Kedatangan Arvin menghebohkan satu kantor dan menjadi bahan pembicaraan dimana-mana. Dari mulai petinggi perusahaan, staff biasa, satpam, hingga OB. Semua orang tahu tentang kemunculan si pewaris perusahaan yang gosip dan keburukannya beredar sejak lama. Si anak durhaka akhirnya mematuhi orang tuanya juga untuk mengambil alih bisnis keluarga.
Arvin merasa tidak nyaman berada di ruangan ayahnya. Dia bisa melihat semua hal yang ayahnya sukai ditempel disana. Ruangan itu seperti distempel, dikencingi, dan dibaui dengan semua hal yang berhubungan dengan ayahnya. Arvin sangat membenci laki-laki itu. Menempati ruangan bekas ayahnya membuat mood-nya terasa hancur.
“Ini dokumen yang harus Anda tanda tangani, Pak.” Ucap Nara saat masuk ke ruangan Arvin.
“Panggilin OB kesini. Gue mau barang-barang si kumis di kardusin, simpen ke gudang. Gue ga mau lihat ruangan ini berisi barang-barang yang bukan milik gue.” Kata Arvin ketus.
Nara hanya bisa diam mematuhi permintaan aneh atasan barunya. Baru saja tadi dia merasa terpesona pada laki-laki itu karena tampilan barunya. Sekarang dia sudah sebal setengah mati karena kelakuannya yang tidak bisa diduga. Meskipun enggan, Nara menelepon salah satu staff GA untuk membantunya mengerahkan OB agar bisa membereskan semua barang Candra dari ruangan tersebut.
Tanpa terdistraksi sedikitpun, Arvin bekerja memeriksa dokumen-dokumen penting yang ditinggalkan ayahnya agar dia selesaikan. Sementara disekelilinga-nya 3 orang OB membereskan rak berisi buku, dokumen, foto-foto dan piagam ke dalam kardus. Tak lupa nara terus mendampingi proses angkut barang-barang tersebut. Takut jika ada dokumen penting yang harus dia amankan.
Padahal pekerjaannya sedang sangat banyak, tapi Nara malah berakhir menyortir dokumen yang berada di ruangan Arvin yang jumlahnya ribuan. Sesekali dia ingin berbalik, memukulkan setumpuk besar berkas ke kepala Arvin.
OB sudah beristirahat makan siang terlebih dahulu, sementara Nara masih membereskan tumpukan dokumen. Menyimpannya di kotak-kotak yang berbeda. Arvin menggeliat malas dari kursinya, meregangkan ototnya yang kaku karena seharian duduk di depan komputer.
“Lo makan siang apa?” tanya Arvin tiba-tiba.
“Saya?” tanya Nara terperanjat mendengar pertanyaan Arvin.
“Ya lo lah, emang di ruangan ini ada siapa lagi selain lo? Gue nanya sama dedemit?”
“Saya belum tahu mau makan apa. Nanti saya pilih kalau ada yang saya suka dikantin.”
“Kantinnya dimana?”
“Rooftop.”
“Oke. Let’s go!” Kata Arvin sambil berdiri dari kursinya. Sambil menggeliat merentangkan tangannya keudara.
“Pak Arvin mau makan dikantin?”
“Lah iyalah. Terus dimana menurut lo? Ayo cepetan temenin gue makan siang.”
Sepanjang jalan menuju kantin, Arvin menjadi pusat perhatian. Dihari pertamanya bekerja dia sudah menimbulkan banyak pembicaraan. Entah karena semua gossip jelek tentangnya atau karena ketampanannya yang membuat banyak pegawai wanita terpesona.
Kantin seperti biasa sangat ramai, orang-orang duduk di meja-meja kecil nyaman bersama rekan-rekannya. Banyak stand makanan yang tersedia, dimulai dari makanan khas Indonesia, makanan Jepang, Korea, dan Amerika. Karyawan bisa membelinya dengan menempelkan ID card di mesin scan khusus, semuanya gratis dan disediakan perusahaan.
Sama halnya saat Arvin keluar ruangan, dikantin pun orang-orang menoleh ke arahnya, berbisik pada teman sebelahnya, dan terus memperhatikan gerak-gerik Arvin. Nara menemukan satu meja kosong agak di pojok, dari sana dia bisa melihat pemandangan kota. Langkah santai Arvin mengikuti gadis itu, duduk berdua di spot kosong.
“Yang paling enak apa?” Tanya Arvin mengedarkan pandangan pada stand makanan yang banyak seperti di sebuah acara pameran kuliner.
“Emm.. Saya gak tahu selera Pak Arvin seperti apa.”
“Makanan yang bisa dimakan.” Jawab Arvin ketus. “Gue apa aja, ga pemilih.”
“Kalau menu Indonesia, ada ayam goreng serundeng, ayam geprek, bebek goreng, nasi padang—“
“No. Too greasy.” Potong Arvin.
“Mungkin Pak Arvin mau coba soto ayam, soto Bandung, sop iga—“
“Gak, terlalu berlemak.”
“Ada set bento, ramen, bibimbap, dan tteokbokki—“
“Ga mau makanan oriental.”
Hati Nara panas. Tadi Arvin bilang kalau dia bukan pemilih untuk makanan. Tapi sekarang dia menolak semua saran Nara dan memilih-milih makanan. Nara harusnya sesekali menyiram laki-laki dihadapannya dengan kuah bakso panas agar otaknya meleleh.
“Terus Pak Arvin ingin makan makanan seperti apa?”
“Ya lo lah yang pilih.”
Tangan Nara mengepal kuat dibawah meja. Sebenarnya sudah siap memukul wajah bosnya kapan saja. Namun dengan sabar Nara tetap tersenyum ramah pada Arvin.
“Kalau begitu saya pilihkan Avocado Salmon Salad? Tidak berminyak, tidak terlalu berlemak, dan bukan makanan oriental.” Ucap Nara memberi solusi.
“Oke. Good. Gue pesen yang itu.”
Nara bangkit dan berjalan kearah stand makanan yang menyediakan menu salad yang sehat. Memesankan Arvin sekotak Avocado Salmon Salad. Dia kemudian memesan soto ayam untuk dirinya sendiri.
Dari kejauhan Arvin terus memperhatikan sekretarisnya memesan makanan untuknya. Dia juga bisa melihat orang-orang terus menatapnya tanpa henti, mungkin juga sibuk bergosip tentangnya. Arvin tidak peduli, semua hal tentang dirinya pasti sudah diketahui oleh orang-orang.
Nara kembali membawa satu nampan penuh makanan. Dengan cepat dan sigap menyiapkan makanan dihadapan Arvin. Baru dia bisa duduk menghadap makanannya sendiri.
“Si kumis suka makan disini?” Tanya Arvin sambil menyuap makanan ke mulutnya.
“Pak Candra dan para petinggi perusahaan biasanya makan di ruang kerjanya, terkadang makan di restoran di luar kantor.” Jelas Nara.
“Sok eksklusif.” Komentar Arvin.
“Kalau Pak Arvin ingin makan siang diluar, saya bisa buatkan reservasi.”
“Gak. Gue makan disini aja.”
Mereka sibuk dengan makanannya masing-masing. Arvin selesai makan lebih dulu, kemudian fokusnya teralihkan dengan permainan di handphone-nya. Dia sekarang sibuk bermain game, menunggu Nara selesai dengan makanannya. Tiba-tiba ada orang yang menghampiri dan memegang pelan pundak Arvin yang masih fokus menatap layar ponsel.
“Bang Arvin?” Tanya orang tersebut “Beneran Bang Arvin kan? Dulu Ketua OSIS SMA Pelita 1?” Lanjutnya lagi sambil terus menelisik wajah Arvin dari dekat.
“Eh… Lo Aji?” Kata Arvin sumringah ketika melihat siapa yang menyapanya. “Beneran lo si Aji tukang sound system pas pensi? Apa kabar, Ji? Lo kerja disini?” Lanjut Arvin bersemangat. Nara baru melihat ekpresi seperti itu dari atasannya. Dia seperti anak muda pada umumnya yang sangat senang bertemu rekan lama. Bukan si sombong Arvin.
“Kabar baik, Bang. Tunggu tunggu.. Lo beneran Bang Arvin, kan? Serius, kan?” Tanya Aji memastikan lagi. Dia kini duduk di kursi samping Nara. “Bang Arvin anaknya Pak Candra? Kok gue baru tahu sih lo anaknya orang kaya, padahal hidup lo dulu blangsak banget, Bang.” Kata Aji sambil terkekeh.
Nara mengangkat wajahnya menatap Arvin. Dia dulu bukan anak orang kaya? Aji salah satu teman sekolahnya tidak tahu Arvin anak orang kaya? Sebenarnya siapa Arvin dan bagaimana kehidupannya sebelum ini? Muncul banyak pertanyaan dibenak Nara tentang Arvin. Dia belum mengenal siapa bosnya ini. Bahkan kemarin saja dia tercengang dengan kemampuan Arvin menangani kerjasama dengan Indo Corp. Kalau Nara tahu banyak tentang Arvin, mungkin saja Nara bisa menangani perilaku Arvin yang sangat menyebalkan ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 117 Episodes
Comments
Mila Jamila
karyamu Thor sgt menarik 👍
aku suka 👍 🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹
2023-02-13
0
Lailatul Hawa
baca novelmu ini kayak Nemu oase di Padang pasir. kayak minum es jeruk setelah seharian puasa. legaaa... mantap!
keep your good work kakak author!!! 😘😘🤗🤗
2023-02-06
0
Ersa
baru beberapa bab baca terlihat Makin menarik nih ..lanjut
2023-01-08
0