Ngobrol semalaman membuat Seti tertidur pulas. Jam empat pagi teriakan Dibyo dari luar kamar membangunkan-nya.
"Sarapan dulu Set buat ganjal perut."
Sepiring gaplek goreng berbalut gula merah sudah ada di meja saat Seti keluar kamar. Mengambilnya sedikit. Campuran panas, gurih dan manis terasa pas di pagi yang masih dingin saat mengunyahnya. . "Nanti bawa ini ke Jogja, Dib" kata Seti. "Di tempatku ada penganan seperti ini. Tapi terlalu keras."
"Harus dikukus dulu, baru digoreng. Supaya tetap empuk kalau sudah dingin. Nanti kita bawa. Masih banyak stok di dalam " Dibyo menggeser segelas teh keroncong hangat ke arah Seti. "Habiskan tehnya dulu lalu kita berangkat. Jangan lewatkan matahari terbit di sana."
Merasa kenyang dan segar, Seti berdiri mengikuti ajakan Dibyo. Mengeluarkan si Denok dari rumah. Menghidupkan nafasnya sebentar.
...----------------...
Menyesal tidak membawa jaket dan hanya bercelana pendek, kabut dingin yang menampar muka dan tubuh Seti membuatnya sedikit menggigil sepanjang perjalanan dari rumah Banjarejo ke pulau Drini.
Pulau dekat Banjarejo yang menurut cerita mistis Dibyo semalam, dinamai Drini karena sejenis pohon yang banyak tumbuh di sana. Orang sana menamai pohon itu Drini. Pohon yang katanya bisa mengusir teluh, santet, dan guna-guna.
Mirip dengan kayu Dewandaru di Karimunjawa yang mitosnya akan menenggelamkan kapal yang membawanya dari pulau Karimunjawa. Pohon Drini juga bisa membawa sial jika membawanya keluar dari pulau itu.
Sayangnya mitos itu sudah tak berguna di jaman modern ini. Pohon Drini di pulau itu tinggal beberapa batang saja. Harganya yang lumayan mahal membuat banyak orang kota yang memburunya.
Jam lima tepat si Denok sampai di pantai dengan hamparan pasir putih di ujung Selatan Banjarejo.
Dari situ, pulau yang diceritakan Dibyo terlihat menjorok ke laut. Pulau itu seperti cerita Dibyo seolah-olah membagi laut Selatan menjadi dua bagian dari bibir pantai. Bagian Timur terlihat tenang dan bagian Barat yang bergelombang seakan membenarkan aura mistis pulau itu.
Tak mau berlama-lama kedinginan, Dibyo mengajak Seti berlari turun ke pantai. Merebahkan badan di pasir putih yang terasa hangat.
Perlahan dari arah Timur langit mulai memerah. Terpesona pemandangan yang baru dilihatnya, Seti membuka matanya yang sempat terpejam menikmati kehangatan pasir.
Matahari mulai naik perlahan. Siluet pulau Drini terlihat bergerak dari tempat Seti berbaring.
Dua perahu nelayan yang bersandar sehabis melaut terlihat jelas setelah matahari benar-benar terbit. Asap unggun sisa semalam masih terlihat di sebelah perahu itu.
Dibyo berdiri, berjalan menghampiri perahu itu. Seti yang mulai merasakan kehangatan matahari hanya terdiam memperhatikan saja. Masih bermalas-malasan dengan kehangatan panas matahari yang mengelus tubuhnya.
Tak lama Dibyo terlihat memamerkan dua ekor ikan pari besar yang ditentengnya dari perahu tadi ke arah Seti sambil tersenyum.
...----------------...
"Perahu orang Gombong Set. Dekat tempatmu," Dibyo meletakkan ikan itu di sayap si Denok.
"Beli atau dikasih Dib ?" Tanya Seti heran.
"Dikasih. Kalau ada perahu nelayan numpang nginap di sini pastii ngasih ikan, kalau orang sini yang minta." Jawab Dibyo. "Yok kita mandi. Airnya hangat di sisi Timur." Ajak Dibyo kemudian.
Seti berdiri, berlari menyusul Dibyo yang sudah mencemplungkan diri. Benar kata Dibyo. Air laut di pantai itu hangat.
Matahari yang meninggi semakin memperlihatkan kejernihan air laut saat Seti berenang mendekati pulau Drini. Terumbu karang mulai bermunculan seiring surutnya air. Laguna alam mulai terbentuk di sisi Timur pulau Drini.
Seti menarik Dibyo yang agak kepayahan saat naik ke pulau. Sedikit kerepotan dan ngos-ngosan akhirnya dia berhasil naik juga.
Dari atas tebing pulau itu barulah kejermihan air laut di sekelilingnya terlihat jelas di sisi Timur yang tenang. Pantai itu sepi. Hanya ada Seti, Dibyo dan dua perahu yang tampaknya akan meninggalkan pantai yang mulai surut.
