesinya. Dari SMA lukisan wajahnya lumayan menghasilkan.
Turun dari loteng pandangan Yuni tertarik dengan foto di atas meja belajar Hening.
"Pacarmu Hen ?" Yuni menunjuk foto itu.
"Hahaha ... entahlah ... kami dekat saja." Wajah Hening terasa panas mendengar pertanyaan Yuni.
"Kalau bukan pacar kenapa kamu pajang ? Pasti lebih dari teman dekatlah."
"Bener Yun, kami cuma berteman dekat. Dia baik banget sama aku dan kakak-ku."
Yuni menyimak cerita Hening tentang Seti. Obrolan beralih ke laki-laki yang diharapkan masing-masing. Ada tawa kegembiraan di situ tentang perbedaan sudut pandang laki-laki yang menarik hati masing-masing.
Yuni seperti anak muda Jakarta. Bercelana jeans robek berkaos oblong. Ada tato mawar kecil di tangan putihnya. Penampilan cueknya tetap saja tak menyembunyikan kecantikannya.
Masih tentang laki-laki. Enteng saja Yuni bercerita tentang dua kali pacarannya yang bubar. Tertawa bangga bahwa dialah yang memutuskan hubungan.
"Aku sih gampang. Cowok bikin pusing kuputus saja." Yuni menyalakan rokok yang diambilnya dari tas kulitnya. " Rokok Hen ?" menawarkan ke Hening.
"Enak ?" Hening ragu tawaran rokok itu.
"Coba saja."
Tertarik tawaran Yuni, diambilnya sebatang. "Kok kayak permen ya." kata Hening setelah mencoba menghisap.
Yuni tertawa. "Iya. itu rokok menthol. Buat perempuan."
Sejak SMA setelah ibunya meninggal Yuni mengenal rokok. Suatu saat Bapak memergokinya merokok di kamar. Tapi Bapak tidak marah. Hanya menyuruhnya untuk tidak merokok diam-diam dan di sekolah.
Bapak Yuni dulu kuliah di Asri Jogja. Tapi tidak diselesaikannya. Pindah ke Jakarta menjual lukisan wajah dan menetap di pasar seni setelah menikah.
"Jadi sekarang kamu gak pacaran Yun ?"
"Gak ... males aja. Mending kayak gini. Gak ada yang nglarang dan ngatur ini itu ... Aku bebas..." Yuni tertawa lebar. "Tapi temenmu di foto itu boleh juga Hen." terkekeh mengalihkan pembicaraan.
Tidak ada yang lebih menyenangkan jika dalam kesendirian ada yang menemani kekosongan hati. Keluh kesah Jakarta tidak harus melulu diratapi. Mengoloknya menjadi menyenangkan. Hening dan Yuni merasa tidak sendiri lagi.
...----------------...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments