Seti menghela nafas, mengeluarkannya bersamaan dengan teriakan kerasnya berulang-ulang.
Otot perutnya menguat, mengeras membentuk papan yang kencang dan liat.
Rongga paru-parunya penuh udara yang dipompanya dengan ritme dan konsentrasi tinggi.
Urat-urat halus di seluruh badannya terlihat jelas, tubuh kencangnya yang liat, bergerak lembut tapi bertenaga. Kakinya menjejak tanah, dengan kuda-kuda yang kokoh.
Banyak yang mengatakan dia segagah dan setampan Bapak ketika muda. Tinggi 170 senti, berat 55 kilo, kucir panjang setengah punggungnya membuatnya terlihat lebih dewasa di usia enam belasnya.
Basah berkeringat. Bertelanjang dada di hari Minggu siang di rumah joglo, Seti terus memompa teknik obuki dan kiai yang diasahnya sejak SD. Suatu elemen dasar kyokushin untuk menunjukkan semangat bertarung, kekuatan, dan sekaligus mempengaruhi nyali lawan.
Sekolah yang masih mengharuskannya masuk siang membuatnya sudah dua bulan ini absen di dojo.
Seti berlatih sendiri untuk menjaga kebugaran dan kelenturan ototnya, mengurangi kekuatiran cidera saat ber-kumite di dojo kelak.
Merasa cukup. Seti mendinginkan badannya di kursi risban teras, mengatur nafas normal, melepas hawa bertarungnya.
Bau aroma wangi daun pisang bercampur rempah-rempah masakan ibu yang terasa sampai teras depan membuat rasa lapar Seti muncul di sela istirahatnya.
Terbayang pepes ayam daun pisang biji kesukaannya sejak kecil saat di rumah Nenek.
"Makan dulu Set ... Lalu antar gudeg kendil ini ke tempat Nenek !" Suara Ibu terdengar dari dapur.
"Ya sebentar bu, aku mandi dulu setelah keringatku hilang,"
"Jangan lama-lama. Dari minggu kemarin Nenek menanyakan sayur kesukaannya ini !"
"Iya bu ...," menyeka keringatnya dengan handuk, Seti menuju kamar mandi ... Tak sabar menghabiskan masakan Ibu setelahnya.
...----------------...
Braaaak !!!... Sepeda motor di seberang Seti terguling, tak jauh dari perempatan jalan ke rumah Nenek.
Seti yang akan berbelok ke arah rumah Nenek mengantar pesanan Ibu, menengok ke arah suara tadi ....
Dua orang berjaket hitam berboncengan Rx King dilihatnya memepet motor tadi. Yang bertubuh besar membonceng dibelakang menarik paksa tas yang dipertahankan perempuan pembonceng motor yang roboh.
Rx King itu meraung keras di jalan yang kebetulan sepi . Perempuan itu terseret dari tempatnya jatuh, mati-matian mempertahankan tasnya.
Seti yang tak sengaja berpapasan terkesiap .... Si Denok distandarkan dengan cepat .... Berlari ke arah Rx King yang akan kabur melaju ke arahnya.
"Jambreeeet .... !!!" Teriak ibu-ibu pengemudi motor yang roboh.
...----------------...
Menghadang Rx King yang melaju ke arahnya, reflek Seti melayangkan tendangan .... Praaak !!! .... Tendangan Seti tepat mengenai muka pengemudi Rx King yang bertubuh ceking. Membuatnya terjengkang ke belakang, motor itu oleng dan terguling.
Yang bertubuh besar sempat melompat dari boncengan, melepaskan genggaman tas yang ditariknya .... Lalu berlari sambil menyabetkan pisau ke arah Seti yang sudah bersiap.
Naluri bertarung Seti diuji ....
Menangkis dengan siku tangan kirinya, membalas dengan pukulan telapak tangan kanannya. Tidak keras tetapi telak menghantam rahang kiri penyerangnya.
Terhuyung, jatuh terduduk dekat si Ceking yang sedang memberdirikan motor. Si tubuh besar, sempoyongan susah payah naik ke boncengan. Tak menunggu lama keduanya kabur. Tancap gas .... Rx King itu melesat kabur meninggalkan Seti yang masih waspada.
Tidak sampai satu menit perkelahian tadi. Pukulan dan tendangan Seti yang telak menyiutkan nyali dua lelaki itu. Mungkin merasa terdesak dan takut massa berdatangan, mereka memiih kabur.
...----------------...
"Hufff .... " Merasa aman, Seti mengambil pisau lipat yang tergeletak, memasukkan ke saku celana jeansnya, dihampirinya perempuan yang sempat terseret tadi. Menopang dengan sebelah tangannya, memapahnya ke tepi jalan.
"Masih kuat berdiri mbak ?" Tanya Seti.
Yang ditanya mengangguk pelan, terengah-engah masih pucat pasi ketakutan dan kebingungan. Seakan tidak percaya apa yang baru dialaminya.
"Tunggu di sini sebentar ya, saya ambil motor dulu di seberang," Seti menuntun si Denok ke arah dua perempuan tadi.
Jalanan masih sepi. Ada sekitar lima menit Seti menemani mereka.
"Terimakasih dik," suara ibu-ibu pengemudi motor itu masih terdengar gemetar ketakutan.
"Mereka sudah pergi bu, jangan takut," Seti mencoba menenangkan.
Tangannya membantu meminggirkan motor yang sedang diberdirikan ibu-ibu itu. "Mau kemana bu ? Kok lewat jalan sepi ini di hari Minggu ?" Tanya Seti lagi.
Jalan di dekat terminal itu masih penuh sawah, hampir tak ada bangunan rumah di kiri kanannya.
"Baru saja pulang dari urusan kantor," jawab ibu-ibu itu. Nada bicaranya perlahan tenang.
Perempuan muda yang tadi jatuh terseret terlihat masih membersihkan tanah yang menempel di baju dan tas yang tadi dipertahankannya. Celana panjang jeans yang dipakainya sedikit melindungi kakinya saat jatuh terseret.
"Coba dicek lagi ...Tasnya utuh mbak ?" Seti berpaling, bertanya ke perempuan muda itu.
"Masih dik ... Terimakasih ... Terimakasih," meringis menahan sakit dia menjawab. Terpincang menghampiri ibu-ibu teman kerjanya yang sedang kesulitan menghidupkan motor.
"Sini saya bantu nyalakan motornya... Ibu baik-baik saja ?"
"Gak apa-apa dik .... Hanya kaget saja."
Tak lama motor itu hidup di tangan Seti. Hanya lecet dan pecah lampu ritingnya. Ibu itu lalu mencoba menaikinya, memeriksa setang dan memainkan gasnya.
"Masih mampu bawa motor ke rumah bu ?"
"Masih dik," jawab ibu-ibu itu, "Kamu masih bisa bonceng ?" Dari atas motor dia balas bertanya ke arah perempuan muda di sampingnya, yang lalu mengangguk mengiyakan.
"Saya antar saja bu .... Ke Rumah Sakit atau ke Kantor Polisi ?" Seti menawarkan diri. Tak tega membiarkan dua perempuan itu.
"Pulang ke rumah saja dik," perempuan muda itu menjawab.
"Baiklah .... Nanti biar mbaknya bonceng saya .... Ibu jalan di depan."
Satu dua motor mulai melintas. Hanya menoleh saja. Mungkin dianggap hanya kecelakaan kecil.
"Tidak merepotkan kamu dik ?" Tanya wanita muda itu, beberapa saat setelah suasana mulai tenang, dan ketakutannya mereda.
"Tidak mbak. Mari saya antar kalau berkenan," jawab Seti," Gak usah bonceng miring mbak kalau masih terasa sakit." Sambung Seti lagi setelah dua perempuan itu menerima sarannya.