Dibyo menunjuk sebatang pohon Drini yang patah tak jauh dari tempat Seti duduk berjemur. "Dulu pulau ini dipenuhi pohon Drini Set. Sekarang tinggal yang rusak-rusak saja yang tersisa."
Jam delapan siang, merasa puas menikmati mandi di laut dan hangat berjemur. Dibyo mengajak Seti ke arah Barat menuju ladang Bapaknya.
Menyusurii jalan sepanjang pantai berpayung panas matahari adalah hadiah pagi terindah yang paling berkesan bagi Seti. Tidak menyesal dirinya mengantar Dibyo ke Banjarejo.
...----------------...
Ibu Dibyo yang sejak semalam sudah ada di ladang membuat bumbu dari bawang merah, sere, bawang putih yang diambil dari ladang. Terlihat senang menerima dua ikan pari besar yang sudah dibersihkan dan dibelah oleh Seti dan Dibyo. Sebagian diiris tipis-tipis. Digantung di atas asap sabut kelapa yang dibakar di tungku perapian.
"Kita bakar Set. Sebagian dibuat ikan asap biar awet." Kata Dibyo .... Mulutnya sibuk meniup api dari carang yang diarahkan ke tungku dalam gubug di tengah ladang itu.
Menunggu Dibyo selesai membakar ikan. Seti keluar dari gubug. Berkeliling memperhatikan buah semangka yang bergeletakan di sela-sela batu kapur dan koral. tak jauh dari gubug itu.
Bentang alam di sekitar ladang itu berundak, mengharuskan siapa saja yang berladang untuk mengatur air dan menjaga tanah yang ditanggul susunan koral dan batu kapur. Tanggul itu mencegah air hujan menghanyutkan tanah yang subur ke lembahnya yang berubah menjadi telaga saat penghujan.
Setelah setengah jam berkeliling ladang, Dibyo terlihat keluar dari gubug. "Makan Set !" teriaknya memanggil Seti.
Masuk ke dalam gubug. Potongan besar ikan bakar tersaji di atas tampah. Irisan sledri dan sambal bawang cabai hijau yang harum membuat siapapun menjadi lapar.
"Sarapan seadanya pakai tiwul nak Seti. Beras mahal." Ada rasa sungkan dari ibu Dibyo saat menawari Seti sarapan.
"Ah Ibu, tiwulnya enak kok. Saya malah minta dibawain gaplek buat di kost," jawab Seti.
"Nanti biar Dibyo yang ambil. Di rumah masih banyak." kata Ibu Dibyo, "Ini saja kalau nak Seti tidak ke sini, belum tentu Dibyo dapat ikan laut."
Makan bersama seadanya di tengah ladang saat kehangatan pagi, menyenangkan semua yang ada di dalam gubug.
...----------------...
Jam tiga sore Seti dan Dibyo bersiap kembali ke Jogja. Mandi dilaut dan berbilas di telaga dekat ladang sangat berkesan di hati Seti. Apalagi Bapak dan Ibu Dibyo terlihat senang sekali menerima kedatangan Seti.
Berjanji akan datang lagi, Seti meninggalkan Banjarejo diantar senyum Bapak Dibyo. Ibu Dibyo menginap di ladang. Tak ikut mengantar.
Satu besek besar gaplek, dan tiga potong bungkusan ikan asap dipangku Dibyo yang membonceng. Dua semangka besar tergantung di sayap depan si Denok.
...----------------...
Jam lima sore akhirnya si Denok sampai ke kost Samirono. Muji yang sedang mengetik melongok sebentar. Tampaknya masih sibuk dengan tugas-tugasnya.
Tak mau mengganggu Muji. Seti membuka kamarnya. Berganti baju, merebus air di dapur untuk mengisi termos lalu mandi.
Dibyo masuk ke kamarnya meletakkan besek dan bungkusan ikan lalu berjalan mengantar satu semangka ke warung mbah Jum.
...----------------...
"Ngopi ... ngopi ..." Dibyo memanggil Seti yang sedang menulis surat buat Hening.
"Bikin sendiri Dib. Aku sudah buat tadi. Muji buatkan sekalian," balas Seti yang sedang menceritakan Banjarejo dan pulau Drini ke Hening lewat suratnya.
Malam sepulang dari tempat Dibyo, kost Samirono mulai kembali ke kesibukan tiga kamarnya. Muji dengan mesin ketik-nya, Dibyo dengan perhitungan cermat minggu depan, dan Seti dengan surat Jakarta Jogja.
Hanya saja, kali ini makan malam di kost Samirono berbeda. Ada daging asap yang terlalu lezat untuk dilupakan.
Ngopi ditemani gaplek goreng menjadi akhir pekan yang melelahkan tapi mengasikkan bagi Seti, Dibyo dan Muji.
----------------
*Carang : potongan bambu dalam bahasa Jawa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments