Seti dan Asri tertawa riang sepulang dari Alun-alun Selatan. Keduanya entah kebetulan atau bagaimana bisa melewati Kyai dan Nyai Daru. Berboncengan rapat, kepala Asri bersandar di bahu Seti. Tangannya memeluk erat pinggang Seti.
Nafas lembut kegembiraan Asri mengusap telinga Seti. Hangat seperti kedekatan mereka malam itu.
Melewati kemacetan kampung Langenastran si Denok melaju pelan ke arah Mantrijeron, Seti menengok kanan kiri mencari warung angkringan.
"Mau kuajak ke warung angkringan As ?" Ajak Seti.
"Warung apa itu ?" Asri balik bertanya.
"Warung murah meriah... ahahaha... Anak kost menyebutnya warung sego kucing ... Kalau kamu mau kita cari teh jahe di situ."
"Sego kucing ? ... Hiiiy... Pake daging kucing ?" Asri menjawab heran.
"Ahahaha ... Gaklah ... Ntar kan kamu tahu."
"Mauuuu ... kayak apa sih warungnya." Asri menjawab penasaran.
Setelah menyusur jalan beberapa saat, akhirnya Si Denok berhenti di depan sebuah trotoar. Di belakang trotoar itu ada warung tenda.
Tenda terpal berwarna oranye mengatapi gerobag kayu jati beroda becak dengan lampu teplok dan dua bangku panjang yang saling berhadapan menjadi ciri khas angkringan yang dimaksud Seti.
Dua ceret besar dengan tungku arang terlihat di atas gerobag itu. Di atasnya, tumpukan nasi berbungkus daun pisang. Jejeran tahu dan tempe bacem, sate telur puyuh, sate usus, sate jeroan ayam dan ketan tersaji rapi.
Yang biasa ngangkring pasti paham dengan keramahan dan guyonan pedagang warung angkringan itu yang kebanyakan berasal dari Bayat Klaten. Masing-masing tempat ada juragannya sendiri-sendiri dan umumnya berkerabat dekat.
Seti menarik tangan Asri yang masih berdiri terheran-heran memperhatikan lesehan tikar kosong di samping angkringan itu. Tertawa kecil, Seti lalu menyuruh Asri duduk di lesehan. Ada meja kayu kecil yang pas untuk tempat jajanan dan minuman di saat duduk lesehan di tikar itu.
"Mau minum apa As ?"
"Apa saja yang hangat Set. Terserah kamu." Asri masih memperhatikan suasana angkringan yang baru pertama kali dikunjunginya.
Beberapa pengunjun angkringan itu menengok ke arah Asri dengan sorot mata heran.
Biasanya angkringan di Jogja buat nongkrong laki-laki atau mahasiswa menengah ke bawah ... Melihat perempuan cantik yang tak biasa nongkrong di angkringan tentu saja mengundang banyak mata laki-laki tergoda untuk meliriknya.
Seti tak mempersoalkan tatapan ingin tahu mereka. Toh tak ada yang usil. Menyapa akrab ke arah mereka saat memesan dua gelas teh jahe menyenangkan suasana angkringan itu.
"Nuwun sewu mas," kata Seti saat mengambil ketan, tempe, tahu bacem dan dua bungkus nasi di hadapan beberapa pengunjungnya.
"Monggo," balasan hangat terdengar santun dari semua yang disapa Seti.
"Tolong dibakarkan mas." Seti menyerahkan piring berisi jajanan yang dipilihnya tadi.
"Nggih ... Darimana saja mas ... Tumben bareng cah ayu kok ngangkring," penjual itu ramah meledek Seti.
Beberapa laki-laki yang sedang ngangkring di situ ikut tertawa mendengar ledekan itu.
"Masangin mas di Alun-alun ... hehehe..." Jawab Seti ... Ada nada bangga mendengar kecantikan Asri dipuji.
Seti duduk menyebelahi Asri setelah menyerahkan jajanan yang akan dibakar. Keduanya memperhatikan keramaian jalan yang melintas di depannya. Melirik arlojinya yang masih menunjukkan jam delapan malam melegakan hati Seti. Masih cukup tersisa waktu untuk berduaan dengan Asri menghabiskan malam panjangnya.
...----------------...
Mas penjual angkringan tersenyum akrab saat mengantarkan dua gelas teh jahe panas dan sepiring jajanan yang dibakar arang. Seti dan Asri membalas senyuman keakraban itu.
"Oh ini toh sego kucing yang kamu maksud ?" Gumam Asri sambil tersenyum riang. Senang pertanyaan hatinya terjawab saat membuka bungkusan daun pisang yang sudah ada di depannya.
"Pas buat kucing ... hahaha... ," Seti tertawa mendengar gumaman Asri.
"Wah tiga sendok langsung habis nih Set... hihihi...," Asri tertawa lebar melihat sekepal nasi dan seiris pindang tongkol dan sejumput sambal terasi di daun pisang yang barusan dibukanya.