Berjalan beriringan, dua motor itu berjalan pelan. Mata Seti waspada, bersiap jika Rx King tadi berbalik kembali.
...----------------...
Hati-hati Seti memapah perempuan muda itu memasuki pintu rumah bergaya jengki dengan atap pelana.
Dindingnya terekspos batu belah Wonosobo. Menandakan yang empunya berkecukupan dan memahami arsitektur.
Rumah jengki ini sangat luas. Halaman depannya cukup untuk dua mobil, lantainya sekitar enam puluh senti dari halaman. Ada anak tangga yang menghubungkannya.
Tadinya Seti ingin langsung berpamitan, pulang ke rumah Nenek, tapi perempuan muda itu ingin dia singgah dulu.
"Heeeen .... Mbak pulang .... " Masih menahan sakit, perempuan itu memanggil seseorang.
Tak lama bocah cantik mungil berponi setengah dahi muncul dari dalam kamar.
Hening terkejut melihat sosok Seti ada di ruang tamu. Apalagi dilihatnya Bening kakaknya berjalan tertatih-tatih ke arah kursi rotan di sudut ruang tamu.
"Kenapa mbak Ning ?" Suara Hening terdengar gelisah.
"Gak apa-apa, hanya jatuh terpeleset tadi di kantor," Bening menenangkan hati adiknya.
Tak jauh di hadapan kakak beradik itu, Seti mematung. Hati kecilnya terusik. "Kenapa bocah perempuan mungil cantik itu bisa ada di sini ?" Seti masih tak tahu, wanita muda yang baru ditolongnya tadi kakak Hening.
"Kakak perempuanku Set .... " Hening menyapa Seti yang masih mematung memandang dirinya membantu kakaknya duduk.
Bening, yang baru ditolong Seti tertegun di tengah rasa sakit yang masih terasa.
"Kalian kok sudah saling kenal ?"
"Kami satu kelas mbak," jawab Hening sambil meletakkan tas ke atas meja.
"Oooh, .... Duduk dik." Bening berpaling ke arah Seti.
...----------------...
Suasana perlahan sepi saat Hening sibuk memeriksa luka lecet di kaki dan tangan kakaknya yang meringis menahan perih, tak jauh dari Seti duduk.
"Tolong rebuskan air panas buat mandi Hen, sekalian buatkan minum buat temanmu," kata Bening setelah beberapa saat.
"Kopi atau Teh Set ?" Tanya Hening melirik Seti. Hatinya tenang. Luka kakaknya tidak terlalu serius.
"Air putih saja Hen, ... aku haus," jawab Seti. Matanya beradu pandang dengan mata Hening yang mencuri pandang kepadanya. Hening tersipu malu, menyingkir ke dapur.
"Tolong ambilkan kapas dan alkohol di rak obat sekalian Hen, mbak mau bersihkan luka."
"Ya mbak." Dari dapur suara Hening terdengar.
...----------------...
"Siapa namamu dik ?" Tanya Bening.
Sejak melihatnya dalam rumah tadi, bocah laki-laki tampan di depannya itu tiba-tiba saja mengingatkan dirinya kepada seseorang yang pernah singgah di masa lalunya.
"Setiaji .... Panggil saja Seti mbak,"
"Kalau tidak ada kamu, entah bagaimana jadinya tadi,"
"Ah cuma kebetulan yang tidak perlu dilebih-lebihkan. Toh mbak sudah di rumah. Lukanya juga cuma lecet biasa." Mata Seti mencuri pandang ke wanita di depannya.
Cantik, riasan lipstik sederhana, leher jenjang, pipi tirusnya putih seperti Hening. Hanya lebih tinggi dan langsing perawakannya. Tipe pekerja kantoran yang cerdas dan ulet.
...----------------...
Tak lama Hening muncul membawa gelas air dingin, kapas dan alkohol.
Kapas dan alkohol diusapkan hati-hati membersihkan luka kakaknya, setelah meletakkan gelas di meja kayu rotan di hadapan Seti.
Dari tempatnya duduk, Seti memperhatikan mereka berdua. Merasakan kedekatan kakak beradik itu menyenangkan hatinya.
Air dingin yang diminumnya, menghilangkan haus Seti. Ada sepuluh menit dia duduk menunggui Hening selesai membersihkan luka kakaknya.
"Mbak tinggal mandi dulu ya, mungkin mandi air hangat bisa mengurangi rasa perih dan linuku." Bening beranjak ke kamar mandi setelah dirasa lukanya cukup bersih.
...----------------...
"Terimakasih banget Set," memulai obrolan, Mata bulat Hening berbinar takjub memandang Seti.
Saat membersihkan luka, Bening akhirnya bercerita kejadian yang sebenarnya.
"Terimakasih apanya ?"
"Pertolonganmu pada mbak Ning,"
"Ah cuma bantu antar pulang, sudahlah jangan dibahas." Tak terbiasa menceritakan soal perkelahian kepada setiap orang, membuat Seti merasa tak enak hati jika bercerita tentang itu kepada Hening.
Hening terdiam, entah apa yang harus diucapkannya lagi.
Diluar rasa takjubnya, melintas sesuatu di benak Hening. Si cemong itu ternyata gak seperti gaya pecicilannya.
Semakin menghilang ketika ingin dipuji .... Hatinya semakin penasaran, rasa ingin tahunya semakin bertumpuk.
Dada Hening terasa akan meledak ..., ada rasa menyesakkan yang ingin segera dikeluarkan .... Aaaah andai saja ini saat yang tepat ....
...----------------...
"Kapan ya kita masuk pagi," suara Seti mengalihkan untaian suara isi hati Hening." Aku bosan pulang sore terus," lanjutnya lagi.
Sedikit terperanjat. "Aku juga," suara Hening tak menentu, mencoba menutupi debar jantungnya.
"Cuma itu ?" Kata Seti sambil memperhatikan lukisan cat minyak berpigura kayu pinus yang rapi bergantungan di dinding.
"Aku tak terbiasa belajar di siang hari. Cepat mengantuk di kelas,"
"Pantaslah kamu anteng. Rupanya mengantuk." Seti tertawa kecil mendengar alasan Hening.
"Siapa yang melukis semua itu ?" Lanjut Seti lagi.
Tangan Seti menunjuk deretan lukisan di dinding. Ada satu lukisan berukuran 1x0.5 meter yang menarik perhatiannya.
"Aku semua .... " Ada rasa senang di hati Hening menanggapi pertanyaan Seti.
"Lukisanmu bagus. Aku tidak terlalu pintar melukis,"
"Kalau kamu suka, ambil saja,"
"Ah, nanti disuruh bayar,"
"Hihihi .... Kalau kamu mau membayarnya kenapa harus kutolak ? Tapi kalau kamu tidak membayarpun akan kuberikan," suara tawa Hening menghilangkan basa basi dua bocah remaja menjelang dewasa itu.
Seti berdiri mendekat ke dinding. Lukisan Mercu Suar di atas karang itu menarik hatinya. Tergantung di tengah dinding tembok tanpa plesteran.
Lukisan sapuan ombak berbuih menghantam bangunan kokoh di atas karang terlihat hidup dengan cahaya terang suar di malam yang berkabut.
Gaya lukisan Hening memukau Seti. Sangat berbeda dengan lukisan di galeri Sokaraja yang sering disinggahinya.
"Boleh aku membeli lukisan ini ?" Tanya Seti. Masih memunggungi hening, dia menatap tajam lukisan itu.
"Sudah aku bilang ... Kalau kamu suka, bawa saja." Jawab Hening.
Pandangan Hening beralih ke rambut kucir Seti yang tiba-tiba dilihatnya menjuntai panjang terkepang di punggung Seti.
"Ah Seti .... Kamu lain sekali hari ini," hati kecil Hening tergoda menanggapi sosok penampilan Seti dari belakang. "Bagaimana cara kamu menyembunyikan kucir rambutmu yang sepanjang itu di kelas ?"
