Perdebatan geng Warung tentang lagu Duran-Duran tidak dihiraukan Seti yang duduk di sudut meja warung Bango.
Menikmati kopi di sela-sela istirahat jam sekolah lebih mengasikkan Seti menjelang kenaikan kelas Dua-nya yang tinggal beberapa hari lagi.
Tidak ada persoalan pelajaran di kelas Fisikanya. Sepertinya Seti sudah yakin dengan persiapan test nanti.
Persiapan Kerjurnas yang tinggal beberapa bulan lagi, juga dirasa Seti sudah cukup. Bahkan dirinya sudah tak sabar menunggu petualangannya di Jakarta nanti yang belum pernah dikunjunginya.
Kota Ibukota yang kata orang penuh dengan keramaian dan kesibukan yang selama ini hanya dilihatnya di TVRI.
Masih menikmati kopinya, Seti membuka surat terakhir Seto sejak keberangkatannya hampir satu tahun yang lalu. Biasanya rutin setiap bulan mereka berbalas surat. Baru sekarang Seti sempat membacanya setelah diterimanya kemarin siang.
Lega membaca kabar Seto baik-baik saja, Seti memasukkan surat itu ke dalam tas saat melihat Joe melompati tembok sekolah, berjalan ke arah warung Bango.
Gerbang sekolah yang terkunci tak bisa menghalangi anak-anak SMA itu berkeliaran ke warung Bango saat istirahat. Tempat aman untuk belajar menjadi dewasa dan favorit untuk belajar merokok.
Tampaknya suasana hati Joe sedang baik. Senyum tipisnya terlihat saat masuk mendekati Seti. Dari Joe-lah Seti kadang mendengar kabar Hening yang kebetulan sekarang satu kelas di kelas Biologinya.
"Rokok sebatang pak," seperti biasa Joe membeli rokok ketengan di warung itu. Lalu menghampiri Seti.
"Kenapa cengar-cengir Joe ?" Tanya Seti.
"Ada kabar baik untuk kita Set,"
"Kita ?"
"Ya ... Nanti malam Hening berulang tahun ke-tujuh belasnya... Janya aku dan kamu yang diundangnya."
"Diundang ke mana ?"
"Ya ke rumahnya-lah." Kata Joe, "Kamu datang kan ?"
Ah rumah jengki lagi, gumam Seti dalam hati. Teringat saat-saat terakhirnya mengunjungi rumah itu bersama Seto.
"Entahlah ... ," jawab Seti pelan.
Ada rasa segan mengunjungi rumah itu lagi. Bukan ketidak inginannya bertemu Hening dan Bening. Hanya teringat hubungan Seto dan Bening yang kandas membuat Seti memikirkan undangan itu.
"Datanglah ... Hening sendiri yang tadi menyuruhku untuk memanggilmu," pinta Joe.
Sebenarnya sejak pertemuan dirinya, Seto dan Bening di rumah itu, Seti tidak mau terlibat terlalu jauh lagi dengan rumah jengki. Teringat kata-kata Seto yang mengatakan dirinya dan Bening berpisah baik-baik sepulang dari rumah itu.
Kekuatiran Seti hanya memikirkan adakah Asri di sana ? Bagaimana jika Asri ada di sana bersama Joko ?
Sejak kenaikan kelas, tidak pernah lagi ditemuinya mereka, walaupun kabar tentang Asri juga sering didengarnya dari Joe.
"Baiklah ... Nanti jam tujuh kita berangkat dari rumahmu." Akhirnya Seti memutuskan untuk datang. Berharap tidak ada persangkaan lagi di rumah itu.
Hati kecil Seti masih menyalahkan rumah itulah penyebab Asri menghindari bertemu dengannya.
"Nah ... lets go party ..." Joe girang mendengar jawaban Seti.
...----------------...
Sepulang sekolah dan mengantar Joe. Rasa rindu kepada Asri dan Hening muncul di hati Seti. Disesalinya kesibukan dojo yang menepikan rasa itu.
Tak tahan dengan perasaan itu lagi, Seti memutuskan ke rumah Asri dulu sebelum pulang ke rumahnya. Tak mau berlama-lama dengan segala macam persangkaan Asri kepada dirinya lagi.
Kalau saja tidak ada undangan Hening tadi, belum tentu ada pikiran dan keberanian Seti untuk menemui Asri. Egonya tertepis rasa rindu.
...----------------...
Mengetuk berulang-ulang pintu rumah gedung Sokaraja, jantung Seti berdegup kencang saat terdengar ada yang membukakan pintu.