"Hahaha ... Kamu suka gak ?"
Asri mengangguk manja. Matanya menatap Seti sebentar. "Enak Set tempe bakarnya." Komentar Asri saat mencicip tempe bacem bakar diantara suapan nasinya.
Tak menyangka Asri menikmati suasana dan panganan di angkringan, Seti semakin memahami pribadi Asri. Tadinya dia sempat takut Asri akan menolak ajakannya nongkrong di warung angkringan.
Seti mengenal angkringan saat pertama kali berkenalan dengan Dibyo yang mengajaknya ngangkring saat malam pertamanya di kost Samirono.
Yang disukainya sejak itu adalah teh jahe, tempe bacem dan ketan yang dibakar. Harum arang kelapa membuat sensasi yang menyenangkan ketika bercampur wangi teh jahe.
Asri seperti Seti kelihatannya menikmati betul teh jahe dan ketan bakar yang baru pertama kali dicicipnya.
"Tambah As ketan atau tempe bakarnya ?" Seti menawarkan jajanan lagi, melihat isi piring yang tak tersisa.
"Ketan-nya saja Set ... Bakar lagi tapi jangan terlalu gosong ya."
Seti mengangguk. Mengambil piring dan memesan empat potong ketan lagi untuk dibakar.
"Sayangnya kalau dibungkus rasanya beda As kalau sudah sampai rumah ... Mungkin aroma asap arang itu yang membuat siapa saja betah ngangkring." Seto menunjuk irisan ketan yang dibakar dan kipas bambu yang dikipaskan tangan penjualnya.
"Teh jahenya aku juga suka Set." Kata Asri sambil menyuapkan sendok teh.
Kelihatannya Asri tak mau cepat-cepat menghabiskan teh jahe itu. Memilihnya menikmatinya sedikit demi sedikit dengan sendok.
Seti memandang bibir basah Asri yang sedang memainkan sendok itu. "Ah ... Kenapa kamu memandangku seperti itu Set ?" Asri sedikit merajuk menyadari Seti memperhatikan ulahnya.
"Ehehehe ... Kamu cantik sekali malam ini." Akhirnya Seti tak kuasa menahan kekagumannya.
"Terimakasih atas kegembiraan malam ini Set. Aku senang sekali." Asri berusaha menyembunyikan rasa melayangnya mendengar pujian Seti.
"Sama-sama As ... Aku juga menikmatinya."
Keduanya saling menatap dengan isi hati masing-masing. Isi hati yang disuarakan saat melewati Kyai dan Nyai Daru tadi.
...----------------...
Jam sembilan tepat Seti sampai di kost Mantrijeron mengantarkan Asri. Lalu pamit setelah Asri membuka pintu rumah dan tersenyum lebar ke arahnya saat Seti berjanji akan mengunjunginya dua minggu lagi.
Tak mau berlama-lama di jalan. Seti memacu si Denok ke arah Samirono. Jalan masih terlihat ramai dan macet mendekati jalan Solo.
...----------------...
Setengah sepuluh malam Seti sampai ke kost-nya. Membasuh muka di kamar mandi setelah memasukkan si Denok ke dapur sekaligus tempat parkir.
Lampu kamar Muji masih menyala saat Seti melewatinya. Terdengar suara siaran radio Geronimo dari radio kecil yang ada di kamar itu.
"Wah kayaknya kamu seneng banget Set," Muji menyapa Seti yang akan masuk ke kamarnya.
"Ah kamu juga Ji." Jawab Seti sambil melepaskan sepatu.
"Hahaha ... Mosok disuruh mumet terus."
" Gimana filemnya tadi ? Merangsang tidak ?" Seti ingin tahu komentar Muji dengan filemnya tadi.
"Oh ... top pokoknya. Telanjang tuh si Yeni. Susunya kelihatan ... hahahaha..." Muji tertawa lepas. "Nanti aku ajak kamu jika ada filem yang merangsang lagi." Lanjut Muji lagi.
Seti terbahak mendengar cerita Muji. Lalu berbaring menyebelahinya mendengarkan lagu-lagu lawas barat yang disiarkan radio Geronimo. Pas sekali didengarkan sambil mengingat kedekatannya tadi dengan Asri.
Ada setengah jam Seti dan Muji asik mengobrol di temani lagu-lagu radio itu. Merasa mulai mengantuk, Seti akhirnya berpamitan meninggalkan kamar Muji.
----------------------------
*Teplok : lampu pelita dengan minyak tanah.
*Ngangkring : nongkrong di warung angkringan.
*Sego kucing : nasi satu kepalan tangan dengan irisan pindang ikan tongkol kecil dan sambal.
*Ceret : tempat memasak air dari aluminium dengan corong di yang menempel.
*Nuwun Sewu : permisi dalam bahasa Jawa.
*Monggo : silahkan dalam bahasa Jawa.
*Cah ayu : perempuan cantik dalam bahasa Jawa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments