Pertemuannya dengar Arvin membuat ketakutan semakin tumbuh subur dihati Nara. Bagaimana kalau dia hamil? Masalah akan bertambah rumit antara dirinya dengan Reza jika hal itu terjadi. Nara awalnya sangat ragu untuk menerima Reza kembali, merasa sangat tidak pantas untuknya.
Reza malam itu sangat kelimpungan mencari keberadaan Nara, takut dia berbuat nekat karena dia memutuskan hubungan sepihak. Ketakutannya membuat dirinya tersadar bahwa sebesar itu perasaannya pada Nara. Ternyata dia tidak bisa kehilangan gadis itu. Sekarang dia ingin membuktikan bahwa dirinya adalah laki-laki yang bertanggung jawab, melawan semua perasaan rendah dirinya agar tetap bersama Nara. Dia salah telah menyia-nyiakan perasaan tulus Nara, yang tak pernah menuntutnya.
Namun setelah kejadian di café itu, Reza merasakan perubahan sikap Nara. Dia banyak diam, menghindarinya, dan tidak bersemangat dengan rencana pernikahan mereka. Apa mungkin Nara masih marah karena keputusan sembrononya dulu dan sikapnya yang plin-plan? Reza sangat mengerti kalau nanti muncul keraguan dihati Nara, makanya dia sekuat hati membuktikan bahwa kali ini dia bisa dipercaya.
“Kamu kecewa ya sama aku?” tanya Reza menatap Nara yang mengaduk bakso dihadapannya tanpa selera.
“Maksudnya?”
“Kamu akhir-akhir ini beda aja sama aku. Kamu kecewa kan sama aku karena pernah bilang putus dan mau batalin pernikahan?”
Nara tak menjawab, dia tidak tahu perasaannya sendiri seperti apa pada Reza. Dia menginginkannya, tapi ketakutan besar menghalangi perasaannya.
Setelah hampir 3 minggu semenjak Arvin menanyakan padanya apakah dia hamil, Nara tak sekalipun tertidur tenang. Dia terus meyakini bahwa dirinya baik-baik saja, tidak merasakan tanda-tanda kehamilan, dan masih menolak untuk mengeceknya.
Hari ini hatinya semakin berat setelah menyerahkan berkas pendaftaran ke KUA. Dia tidak bisa mundur lagi dari pernikahannya dengan Reza.
Tolong seseorang katakan bahwa semuanya akan baik-baik saja!
“Kamu nerima aku apa adanya kan, Za? Meskipun kadang aku berbuat salah dan mengecewakan. Kayaknya yang mengecewakan itu aku.”
“Emangnya kamu kenapa? Berbuat salah apa? Justru aku kali yang salah. Aku plin plan, insecure, ngambil keputusan tanpa pikir panjang. Padahal kamu udah berbuat banyak buat aku. Bahkan kamu beneran rela resign dari kerjaan kamu. Aku selalu nerima kamu apa adanya, Ra. Sama kayak kamu nerima aku apa adanya dan berulang kali maafin sikap aku.” Jawab Reza tenang, meyakinkan Nara. Tapi hati Nara terus bergemuruh, Reza tak tahu apa yang telah Nara perbuat. Apakah dia juga memaafkan kesalahannya yang satu itu?
“Beneran?” Tanya Nara.
Reza menggenggam tangan Nara erat, meyakinkannya bahwa dia akan selalu ada untuk Nara. Dia berjanji pada dirinya sendiri. Tak ada jalan lain selain pernikahan dihadapan mereka. 10 hari lagi dari sekarang. Kehidupan mereka akan berubah.
***
Ibu sangat bersemangat dengan pernikahan anak gadis satu-satunya itu. Dia dengan bangga mengatakannya kesetiap orang di acara pengajian sore bahwa anaknya akan menikah seminggu lagi. Apalagi calonnya adalah pemuda baik yang sangat dekat dengan keluarga mereka. Meskipun sekarang Reza bukanlah pegawai kantoran yang berpenghasilan tinggi, tapi ibunya yakin bahwa dia laki-laki yang bertanggung jawab.
Reza selalu menceritakan bagaimana dirinya mendapatkan penghasilan dollar dari internet dengan menjual jasa desain. Dia juga menceritakan bagaimana aktivitasnya sebagai pengajar disalah satu SMK swasta yang cukup bergengsi. Reza pasti bisa membuat putrinya bahagia, meskipun tidak bergelimang harta. Keuletan dan kerja keras Reza membuat hatinya tenang melepas Nara pada laki-laki itu.
Lain halnya dengan Nara yang semakin hari semakin enggan melanjutkan pernikahannya dengan Reza. Beban besar tak hilang dari hatinya. Sekarang dia malas bergerak dari kasurnya. Padahal hari ini adalah jadwal terakhir untuk meeting dengan WO dan semua vendor yang akan membantu pernikahannya nanti.
Kenapa setiap kali memikirkan pernikahan, selalu kata-kata Arvin yang terngiang? Dia akan bertanggung jawab. Arvin siap bertanggung jawab. Tapi Nara tidak siap. Tidak mau menikah dengan Arvin apalagi mengandung anaknya. Dia terus meyakini bahwa dirinya tidak hamil. Tak ada perubahan yang terjadi pada tubuhnya.
“Kok masih goleran gitu sih? Bukannya sekarang mau ketemu WO?” Kata Ibunya saat Nara masih berbaring santai di kamarnya. Ibu kemudian menghampirinya, duduk di tepian ranjang.