"Dua bulan satu kelas bersamamu, ternyata masih kurang untuk memahamimu." Hati kecil Hening terus berbicara, semakin ingin merangkai keping mozaik di hadapannya itu.
Punggung tegap berkaos putih panjang, dengan kucir panjang menjuntai .... "Siapa kamu sebenarnya ?"
"Setiaji namaku ..., artinya cahaya terang .... Seperti cahaya di Mercu Suar lukisanmu.
Aku menghargai pelukisnya, tidak pantas jika aku mengambilnya cuma-cuma," suara Seti membuyarkan lamunan Hening.
"Tapi bukan cahaya warung remang-remang kan ?" Hening menjawab sekenanya. Tak mau isi hatinya berlama-lama bertanya tentang Seti.
"Ahahaha ...," Seti tertawa.
"Baiklah kalau kamu berkeras untuk membayarnya,"
"Berapa yang harus kubayar?"
"Tidak mahal," jawab Hening,"Bayarlah dengan sering menemani aku dan kakakku di rumah ini."
Ucapan Hening berbarengan dengan Seti yang hendak berbalik ke arah kursi rotan di ruang tamu itu.
...----------------...
Tak sadar Hening ada di belakangnya, Seti menabraknya. Tidak terlalu keras, tetapi cukup membuat Hening terjerambab ke belakang.
Kaki Hening tersandung kursi rotan yang melintang. Membuatnya hampir terjatuh kalau saja tangan Seti tak sigap menangkapnya.
"Uuuft .... ," desah Hening lirih. Dekapan erat di bahu dan pinggang yang menahannya jatuh itu mengagetkannya.
Sesaat perasaannya terbang ..., dan dia menikmatinya.
"Maaf .... Maaf .... " Tangan Seti perlahan melepaskan dekapannya setelah beberapa saat pelukan erat itu.
Berdekatan rapat saat menahan Hening terjatuh tadi, membuat wajah keduanya hampir bersentuhan.
Tubuh Seti ikut tertarik, andai kakinya tak cukup kuat menopang, mungkin keduanya akan jatuh bertindihan di lantai.
Hembusan napas harum yang tercium, urat-urat di leher Hening yang putih langsat terlihat jelas. Wangi gadis beranjak remaja, rambut poni tersibak, lembut kulit dan kecantikan mata bulat terpejam menggoda kelelakian Seti.
...----------------...
Tiba-tiba Bening muncul dari balik tirai. Mengagetkan dua bocah menjelang remaja itu yang masih bertatapan dengan fantasinya masing-masing.
"Seti suka lukisanku mbak," mencoba menghilangkan kecanggungan, Hening melontarkan kata ke arah kakaknya.
"Oooh .... " Ada rasa geli di hati Bening melihat salah tingkah dua bocah itu saat dirinya tiba-tiba muncul. "Padahal lukisanmu gak jelas loh, ... Hihihi ...." Tertawa kecil menggoda adiknya.
"Ah mbak Niiiing ...!" Merajuk manja suara Hening menanggapi godaan kakaknya.
"Sudah merasa baikan mbak ?" Seti menjauhi Hening.
"Sudah, besok mungkin hilang perihnya,"
"Sukurlah .... Kapan-kapan aku ke sini lagi mbak, mengambil lukisan Mercu Suar itu," tangan Seti menunjuk ke dinding.
"Kenapa tidak sekarang saja kamu bawa ?" Bening menimpali.
"Aku mau tempat Nenek dulu .... Mengantar titipan ibu,"
"Oh, ... Tapi kami tidak mengganggu waktumu kan ?" Suara kuatir Hening menimpali.
"Ah tidak-tidak .... " Seti menghabiskan air minum di depannya.
...----------------...
Ada seperempat jam kemudian Seti masih menemani kakak beradik itu.
Sesekali matanya mencuri pandang ke arah mereka. Sama-sama cantik dan menawan ketika berbincang akrab membuatnya betah meladeni pembicaraan mereka.
"Sering-sering main kemari dik !" Suara Bening mengingatkan Seti saat mengantarnya dari depan dua daun pintu ruang tamu berkaca yang terbuka lebar.
Di samping kakaknya, Hening tersenyum akrab. Senyum yang semakin menambah kecantikan bocah perempuan itu.
"Tentu mbak .... Salam ...." Merasa sudah cukup menemani mereka, Seti berpamitan.
Meninggalkan mereka berdua di kesejukan rumah jengki itu, Seti mengarahkan pelan si Denok ke rumah Nenek.
Seti remaja mulai merasakan arti kedewasaan ....
...----------------...
"Malam ini tidur bareng mbak ya Hen ?" Dari depan pintu kamarnya Bening mengajak adiknya menemaninya tidur.
Hening yang sedang asik membaca buku menoleh ke arah kakaknya.
"Masih takut mbak ?"
"Tidak, bukan itu,"
"Atau masih terasa sakit tangan dan kakinya ?"
"Hanya ingin mengobrol denganmu,"
"Baik mbak Ning,"
Meletakkan buku ke atas meja. Hening berjalan ke ruang tamu, menutup tirai jendela. Memastikan pintu-pintu dan jendela terkunci.
Setelah mematikan lampu, dia menyusul kakaknya ke dalam kamar. Dilihatnya kakaknya sudah di atas dipan besar jati peninggalan Bapak dan Ibu.
Hening mematikan lampu kamar, menyalakan lampu tidur lalu menyusul naik ke dipan, menyebelahi kakaknya.
Lonceng jam berdentang sebelas kali.
Bening memandang adiknya di keremangan lampu tidur. Membelai rambut poninya.
"Ceritakan pada mbak tentang Seti,"
"Ah, mbak Ning .... Pentingkah?"
"Ceritakan saja .... Ayolah Hen,"
"Baiklah kalau mbak Ning memaksa,"
"Padahal baru tadi mbak mengenalnya. Itupun karena dia menolong mbak. Tapi entahlah, kenapa mbak jadi ingin lebih tahu tentang dia Hen,"
"Dia duduk di bangku pojok belakang kelas mbak. Ada-ada saja tingkahnya yang kadang bikin seluruh isi kelas tertawa. Baru masuk saja dia sudah telat cemang cemong gak karuan. Diusir ke luar sama pak Guru,"
"Cemang cemong bagaimana ?"
"Katanya sih tak sengaja kena tanah waktu mengusap mukanya .... Sumpah mbak, dia jelek banget waktu itu,"
"Ahahaha ... ," Bening tertawa geli mendengar cerita adiknya, "Terus ?" Tanyanya lagi.
"Tapi setelah masuk jam berikutnya .... Aku gak bisa komentar mbak,"
"Kenapa ?"
"Ternyata dia tampan ... ," malu-malu Hening mengungkapkan perasaan hatinya.
"Ya benar .... Kamu tidak salah menilainya Hen,"
"Kami lalu berkenalan. Aku minta maaf mengoloknya cemong waktu masuk kelas,"
"Marahkah dia padamu ?"
"Nggak mbak .... Biasa aja. Hanya saja dia gak pernah kelihatan di jam istirahat sekolah. Entah ke mana dia pergi. Jadi kami hanya bertegur sapa biasa saja di sekolah,"
"Anak mana dia ?"
"Aku malah belum sempat bertanya padanya mbak. Masuk kelas saja selalu pas jam masuk berbunyi, malah masih sering telat. Istirahat entah kemana dia. Pulang sekolah langsung ngacir. Yang sering aku lihat sih dia berboncengan dengan teman lelakinya saat pulang sekolah."
"Mbak pikir kalian sudah akrab," ucap Bening. Tangannya menarik hidung adiknya mesra.
"Ah mbak Ning .... Baru di rumah ini, kami ngobrol agak lama tadi." Tersipu malu Hening menjawab.
...----------------...
Pikiran Hening membawanya ke kegelisahan hatinya selama ini.
Kegelisahan setiap melepas pandang ke meja di sudut kelas setiap bel istirahat berbunyi. Berharap Seti melangkah ke arahnya, mengajaknya ke kantin koperasi, atau sekedar berbicang seperti yang lain.
Tapi si cemong itu entahlah ... Setiap ditolehnya, secepat itu juga dilihatnya bocah pecicilan itu sedang bergegas meninggalkan kelas dari sudutnya. Tak jelas ngeluyur ke mana. Seisi kelaspun tak ada yang tahu ketika Hening mencoba menanyakan keberadaannya.
Tak terasa sudah dua bulan berpapasan dengannya, dalam kelas yang sama, dan tetap saja Hening hanya dapat menerka-nerka sosok Seti.
Setiap telat-pun dia hanya cengar cengir tepat di depan mejanya, seolah tak peduli dengan siapa di kelas itu.
...----------------...
"Apa yang kalian obrolkan tadi ? Mbak lihat kalian berdekatan ... Ciuman ya?" Cekikikan Bening menggoda adiknya yang terdiam sesaat.
"Mbak Niiiiing !!! .... Tidak seperti itu kejadiannya yang mbak lihat !!!" Hening berbalik memunggungi kakaknya.
Pura-pura merajuk, tak mau rangkaian kegelisahan hatinya terganggu godaan kakaknya.
"Pasti kalian berciumaaaan ... Hihihi ...." Semakin keras tawa Bening menggoda adiknya.
Jantung Hening bergetar keras di sela suara cekikikan kakaknya. Kenapa kamu tidak menciumku? Pikirannya melayang lagi, teringat dekapan Seti.
"Ciuman itu seperti apa rasanya mbak ?" Hening tiba-tiba berbalik, menatap tajam wajah kakaknya.
Kamar itu tiba-tiba saja terdiam sejenak ....
Tak menyangka adiknya bertanya seperti itu. Otak Bening berputar keras menjawab pertanyaan adiknya. Ikut terdiam seperti adiknya. Sosok yang dirindu dendamnya terbayang.
Sosok tinggi tampan, mirip sekali dengan Seti. Sosok yang pernah mencium habis bibirnya selepas SMA. Ciuman pertama dan terakhirnya, sebelum dia menghilang tanpa kabar.
"Ya seperti aku menciumi-mu dulu waktu kamu kecil," tak mau berlarut dalam bayangan masa lalu, Bening melemparkan bantal ke muka adiknya.
"Aaaah basi ... !!!" Balas melemparkan bantal ke muka kakaknya, Hening setengah berteriak memprotes jawaban kakaknya. Memunggunginya lagi.
"Aaaah .... Bukannya kamu sudah merasakannya tadi dengan Seti ?" Masih berebut bantal, Bening mencoba menggoda adiknya lagi.
"Mbak Niiiiiing !!! .... Aku pindah ke kamarku loh,"
"Ya ya ya .... Mbak percaya dengan adikku yang cantik. Mbak salah menduga," perang bantal terhenti sesaat.
"Nah itu baru mbak-ku yang cantik,"
"Tapi kamu suka dia kan ?"
Jantung Hening bergetar lagi. Berganti dia yang berpikir keras mencoba menjawab pertanyaan kakaknya.
"Mbak pernah menyukai laki-laki ?"
Terbatuk kecil Bening menatap adiknya. Kamar itu terdiam lagi. Masing-masing dengan pikirannya sendiri. Jam berdentang satu kali .... Sudah setengah dua belas malam. Dan mereka masih terjaga dengan pikirannya masing-masing.
...----------------...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments
Setia R
lima bintang untuk mu!
2023-08-27
1
Setia R
dua iklan untukmu!
2023-08-27
1
Setia R
wah, hebat! 👏👏👏👏
2023-08-27
1