Asri mengelap wajah berkeringatnya dengan saputangan di bawah rerimbunan pepohonan sekolah.
Bibirnya terasa kering. Bayangan pepohonan itu sedikit menyejukkan kekesalan hatinya. "Menyebalkan, ... Kenapa harus masuk siang di hari pertama SMA ?" Keluh hati kecilnya.
Efek puncak angin muson timur sangat terasa siang itu. Panas menyengat.
Tadi pagi Joko kakak Asri berangkat kuliah. Tidak bisa mengantarnya seperti biasa. Bapak sudah sibuk di bengkel kerjanya, Ibu masih belum percaya membiarkannya naik motor sendiri dari rumah ke sekolah.
Naik angkot menjelang tengah hari tadi, lalu berdesakan selama setengah jam di dalamnya memuramkan suasana hatinya.
Untungnya angkot melewati depan sekolah. Turun dari angkot, berjalan sebentar menyusuri jalan berdebu samping sekolah terasa sangat lama dan membosankan. Wajah baru teman yang searah dengannya lewat begitu saja.
Langkahnya dipercepat memasuki halaman sekolah. Tak mau berlama-lama di bawah terik menyengat.
...----------------...
Duduk di bangku beton di bawah naungan bayang pepohonan kelengkeng halaman sekolah yang teduh sedikit mengurangi kekesalan hati Asri.
Mengeluarkan diary-nya. Ujung pena Asri mulai menari menggoreskan rangkaian kata yang rutin dilakukannya sejak kelas satu SMP ... Oase yang menyejukkan hatinya setiap membaca helai demi helai coretannya jika hatinya gundah.
Senin, 20 Juli 1987 ...
Siang hari yang sangat gak banget. Panas-panas begini malah kelayapan di pinggir jalan.
Mending ada yang diajak ngobrol ... aku kayak suku primitif di tengah peradaban...
huhuhuuuu ...
Asik merangkai kata, Asri terkaget menyadari sosok bocah perempuan mungil yang tiba-tiba sudah duduk di sampingnya.
"Hening ...," terdengar suara menyebut nama, tersenyum manis menyapa, mengulurkan tangan.
"Asri ....," sedikit tergagap Asri menjawab. Diary-nya disisipkan ke dalam tas, membalas uluran tangan halus yang terjulur.
"Kelas berapa ?" Tanya bocah perempuan mungil itu lagi.
"Satu Delapan ... Tuh di depan," Asri menunjuk kelas tepat di depan mereka duduk.
"Sama... Itu kelasku juga... Sudah dapat tempat duduk ?"
"Belum, baru nyampe ... Terus duduk-duduk dulu aja di sini," Asri merasa tidak sendirian lagi.
"Ntar aja pas bel masuk bunyi, kita sama-sama masuk kelas," lanjut si mungil itu lagi.
Hening yang baru dikenal Asri pandai mencairkan kekakuan suasana.
Bocah perempuan mungil cantik yang beranjak gadis. Ramah kepada siapa saja yang baru dikenal. Rambut poni setengah dahi menunjukkan rasa percaya dirinya. Wajah putihnya terlihat segar di siang yang panas.
"Moga-moga aja kelas kita banyak Arjunanya," cerocos Hening yang mulai akrab ... Sifat aslinya mulai keluar.
"Hihihi... gak ada tuh. Sejak penataran kemarin sudah kusortir cowok-nya ... bluwek semua," Asri tertawa.
Asri mulai suka kepada Hening. Tadinya dia sempat berpikir tidak akan secepat itu mendapat teman yang dirasanya klik di suasana baru SMA-nya.
"Iya ... mentang-mentang diterima di sekolah top ... Dah bluwek, kelakuannya kayak robot mekanis semua ... Siap grak ... berdoa dimulai ... berdoa selesai ... serba teori," Hening bercerita suasana penataran kemarin di aula sekolah itu. " Dah gitu jam istirahat bukannya ngobrol kenalan sana sini, malah sibuk baca buku teori Pancasila." Isi hatinya mulai keluar satu per satu.
Tawa Asri lepas mendengar kegalauan hati Hening. Akhirnya senyumnya kembali merekah indah di dunia barunya. Lenyap sudah kekesalan hatinya.