“Gak kerasa ya anak gadis ibu bentar lagi nikah, padahal dulu masih kecil banget. Kamu yang baik, yang nurut ya sama Reza. Ibu tuh selalu doa, biar kamu bisa nikah sama cowo baik, yang sayang sama kamu.” Kini tangan lembut ibunya membelai kepala Nara. Perasaannya semakin kacau mendengar itu.
“Bu, Aku takut.” Ucapnya lirih.
“Takut kenapa?”
“Aku takut nikah. Semakin hari rasanya aku makin ga mau nikah.” Lidahnya begitu kelu, dia ingin mengatakan hal jujur pada ibunya. Apa yang sebenarnya terjadi. Tapi sepatah katapun tak bisa dia ucapkan. Nara hanya bisa berkata bahwa dirinya sangat takut dengan pernikahan ini.
“Hussh.. gak boleh gitu. Kamu cuma stress aja karena persiapan panjang yang bikin cape. Lagian kamu takutnya kenapa? Karena Reza?”
“Aku takut kalau ternyata aku ngecewain bapak, ibu, dan Reza.”
“Kenapa ngecewain. Nara selalu bikin bangga ibu kok. Anak ibu tuh cantik, pinter, dan baik.”
“Kalau aku ternyata aku ngecewain, ibu bakal tetep sayang ga sama aku?”
“Ibu selalu sayang sama kamu.” Kata ibunya menenangkan. “Udah ah mandi! Cepetan berangkat, nanti keburu Reza ngejemput.”
***
Hampir satu jam mereka berdiskusi mengenai persiapan pernikahan dengan WO. Kali ini mereka memutuskan untuk meeting di café dekat rumah Nara. Café yang dia datangi bersama Arvin beberapa minggu lalu. Ayah Nara bersikeras ikut dalam meeting tersebut, sangat excited dengan pernikahan anak gadisnya. Sekalian cuci mata dan nongkrong seperti anak muda di café, katanya. Jadilah mereka berangkat bertiga menggunakan mobil kijang jadul milik ayahnya.
Nara sudah lama tidak naik mobil kijang tua itu, apalagi cara menyetir Reza yang kurang enak. Membuatnya pusing dan mual saat turun dari mobil. Selama meeting tersebut Nara jadi sulit berkonsentrasi. Apalagi AC di indoor kurang dingin, membuat Nara kepanasan dan berkeringat. Dia terus mengipas-ngipas wajahnya dengan kertas draft susunan acara. Pusing, mual, panas. Rasanya seperti naik bus ekonomi.
Reza dan ayahnya terus-terusan berbicara tentang keinginan mereka di pernikahannya nanti. Biasanya pengantin perempuan yang cerewet, tapi kali ini tidak. Nara ingin segera pulang karena merasa tidak nyaman. Dia mengiyakan dan mengangguk saja dengan usulan kedua laki-laki disampingnya itu. Hingga akhirnya setelah 3 jam berdiskusi mereka bisa merumuskan persiapan pernikahan nanti.
BRUUUK
Nara tiba-tiba ambruk saat berdiri dari tempat duduknya. Dia tak sadarkan diri. Padahal mereka melihat tadi Nara baik-baik saja. Segera saja Nara dilarikan ke IGD klinik terdekat untuk mendapatkan pertolongan. Setelah dilakukan tindakan, Nara sudah sadarkan diri. Namun harus tetap disana untuk dilakukan observasi lanjutan. Takut kalau Nara mengalami penyakit yang berbahaya.
Perawat mengambil sampel darah dan urin, kemudian mereka menunggu hasilnya. Ayahnya dan Reza takut Nara terkena tifus atau kelelahan karena persiapan pernikahan. Selama menunggu, ibunya datang ke klinik dengan wajah panik. Melihat kondisi anaknya yang sudah sadar dan berangsur membaik, dia jadi lebih tenang sekarang.
Hampir dua jam mereka menunggu hasil laboratorium dan penjelasan dokter. Seorang dokter muda dan tampan datang ke ranjang Nara dengan 2 perawat yang mengikutinya dibelakang. Dia tersenyum ramah kepada semua orang disana yang sedang menunggu Nara.
“Gimana? Sakit apa, dok?” Tanya ibunya khawatir.
“Gak apa-apa. Ini sih bukan sakit. Normal buat ibu hamil sesekali pingsan. Penyababnya bisa karena tekanan darahnya jadi rendah karena faktor hormon, dehirasi, atau kurang oksi—”
“Tunggu maksudnya apa, dok? Ibu hamil?” Tanya Reza bingung.
“Loh iya. Bapak suaminya, kan? Ibu Nara lagi hamil. Ini hasil tesnya positif.” Kata dokter dengan tenang.
Seperti petir yang menyambar disiang bolong. Keempat orang di IGD tersebut terdiam mendengar perkataan dari dokter. Nara bisa mendengar suara Arvin lagi ditelinganya “Lo ga hamil kan, Ra?”. Kali ini jawabannya sudah jelas. Diketahui oleh orang-orang yang takut Nara kecewakan. Tapi terlambat, mereka sudah jelas kecewa pada Nara.
Dunianya berubah gelap seketika.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 117 Episodes
Comments
Diah Ani Pratiwi
ceritanya menarik....enggak bertele" dan to the point....
2022-09-07
0
Wahyue Nie
up donk thor
2022-08-22
0
Adelia Yuswandari
seru banget ceritanya thor up yg banyak ya
2022-08-21
1