Pada Suatu Masa
Rumah joglo di sudut kampung pinggiran kota Purbalingga yang dingin mulai hidup menjelang pagi di puncak musim kemarau Juli 1987.
Ah ... waktu cepat berlalu !
Seti masih tak percaya sudah lulus SMP setelah hingar bingar pemilu yang baru saja usai.
Tidak mudah baginya meluangkan waktu untuk membaca dan mengerjakan soal-soal latihan ujian SMP di tengah persinggungan pertamanya dengan politik di rumah joglo itu.
Teman Bapak yang entah dari mana saja datang silih berganti menjelang kampanye sampai hari pencoblosan sempat menghilangkan minat belajar Seti.
Sebentar-sebentar Ibu menyuruhnya mengantarkan kopi ke teras depan saat dirinya menyentuh buku.
Dari muda pilihan politik Bapak adalah partai berlambang Banteng. Setiap Pemilu, Bapak selalu aktif mengkampanyekan partainya. Tak heran Pemilu kemarin, rumah joglo dijadikan Posko kemenangan Partai Banteng di kampung Bapak.
Untungnya kebiasaan merangkum pelajaran sepulang sekolah yang diajarkan Nenek dipatuhi Seti. Tidak sia-sia belajar kerasnya, terbayar nilai NEM yang membuatnya diterima di SMA Negeri ternama di Purwokerto, 15 kilometer dari rumah joglo.
...----------------...
Berpatut di depan cermin lemari kuno yang ada di kamarnya, bolak-balik Seti menatap sosok berseragam putih abu-abu. Rambut ikal, kucir model Lupus menjuntai panjang sepunggung terlihat gagah di dalam cermin.
Lupus yang dikenalnya saat berlangganan majalah Hai sangat membekas di benak Seti. Anak SMA fiktif karangan Hilman Hariwijaya dengan rambut berkucir dan permen karet di mulut.
Sejak mengenal Lupus, Seti memanjangkan kucir rambutnya.
...----------------...
Merasa patut dan rapi, Seti mengikat rapi kucir rambut panjangnya, menyembunyikan hati-hati di balik kerah baju putihnya, lalu bergegas keluar kamar menemui Bapak dan Ibu yang sedang duduk dan mengobrol di teras depan.
Menemani mereka sebentar sebelum berangkatl sambil duduk di kursi jengki , menyantap serabi dan menyeruput kopi panas buatan Ibu menghangatkan suasana pagi teras rumah joglo.
Senyum Seti lebar saat Bapak memberi uang saku lebih dari cukup di tengah obrolan mereka.
Mungkin Bapak ingin menebus dosa terganggunya anak keduanya itu saat belajar di tengah keramaian politik di rumah joglo kemarin.
...----------------...
Seti dua bersaudara. Seto kakaknya sudah setahun ini berlayar. Enam tahun lebih tua darinya. Seto sangat menyayangi Seti. Tahu adiknya diterima di SMA tempat dia dulu belajar, dibelikannya Seti sepeda motor baru sebagai hadiah.
Bapak Seti supir pabrik kembang gula Davos yang ada di kampung itu. Davos adalah merek kembang gula rasa mint pertama di Indonesia.
Ibu Seti juga bekerja di tempat yang sama di bagian administrasi. Pabrik itu yang mempertemukan mereka, dan menikah di tahun 1964.
Menurut Ibu, Bapak dulu berkali-kali ditolaknya saat menyatakan cintanya dan akhirnya luluh karena kasihan kepada Bapak. Tapi menurut Bapak, justru Ibulah yang kemayu menggodanya sehingga Bapak jadi jatuh cinta.
Saling olok roman masa muda Bapak dan Ibu sering membuat Seti tertawa jika Bapak atau Ibu pura-pura ngambek di depannya, saling membenarkan kisah cinta versinya masing-masing.
Seti tidak terlalu ambil pusing siapa yang benar. Toh Bapak dan Ibu tidak pernah bertengkar di depannya, bahkan selalu bercanda di depannya.