Mata bening kejora itu menatap Seti. Masih dengan seragam putih abu-abunya. Terlihat cantik dengan rambut yang disanggulnya. Ada raut yang entahlah di wajah Asri. Tak menyangka Seti yang mengetuk pintu.
"Selamat siang As ...." Seti mengucap salam. Masih saling berhadapan di antara pintu masuk.
"Siang,"
"Boleh aku singgah ?" Lanjut Seti lagi. Ada nada keraguan Asri tak mau menerima kedatangannya.
"Masuklah ... " Kali ini tak ada nada riang dari Asri seperti dulu.
...----------------...
Ruang tamu terasa dingin ketika Seti duduk berhadapan dengan Asri. Masih ada ego diantara mereka untuk memulai percakapan setelah tidak saling menyapa sekian lama.
Ujian kepribadian itu dimulai ... Ujian tentang empati. Tentang bagaimana memahami perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain. Tentang bagaimana ucapan dan tingkah laku yang tidak melukai orang lain.
"Marahkah kamu padaku ?" Berhati-hati Seti memulai percakapan. Meraba suasana hati Asri.
"Menurutmu ?" Asri bertanya balik.
"Menurutku kamu marah padaku,"
"Dari mana kamu tahu ?"
"Jawab dulu ... Marahkah kamu padaku As ?"
"Tidak," Asri mencoba menutup-nutupi rasa yang disembunyikan dalam hatinya.
Rasa ingin memiliki Seti, rasa ingin menjauhkan Seti dari Hening. Inikah cemburu ? Inikah jatuh cinta ? Banyak pertanyaan mendadak muncul di antara jawabannya.
"Lalu kenapa dulu kamu tidak datang di perpisahan kelas Satu Delapan ?" Mata Seti memandang tajam mata Asri. Mencoba mencari tahu lagi persangkaan Asri.
"Tidak apa-apa," mencoba menutupi sesuatu, Asri menghindari tatapan Seti.
"Jujurlah As, aku tak mau pertemanan kita terganjal suatu persangkaan,"
Ada lima menit keduanya terdiam lagi.
"Marahkah jika aku menjawabnya jujur ?" Tanya Asri setelah keterdiaman tadi. Tak tahan dengan perasaan yang dipendamnya.
"Kenapa harus marah jika itu menghilangkan semua persangkaanmu padaku As," keduanya kembali bertatapan. Masing-masing mencoba mencari argumen kata-kata yang menyejukkan.
"Apa sebenarnya yang akan kamu ucapkan saat mengajakku ke saung dulu Set ?" Kali ini Asri yang ingin mencari tahu.
Tak menyangka Asri menanyakan kembali isi hatinya yang akan diucapkannya dulu. Seti terdiam sejenak. Memikirkan dalam-dalam apa yang akan dikatakannya. Apalagi teringat janjinya kepada Hening untuk lebih memilih pertemanan dengan keduanya.
"Biarkan aku lebih tahu lagi tentangmu As ... jangan menjauh dariku lagi, maka kelak akan kuucapkan kata-kata itu ..."
Masih saling bertatapan, lalu ada senyum di bibir Asri. Mengangguk memberi kode ruang hatinya kepada Seti.
Anggukan Asri melegakan hati Seti. Selendang Nawang Wulan tak perlu dicurinya untuk memaksakan kehendak.
Ruang tamu itu menghangat setelah semua persangkaan menjadi terang.
"Eh Hening ulang tahun loh," tiba-tiba Asri mengalihkan pembicaraan setelah kelegaan hati dan tawa keduanya muncul kembali.
"Kamu diundang ?" Tanya Seti berpura-pura tidak tahu.
"Iya ... Nanti malam aku ke rumahnya bareng mas Joko," jawab Asri," Kamu diundang kan ?" Sambung Asri.
"Tadi Joe mengajakku ke sana ..."
"Datang ya biar rame," kali ini suara Asri riang.
"Aku usahakan,"
Keduanya tersenyum.
...----------------...
Mengharap sesuatu tanpa melakukan apa-apa adalah percuma. Tidak akan ada kebahagiaan di situ. Nasihat Bapak melintas, saat Seti meninggalkan rumah Asri.
Kebahagiaan Seti bukan tentang anggukan Asri, tetapi lebih kepada senyum Asri yang dilihatnya lagi. Kali ini Seti berharap melakukan sesuatu yang benar.
Say you, say me
Say it for always
That's the way it should be
Say you, say me
Say it together, naturally ...
Si Denok meliuk pelan mengikuti nyanyian Say you Say me-nya Lionel Richie yang keluar dari mulut Seti.
...----------------...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments