7. Persinggungan Keempat

Sabtu, 29 Mei 1988

Sehabis lebaran ini aku mau beli buku ... Ibu sudah mengijinkan aku membawa motor ... Aku bahagia

Asri berdandan sederhana setelah menyimpan rapi diary-nya. Memakai celana panjang jeans Tira, kaos kerah Oshela, ... rambut hitam legam panjangnya disanggul rapi.

Mengeluarkan motor dari garasi, bersiap menjemput Hening ke toko buku.

Belum jauh dari rumah, Asri menyadari ban depan motornya kempes.

Motor merah yang berhenti di sampingnya mengejutkan Asri yang sedang menuntun motornya ketika akan berbalik ke arah rumah.

"Sini kubantu," sapaan sosok bocah berkucir, dengan baju flanel kotak-kotak, jaket melingkar di pinggang membuat Asri menengok ke arah sapaan itu. 

Mengamatinya sejenak, ... lalu tersadar siapa sosok itu.

"Ah kamu Set ? ... Kupikir siapa," Asri membalas sapaan Seti yang menyebelahinya.

Seperti masih tak percaya Seti ada di depannya ... Kucir panjang yang dilihatnya sempat membuat Asri sedikit ragu siapa sosok yang menyapanya barusan.

"Sini biar aku saja, ... " menyetandar si Denok, tangan Seti memegang setang motor Asri ... "Mau dibawa ke bengkel tambal ban ?" Lanjutnya setelah motor Asri ada di tangannya.

"Gak usah, biar kubawa pulang saja,"

"Biar motormu kudorong sampai rumahmu ... Kamu bawa dulu motorku," Seti mengulurkan kunci si Denok pada Asri.

"Kamu tahu rumahku ?"

"Bukankah aku pernah bercerita sudah tahu rumahmu ? Rumah gedung putih yang ada garasinya kan ?"

Mengangguk, Asri menaiki si Denok. "Beneran aku jalan dulu ?" Lanjutnya dengan nada ragu.

"Yups ... Sudah, kamu jalan sajalah dulu."

Perlahan Asri menjalankan si Denok mendahului Seti ... Sekilas ada senyum di bibir Asri ...

...----------------...

Sekitar lima menit kemudian, Seti sampai ke rumah gedung itu. Di teras samping, Asri dilihatnya sudah menunggunya.

"Akhirnya kamu mau ke rumahku," kata Asri, "Duduklah dulu, kubuatkan minum," sambungnya lagi.

"Air putih saja As, jangan merepotkan," mata Seti takjub memandang Asri yang semakin cantik bersanggul rapi ... Terlihat seperti gadis dewasa.

"Beneran air putih ?" 

"Bener, ... lagipula aku mau ke rumah Nenek," 

"Kenapa terburu-buru ?" Ada nada kecewa di jawaban Asri ... Hati kecilnya berharap Seti mau lebih lama lagi bersamanya.

"Uuuh ... kenapa nadanya seperti itu ?" Hati kecil Seti terusik ... Takut ada sesuatu yang salah dengan polahnya, Seti menimpali, "Aku tidak mengganggumu kan ?"

"Tidak, ... duduklah ...,"

Seti duduk, membiarkan Asri mengambilkan air minum. 

"Ah tak terasa sudah hampir satu tahun aku mengenalnya ... Kenapa baru kali ini aku singgah di rumahnya ? Kenapa tak kuberanikan menemuinya dari dulu ?" Hati kecil Seti terus menyalahkan rasa ragunya selama ini.

Tak berapa lama Asri muncul di hadapannya. Dua gelas air dingin dan camilan diletakkan di meja. 

Duduk berdampingan, ada lima menit tak ada percakapan di antara mereka. Masing-masing memikirkan apa yang akan diucapkan, ... hanya saling mencuri pandang.

"Sepi ?" Tak tahan Seti membuka obrolan.

"Sedang keluar semua ke kantor Bapak. Sabtu ini ada silaturahmi dengan karyawan setelah lebaran kemarin,"

"Oh ... maaf lahir batin As," teringat masih suasana lebaran, Seti menyalami Asri, "Mau ke mana tadi ? Kulihat kamu menuntun motor," lanjut Seti setelah bersalaman.

"Ke tempat Hening, janjian ke toko buku,"

"Kamu batalkan ?"

"Entahlah, ... mungkin menunggu mas Joko pulang biar mengantarku,"

"Mau kuantar ..?" 

Dua pasang mata itu beradu pandang ... Jantung keduanya berdebar keras.

Ada nada sejuk di teras rumah itu saat Asri menjawab ajakan Seti. "Asal tidak merepotkanmu Set ..."

...----------------...

Seti mengetuk pelan pintu rumah jengki . Menunggu pintu rumah itu terbuka, masih diingatnya seperempat jam berboncengan dengan Asri ke rumah itu. Tidak terlalu rapat, tetapi dinikmatinya. 

Ada rasa bangga di hatinya setiap melihat laki-laki yang berpapasan memperhatikan kecantikan Asri yang membonceng.

Mengetuk sekali lagi ... Tak berapa lama bocah berponi setengah dahi itu muncul. Hening terlihat cantik dengan kaos putih dan rok jeans span di atas lutut sore itu. Terlihat rona keterkejutan di wajahnya melihat kedatangan Seti bersama Asri

"Oh kalian rupanya ... kenapa bisa bareng ?" Hening menyapa Asri dan Seti.

Bersalaman dan bermaafan sejenak setelah libur lebaran menghilangkan kecanggungan di teras rumah jengki.

"Mari masuk ..." Mendahului keduanya, Hening masuk, ... berjongkok memberesi cat minyak dan kanvas yang berserakan di ruang tamu. 

Sketsa dua ayam jago bertarung terlihat di kanvas yang ada di ruang tamu.

Selama liburan lebaran kemarin Hening mencoba memulai lukisan itu.

Lukisan ayam jago wiring kuning yang gagah menyarangkan tajinya ... Mengingatkan pertarungan Seti saat menolong Bening kakaknya dulu.

Asri mendekati Hening yang masih sibuk berberes.

"Ban motor bocor Hen, ... kebetulan Seti lewat," kata Asri. 

Ikut berjongkok, Asri membantu membereskan alat lukis yang berantakan.

"Oh ... ,"

"Lalu aku di antarnya ke tempatmu." Ada nada senang di bibir Asri. Seolah memanasi hati karibnya.

Tak mau mengganggu kesibukan keduanperempuan itu, Seti menjauh ke arah dinding. Memperhatikan lukisan Mercu Suar yang masih ada ditempatnya. 

Pikirannya bercabang ... "Duh Gusti ... Dua dewimu menggulungku dalam badai  pusaran kecantikan dewi-dewi kahyangan... Aku harus bagaimana ?"

...----------------...

"Jadi ke toko buku Hen ?" Suara Asri membuyarkan pikiran Seti. Ruang tamu sekaligus studio Hening sudah terlihat rapi.

"Jadi ... Kita jalan kaki saja lewat gang samping rumah, tidak jauh dari sini," Hening menjawab. 

Asri melirik ke arah Seti ... Berharap dia akan menemani.

"Ikut ya Set, ... temani kami." Seakan tahu pikiran Asri, Hening mengajak Seti.

Yang diajak mengangguk. Tak bisa menolak ajakan dua bocah cantik beranjak gadis yang sungguh membuatnya tak tahu harus bagaimana. 

Di dekat mereka, Seti seperti air yang mendingin menjadi es ...

...----------------...

Meninggalkan catatan ke Bening yang sebentar lagi pulang kerja. Hening lalu mengunci pintu rumah jengki, menyusul Seti dan Asri yang sudah menunggunya di halaman. 

Dua karib itu bergandengan di depan. Seti mengikuti di belakangnya. Sepanjang lorong gang terdengar nada riang celoteh ketiganya.

Memasuki trotoar komplek pertokoan selepas gang kecil, tak henti mereka menengok ke arah gerai dan etalase toko-toko pakaian.

Berkomentar tentang jajanan enak kaki lima yang dilewati, tertawa memperhatikan manekin pakaian dalam yang terlihat menyolok, dan berakhir di rak-rak penuh buku tujuannya.

Tumpukan buku-buku itu sejenak menghilangkan perasaan-perasaan aneh dalam benak Seti, Asri, dan Hening. Ketiganya menikmati hausnya mencari tahu pada deretan judul-judul buku dengan cover-nya yang menarik perhatian. 

Sabtu sore itu terlihat menyenangkan ketiganya ... 

...----------------...

Jam setengah delapan malam. Meninggalkan toko buku, Seti teringat jaketnya yang tertinggal di loker penitipan barang.

"Jaketku tertinggal, ... kalian jalan saja dulu. Nanti kususul," Seti berbalik ke arah toko Buku. 

Asri dan Hening menoleh ke arah Seti yang sudah berlari kecil, ragu antara menunggu atau meninggalkan Seti di depan gang kecil menuju rumah jengki. 

...----------------...

Sedikit gelap karena lampu jalan yang mati, dan tak terbiasa melewatinya di malam hari, membuat Hening mengajak Asri menunggu Seti di mulut gang itu. 

Dari jalan besar, tiga pemuda tanggung bertato terlihat menyeberang, mendekati Hening dan Asri yang sedang menunggu Seti.

Asri merapat ke arah Hening, risih dan takut ketika salah seorang diantaranya mulai menggoda ketika mendekat.

"Ehem ... kok gelap-gelapan," yang bertato naga mulai usil. Matanya jelalatan semakin membuat tidak tenang Asri. 

Saling merapat, Hening dan Asri hanya diam saja memandangi ketiganya. Mulut gang yang sepi dan gelap membuat mereka semakin berani menggoda. 

Asri menepiskan tangan yang mencoba menyentuh dadanya.

Kalau sebatas kata-kata godaan atau siulan usil, Asri dan Hening sudah terbiasa mendengarnya dan tak dipedulikan.

Tapi kali ini, tangan usil yang mencoba menyentuh membuat mereka saling merapat risih dan ketakutan.

"Yuk malam mingguan bareng kami saja," yang bertato macan mulai ikut-ikutan. Matanya semakin liar menatap Asri. "Cantik-cantik kok jalan kaki..." Ujarnya lagi.

Hening menyeret tangan Asri, mengajaknya meninggalkan tempat itu. Salah seorang dari mereka menghalangi jalannya, mencoba menyentuh dadanya lagi. 

...----------------...

Asri hampir berteriak panik ketika dilihatnya Seti berlari mendekat ke arah mereka dari kejauhan.

"Mas tolong jangan ganggu temanku ..." Seti mengingatkan tiga orang itu setelah mendekat. 

Menarik Hening dan Asri ke arah belakangnya. Seti mencoba menjauhkannya dari tangan-tangan yang mulai bergerayangan kurang ajar.

Berdiri di depan Hening dan Asri, mata Seti saling menatap dengan tiga orang itu.

Merasa perkelahian tak bisa dihindarkan Seti melangkah mundur. Jaketnya perlahan diberikan ke Asri. 

Yang bertato macan sepertinya merasa tersinggung dengan kata-kata dan tatapan Seti. 

Mencoba mendekati Seti hendak mencengkeram kerah bajunya. Tangan Seti mudah menepiskan cengkeraman itu. Saling tatap semakin memanas. Hawa perkelahian mulai terasa.

"Maaf mas, kami hanya numpang lewat saja ... tidak bermaksud membuat ribut." Menelungkupkan dua telapak tangannya, Seti mencoba meminta maaf, masih mencoba menjauh lagi perlahan. 

Di belakangnya, Hening dan Asri mengikuti langkah Seti saat tiba-tiba saja salah seorang dari mereka mengayunkan pukulan ke muka Seti yang sedang melangkah mundur. 