Semuanya tampak menyenangkan di teras rumah joglo pagi itu, saat Seti berpamitan berangkat ke sekolah barunya.
...----------------...
Tak lama Seti sudah berada di atas sadel si Denok sepeda motor Honda Astrea 800 merah hadiah Seto kakaknya, meninggalkan halaman rumah joglo itu ke arah sekolah.
"I hear voices all singing But no one is there ... It's a ghost of my life ...Bringing past tense to mind ...Lockin' key inside me
From the freedom and sin...Oh come let me in ... I'll start all over again
What can I do..."
Penggalan Lirik lagu What Can I Do-nya Smokie lirih terdengar dari mulut Seti saat memasuki jalan raya. Lirik lagu yang seakan menanyakan apa yang hendak dilakukan di dunia baru SMA-nya nanti.
...----------------...
Start dari Purbalingga yang sepi dan dingin tepat jam enam pagi berkabut, melewati kerindangan kanopi mahoni besar sepanjang jalan raya Sokaraja-Purwokerto, masuk ke keramaian Pasar Wage, perempatan bioskop Srimaya dengan poster seronok filem Indianya Inspektur Vije dan Tuan Takur.
Memasuki keramaian Kebon Dalem dekat SMA-nya, tangan dan kaki Seti lincah memainkan gas dan rem si Denok menerobos sela-sela lalu lintas yang mulai menyemut. Motor dan mobil bergantian membunyikan klakson setiap ada becak yang tiba-tiba saja nyelonong memotong jalan.
Sepeda anak sekolah beriringan dengan motor dan mobil yang silih berganti berhenti menurunkan penumpangnya di depan deretan sekolah SD sampai SMA yang berjejer sepanjang Kebon Dalem sampai komplek Bruderan. Kemacetan pagi itu mengharuskan semua kendaraan berjalan pelan.
"Uuuups...," lirik What Can I Do Seti terhenti ... Dug ... si Denok menabrak mobil Kijang kotak merah di depannya. Tidak terlalu keras tetapi dirasakan pengemudi mobil itu ... ujung roda depannya menyentuh bumper mobil itu.
Mata Seti sempat bertatapan dengan pengemudinya yang memelototinya.
"Ah,... Seti ... jangan melamun," bibirnya bergumam lirih, lalu sigap mengarahkan si Denok ... kabur ke arah sekolahnya ... lepas dari pelototan tadi.
...----------------...
Jam enam seperempat, Seti celingukan di gerbang depan SMA-nya, tidak ada sosok yang dikenalnya. Si Denok diajaknya berputar ke arah gerbang belakang.
Memarkir si Denok, berjalan menghampiri anak-anak berseragam baru yang dilihatnya asik mengobrol di depan warung seberang jalan gerbang belakang SMA. Tulisan warung Bango besar terpampang di atas atap sengnya yang sudah berkarat.
Siapa tahu ketemu teman SMP pikir Seti, toh Penataran P4 pola 45 jam baru dimulai jam tujuh nanti. Masih ada cukup waktu untuk nimbrung ngobrol.
"Setiiiii...!!!" Suara seorang bocah terdengar dari dalam warung. Suara yang sangat dikenalnya di SMP.
"Joeeeee...!!!" Balas Seti girang setelah menengok ke arah panggilan tadi.
Dari dalam warung seorang anak melambaikan tangan. Segelas kopi panas yang masih mengepul ada di depannya. Harum kopi pagi menusuk hidung Seti yang masih tercampur embun pagi saat mendekat.
"Satu SMA juga ternyata," Joe menepuk pundak Seti, "Join kopi Set," tangannya menyorongkan gelas ke arah Seti.
"Yups, ... senang juga ketemu lagi di sini. Aku pikir kamu gak diterima," ledek Seti kepada sahabatnya itu sambil menyeruput kopi yang ditawarkan.
Enak juga kopi tubruk warung Bango puji hati kecil Seti. Tapi masih lebih pas kental dan pahitnya kopi buatan Ibu yang selalu diseruputnya diam-diam ketika Bapak mandi.
Saat kelas 3 SMP dulu, Seti duduk sebangku dengan Joe. Bocah pecicilan seperti dirinya, tidak terlalu ganteng, tapi juga gak jelek-jelek banget.
"Moga-moga kita satu kelas lagi Set," ujar Joe.
"Ah malas, aku pindah kelas kalau bareng kamu lagi," jawab Seti sekenanya.
"Kamu kualat loh ... mendahului takdir Tuhan Yang Maha Esa," lanjut Joe.
"Kita ditakdirkan bertemu, untuk tidak selalu harus bersama ... karena akan berbuat dosa ..." Seti terbahak, diikuti gelak anak yang lain mendengar obrolan ngalor ngidul Seti dan Joe.
...----------------...
Tiba-tiba mobil merah berhenti di seberang jalan, tak jauh dari keriuhan warung itu. Seti terperanjat mengenali mobil itu di tengah senda guraunya.
"Aduh ... itu mobil yang tadi kutabrak ... Apa yang bawa mobil itu paham aku sekolah di sini ya ? Mosok cuma gara-gara kesenggol sedikit berlanjut berantem di sini ?" Perasaan hati Seti mulai tidak karu-karuan.
Belum hilang kegelisahan hati Seti. Pintu depan mobil itu terbuka ... Tatapan Seti tak lepas dari sosok semampai yang turun dengan sepatu kets putih, rambut hitam panjangnya terurai berayun kiri kanan persis bintang iklan shampoo di tivi saat memasuki gerbang belakang SMA itu.
"Oh ternyata hanya mengantar anak SMA ini juga. Tidak ada urusan dengan senggolan dan saling pelotot tadi, ..." Lega hati Seti tak lama setelah mobil merah itu perlahan meninggalkan komplek SMA.
Dan suasana warung Bango bertambah riuh. Bercanda sesama teman lama, bertukar cerita dengan teman baru sangat menyenangkan.
Bingkai jendela putih biru Seti tertepikan bingkai jendela putih abu-abu ...
...----------------...
"Teeeeet...teeet...teeet !!!" Bunyi bel sekolah mengingatkan Seti dan Joe untuk bergegas dengan yang lain memasuki aula SMA. Tempat penataran P4 yang akan dimulai pagi itu.
Aula besar peninggalan tahun 50-an itu megah dengan pilar yang menjulang kokoh dengan tembok tebal bercat putih susu di sekelilingnya. Kusen-kusen pintu dan jendelanya tinggi lebar, terbuka mengalirkan udara segar pagi.
Berdesakan saat masuk aula, Seti terpisah dari Joe. Dilihatnya kursi deretan belakang sudah penuh terisi anak laki-laki. Maju ke depan, Seti mencari tempat duduk yang kosong.
"Wah gak seru nih, nampaknya mereka terlalu kaku dan serius banget." Pikir Seti sambil menebak-nebak wajah asing di samping kiri dan kanannya setelah mendapatkan tempat duduk di deretan depan.
Seorang kakak kelas yang jadi panitia pengawas mulai sibuk membacakan aturan dan sanksi selama penataran.
Namanya saja kakak panitia pengawas, yang laki-laki sok galak di depan murid laki-laki tapi genit kalau ngatur murid perempuan.
Kakak panitia pengawas yang perempuan ? Jangan ditanya ... sangat kejam kepada semua juniornya ... "Jangan tolah toleh dek ... !" Belum apa-apa Seti sudah kena semprot kakak pengawas perempuan waktu mau menengok ke belakang.
"Sialan... begini rasanya jadi murid kelas satu." Seti bersungut-sungut dalam hati.
...----------------...
Tak berapa lama penataran P4 dimulai setelah kegaduhan suara kursi berhenti. Seti mulai mendengarkan materi sesi itu, walau hatinya masih kesal dengan teguran kakak kelas pengawas sok berwibawa tadi.
"Ekaprasetia Pancakarsa berasal bahasa Sansekerta, eka yang artinya satu atau tunggal, prasetia yang artinya janji atau tekad, panca yang artinya lima, dan karsa yang artinya kehendak...," penjelasan tentang maksud dan tujuan penataran P4 terdengar jelas dari loudspeaker di ujung aula.
"Sehingga Ekaprasetia Pancakarsa artinya janji atau tekad yang bulat untuk melaksanakan lima kehendak dalam kelima sila Pancasila..."
Silih berganti kata Pancasila keluar dan masuk telinga Seti. Rasa bosan dan kantuk mulai menggodanya.
...----------------...
Lirik kanan kiri ... tangan Seti merogoh masuk ke saku kanan celananya mencari sesuatu. Lalu pindah ke saku kiri. Berpindah ke dalam tas di sampingnya, sambil tetap waspada tengok kanan kiri menghindari tatapan bengis kakak pengawas ... tidak ketemu juga yang dicari.
Diam sejenak, Seti mencoba mengingat-ingat di mana permen Davos yang disimpannya tadi.
Pandangan Seti akhirnya tertuju pada bungkusan bundar biru yang sangat dikenalnya.
Tergeletak di bawah kursi depan tidak jauh dari tempatnya duduk. Tulisan putih Davos di kemasan biru terlihat jelas di sana. Rupanya si Davos terjatuh saat coba dikeluarkan dari saku, menggelinding ke depan.
Perlahan Seti menjulurkan kakinya dengan hati-hati, pelan-pelan digesernya dengan ujung sepatu.
Mencoba mendekatkan permen tadi ke tempatnya duduk. Waspada lirik kanan kiri memperhatikan pandangan kakak kelas yang menjadi panitia pengawas.
Susah payah Seti mendekatkan permen incarannya tanpa menyadari sepasang mata bening memperhatikan tingkahnya dari belakang tempatnya duduk ...
...----------------...
Dirasa aman dari jangkauan pengawasan kakak kelas, Seti sengaja menjatuhkan ballpoint di tangannya, merunduk untuk mengambilnya dan tentu saja sekalian dengan permen incarannya yang sudah ada di sebelah bawah dia duduk.
Meraih secepatnya... dan dirasakannya ada yang menendang dari arah belakang ... Davos dalam genggaman terlepas ... menggelinding menjauh sampai ke depan, dan sialnya tepat di hadapan kaki kakak kelas pengawas sok berwibawa yang kebetulan melintas.
Wajah kakak kelas pengawas menjadi menakutkan setelah memungut permen Davos yang menggelinding di depannya.
Berbisik dengan kakak kelas pengawas yang lain, mata mereka tertuju pada Seti yang mulai berkeringat dingin.
"Setan ... modar aku," gumamnya lirih. Untungnya kakak kelas pengawas sepertinya tidak terlalu peduli dan mengalihkan tatapan kejamnya.
"Huuuuft ..." Nafas panjang Seti terhembus... lega hatinya.
Di belakangnya terdengar suara cekikikan seakan mentertawakan atraksi sulap ballpoint jadi permen Seti yang gagal. Seti tidak berani menengok ke belakang, takut kegaduhan memancing kakak pengawas mendatanginya.
Jengkel bercampur penasaran kepada bocah di belakang yang terang-terangan berani menjahilinya, kantuk Seti hilang seketika. "Lihat saja nanti selepas sesi ini, tak ajak berantem kamu." Ancam Seti dalam hati.
...----------------...
Seti bukan tipe bocah pemarah, dia mudah bergaul, tetapi juga bukan bocah penakut. Dirinya akan meledak jika ada anak yang belum dikenalnya dirasa menantang.
Saling menatap atau olok-olok antar suporter tim voli SMP dulu bisa membuat sumbu ledak perkelahian bebas.
Tentu saja berkelahinya bocah SMP secara fair. Satu lawan satu tidak liar model keroyokoan atau pakai senjata. Berhenti karena sama-sama ngos-ngosan atau ada yang ngaku keok.