Pukulan itu keras, tetapi kaki Seti lebih cepat. Tendangan lurus Seti tepat mengenai ulu hatinya, membuatnya mengaduh dan jatuh terduduk.

Seti melepaskan genggaman tangan Hening dan Asri saat dua orang lainnya mencoba membantu temannya yang jatuh terkena tendangan Seti.

Yang bertato macan meloncat menerjang Seti, lalu jatuh terpelanting terkena tendangan Seti yang berputar mengenai kepalanya. Satunya lagi terhuyung terkena pukulan di dagunya.

Tidak menyangka lawan yang dihadapinya secepat itu membalas dan menyakitinya, ketiganya merangkak menjauhi Seti. 

Tak berani menatap Seti, yang sudah bersiap  melawan lagi.

Perlahan Seti mundur meninggalkan mereka. Matanya masih tajam mengawasi lawannya.

Keributan dan perkelahian itu tidak lama, tetapi membuat Hening dan Asri pucat pasi.

Baru kali ini mereka berdua melihat perkelahian dengan jarak yang sangat dekat. Suara tendangan dan pukulan Seti yang terdengar jelas mengena semakin menambah ketakutan mereka.

"Sudah, ayo kita pergi !!!" Setengah berlari, Seti menarik Hening dan Asri cepat-cepat meninggalkan gang gelap itu sampai ke halaman rumah jengki. 

Seti menyuruh Hening dan Asri segera masuk ke dalamnya.

Tanpa perlu mengkuatirkan Asri dan Hening lagi. Seti berbalik, bergegas kembali ke mulut gang tempat perkelahian tadi. 

Hawa bertarungnya terlihat jelas dari sinar mata berkilat dan rahangnya yang keras mengatup.

...----------------...

Mulut gang gelap itu sepi, tak ada siapapun. Penasaran, Seti berkeliling di sekitarnya. Seti meninggalkan tempat itu setelah dirasanya tiga orang itu sudah pergi. 

Ketegangannya mereda. "Kenapa selalu saja ada perkelahian jika aku singgah di rumah jengki ?" Hati kecil Seti bertanya-tanya di sela-sela langkah kecilnya ...

...----------------...

Di ruang tamu, Hening dan Asri masih duduk berhimpitan. Raut ketakutan dan kekuatiran di wajah mereka masih terlihat. 

Bening yang baru pulang kerja terlihat memeluk mereka, mencoba menenangkan. Ketiganya menarik nafas lega saat Seti menampakkan diri tak lama kemudian.

"Aku antar kamu pulang dulu As ... sudah hampir jam delapan," ajak Seti tanpa berbasa basi setelah dia masuk.

"Kamu baik-baik saja ?" Jawab Asri masih dengan kekuatirannya.

"Sudahlah, besok saja ceritanya ... tidak enak jika kamu pulang terlalu malam." Bujuk Seti kepada Asri. 

Perkelahian tadi menggelisahkan Seti. "Bagaimana jika mereka datang menyusulku ke sini ?" Hati kecilnya merasa kuatir.

Melepaskan pelan pelukan Hening, Asri berdiri dari duduknya mengiyakan ajakan Seti sesaat kemudian.

"Hati-hati," Bening mengelus rambut Asri yang berpamitan.

"Nanti aku singgah lagi mbak setelah mengantar Asri." Melihat wajah kakak beradik itu yang masih ketakutan, Seti tak tega membiarkan mereka sendirian setelah perkelahiannya tadi. 

Tapi dirinya masih harus mengantarkan Asri pulang, memastikannya dia juga baik-baik saja.

...----------------...

Keluar rumah, menengok kanan kiri, Seti mengulurkan jaketnya " Pakai jaketku As ..." Lalu menghidupkan si Denok ... Tak berapa lama kemudian, keduanya meninggalkan rumah jengki. 

Asri merapatkan badannya ke tubuh Seti.Kali ini tangannya erat melingkar di pinggang Seti, merasakan perut yang liat dan kencang. Kepalanya disandarkan ke punggung Seti. Ada rasa aman dan nyaman di dadanya setelah ketakutannya tadi. 

Tangannya semakin erat memeluk pinggang Seti.

Seti menikmati pelukan erat Asri. Keributan dan perkelahian tadi terlupakan sejenak.

"Kamu masih takut ?" suara Seti terdengar lembut di saat lampu perempatan menyala merah.

"Tidak ... Aku hanya menyesal kenapa harus ada perkelahian," Asri menjawab pelan.

"Aku yang menyesal ... Jika saja aku tak meninggalkan kalian, tentu tak ada kejadian tadi." Tangan Seti balas menggenggam tangan Asri yang masih melingkari pinggangnya. Tangan keras itu semakin menentramkan Asri. 

"Terimakasih Set ..." Bibir Asri berbisik pelan di telinga Seti.

Lampu menyala hijau, si Denok berjalan pelan. Degup jantung Asri terasa jelas di punggung Seti. "Tak akan kubiarkan rasa takutmu lagi cantik .... "Haati kecil Seti berbisik.

...----------------...

Degup jantung dan wangi nafas Asri masih terasa, saat Seti memacu si Denok kembali ke arah rumah jengki lagi. Teringat janjinya menemani Hening dan Bening tadi setelah mengantar Asri pulang.

Sengaja melewati gang tempat perkelahian tadi. Seti melirik arloji di tangannya, masih jam sembilan kurang. Hatinya masih penasaran. Barangkali terlihat orang yang mengeroyoknya tadi. Seti berputar sekali lagi ...

Hanya ada beberapa orang yang berkerumun di mulut gang gelap itu, tetapi bukan mereka. Memelankan si Denok, mengucapkan permisi saat melewati kerumunan. Kekuatiran Seti malam itu hilang.

...----------------...

Bening yang membukakan pintu rumah jengki saat Seti mengetuk. Hening tak terlihat saat Seti melangkah masuk.

"Hening ada di kamarnya Set ... coba kamu tengok. Sepertinya dia masih ketakutan," tangan Bening menunjuk kamar Hening yang bersebelahan dengan kamarnya, "Mbak mau mandi dulu. Sejak  tadi mbak menemaninya,"

"Iya mbak ..." Sungkan menolak, Seti mengiyakan. Perlahan masuk ke kamar Hening  setelah mengetuk pintu yang setengah terbuka.

Hening menatap Seti dari tempatnya berbaring."Sudah kamu antar Asri ?"

"Sudah,"

"Dia baik-baik saja ?"

"Ya ... kuharap kamu juga baik-baik saja," 

"Maaf membuat kamu susah," 

"Ah tidak ... sudahlah ..." Seti mendekat saat dilihatnya Hening mencoba bangkit ke arahnya."Tidur sajalah jika itu lebih nyaman," lanjutnya, tangannya menahan bahu Hening.

Tiba-tiba tangan Hening menarik Seti ke arahnya dan memeluk pinggangnya.

Cukup lama Seti membiarkan pelukan Hening dan pelan pelan mencoba melepaskannya.

"Kamu marah Set ?"

"Tidak Hen, ... Maaf bukan aku tak ingin," Seti mengelus  telapak tangan Hening yang tadi memeluk erat pinggangnya, "Hari ini penuh kekacauan ... Aku tak mau menambahkan kekacauan lainnya." Imbuhnya.

Sepi sejenak ...

"Aku akan selalu ada untukmu ..." Entah kenapa kata itu mengalir dari mulut Seti.

Saling menatap ... dua jiwa muda itu perlahan menjadi jiwa dewasa ... Jiwa laki-laki dan perempuan yang penuh lika-liku.

...----------------...

Terpopuler

Comments

Setia R

Setia R

dua iklan untukmu!

2023-09-09

1

Setia R

Setia R

hahaha gadis bersanggul mendorong motor! 👍👍👍🤓🤓

2023-09-09

1

Setia R

Setia R

ya ampuuun, anak SMA kok jalan pake sanggul sih!😃😃😃👍👍

2023-09-09

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!