Jika kebetulan ada yang melintas dan membentak membubarkan perkelahian , para bocah petarung itu akan tunggang langgang lari bareng atau berboncengan sepeda, menyusul suporternya yang sudah lebih dulu kabur.
"Siapa setan ini ... " Gerutu Seti dalam hati. Materi penataran sama sekali tidak dihiraukannya lagi. Seti menghela nafas panjangnya tak sabar menunggu bel istirahat untuk melampiaskan kejengkelannya.
...----------------...
"Teeeet...teeeet...teeet ..." Waktu istirahat yang dinanti Seti akhirnya terdengar mengakhiri sesi Ekaprasetia Pancakarsa.
Tak menunggu lama, Seti berpaling ke belakang, mencoba mencari tahu siapa bocah yang sengaja menjahilinya tadi.
"Davos ni yeeee... hihihi..." Suara bocah perempuan mengagetkan Seti.
Jantung Seti berdebar hebat... Beradu pandang dengan sepasang mata bening... Takjub seperti melihat kejora di saat fajar.
"Ah ... kupikir laki-laki ... " Hati Seti bergemuruh.
Tatapan kejora bocah perempuan semampai bersepatu kets putih membuat Seti terpaku ... Jengkelnya hilang terbang entah kemana ... Kegarangan macan Seti melembut menjadi kucing meyong rumahan.
Sepasang mata bening itu terus menatap Seti, bibir tipisnya yang basah terus mentertawakan Seti yang tak bisa bergeming ... "Oh my God ..." Rasa aneh itu tiba-tiba hinggap entah dari mana datangnya ...
...----------------...
"Sumpah mati ... Bocah perempuan di mobil Kijang merah yang tadi pagi berhenti di depan warung itu sangat cantik Joe," cerita Seti berapi-api kepada Joe saat bersama-sama pulang. "Tapi juga sangat menjengkelkan." Sambungnya mengeluhkan kejahilan si sepatu kets putih.
Alih-alih kantuk hilang menikmati semriwing-nya Davos. Kantuk Seti hilang karena ulah si sepatu kets putih yang membuatnya meradang.
Sepanjang jalan, Seti terus menggerutu mengungkapkan kekesalannya tadi kepada Joe yang diboncengnya.
"Untung saja kakak pengawas tidak menghiraukan siapa yang menggelindingkan permen tadi, coba kalau kalau aku ketangkep ... dituduh membuat gaduh, meresahkan, makan permen di aula ... Waduh .... apa aku gak disuruh ngulang tahun depan ?" Seti masih nyerocos.
Joe terbahak menanggapi cerita Seti.
"Harusnya kamu langsung comot kakinya Set ... biarkan dia meronta dan merintih meminta ampun padamu ... Sejak kapan pria dijajah wanita ?"
"Mana aku tahu itu kakinya ... kalau kaki sesama jenis ?"
"Embat aja ... jenis kelamin tidak terlalu penting, yang penting kasih sayang." Jawab Joe sekenanya, mencoba menghilangkan kekesalan hati Seti.
Keduanya terbahak bersama sepanjang jalan saling mengolok akrab ... Indahnya warna warni hari pertama SMA.
-----------------
*Joglo : rumah adat Jawa dengan atap berbentuk gunungan.
* Kursi Jengki : kursi kayu dengan sandaran tangan melengkung sampai bawah.
* Hai : majalah remaja mingguan 1977-2017.
*Kemayu : sok cantik dalam bahasa Jawa.
*Kets : jenis sepatu sneaker yang diucapkan dari merek keds yang terkenal.
*Obrolan ngalor ngidul : obrolan tidak jelas.
*P4 : Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments
Maria_dwi90
serasa di bawa ke masa lalu..keren
2023-08-12
1
Setia R
tonton iklan 1x untuk mu!
2023-08-04
1
Setia R
waduh, tukang nonton India juga, tampaknya, author ku ini
2023-08-04
1