Mengikuti sebuah proses yang menyebalkan akan menjadi menyenangkan jika mau memahaminya ... Dua bocah perempuan sama-sama cantik beranjak gadis itu mulai memahami arti sebuah proses.
Tidak melulu harus penuh kejengkelan kemuraman hati yang menyebalkan untuk melaluinya, ... toh di dalamnya ada sesuatu yang bisa dinikmati.
...----------------...
Terpaksa duduk di meja depan dekat pintu keluar masuk kelas, Asri dan Hening mulai menata laci meja setelah bel masuk kelas berbunyi.
Salah sendiri ... asik bergosip membuat mereka terlambat berebut meja.
Hanya meja itu dan meja lain di sudut belakang yang tersisa. Meja dekat pintu itu, walaupun enak dan sejuk terkena angin, tapi melompong bawahnya. Memudahkan siapa saja yang lewat dari luar pintu iseng mengintip jika yang duduk di belakang meja itu anak perempuan.
Pak Akur wali kelas satu delapan mulai mengabsen satu per satu. Sosok tinggi kurus, kumis melintang, baju safari dengan celana cut bray itu sedang menyelesaikan absensi, ... saat tiba-tiba saja seorang bocah laki-laki nyelonong masuk dengan terengah-engah.
"Weit ... sopo kowe ? Slonang slonong ... Ketuk pintu dulu !!!" Bentak pak Akur.
Yang dibentak menghentikan langkahnya ... Bocah itu balik lagi keluar kelas mengikuti bentakan pak Akur.
Seisi kelas tertawa menatap muka cemong berlepotan tanah campur oli tap-tapan yang berdiri di tengah pintu kelas ...Tangan kanannya mulai mengetuk pintu.
Deeeeg ... Terkesiap hati Asri di tengah tawa berkepanjangan seisi kelas... Dikenalinya wajah cemong di depan pintu ... si Davos pecicilan itu !
Pak Akur ikut tertawa melihat Seti yang masih bengong berdiri di pintu.
"Sini masuk," pak Akur melambai.
"Selamat siang pak... maaf saya terlambat ... Barusan kecelakaan di jalan," Seti mencoba menjelaskan sambil mendekati pak Akur.
"Tabrakan ?" Tanya pak Akur.
"Tidak pak...Ban motor bocor di jalan. Pas mau nambal nunggu tukang nambalnya lamaaaa banget pak ... Lagi makan siang,"
"Lah terus kecelakaannya di mana ?"
"Karena lama nunggunya, ... makanya saya bongkar sendiri ban luarnya dulu biar cepat...,"
"Terus motornya ngrubuhin kamu ?"
"Gak juga pak ... Selesai nambal kan sudah hampir jam dua belas. Jadi saking buru-burunya saya gak lihat ember air yang buat ngetes ban bocor," mengalir cerita kesialan Seti.
"Nah saya kepleset ember itu pak... Jatuh terjengkang saya pak ... Demikian kecelakaannya pak ... Makanya saya terlambat pak,..." Seti terus nyerocos.
Kelas semakin gaduh mentertawakan kecelakaan yang aneh versi bocah pecicilan itu.
"Itu bukan kecelakaan ... Tapi pecicilan. Dah kowe ke guru BP sono... minta surat ijin masuk dulu !" Pak Akur menyuruh Seti ke ruang BP, lalu menyuruh kelas tenang kembali.
...----------------...
Berbalik ke arah pintu ... Jantung Seti serasa terbang.
Kejora bening itu berpijar dihadapannya ...
Suara tawa dari bibir tipis lembut menghunjam ulu hatinya di sela langkah kakinya ... "Oh My Godness ... Rambut panjang terurai Nawangwulan...Huuuuft si sepatu kets putih !" Hela nafas Seti tak beraturan.
Campur aduk perasaan Seti saat ngeloyor meninggalkan ruang kelas yang perlahan tenang.
"Pantas saja si Denok merajuk memberi firasat ... Bocah iseng jahil itu satu kelas denganku rupanya... Lihat saja nanti pembalasanku ..." Banyak rencana melintas di pikirannya.
...----------------...
Bu Restu guru BP senyam senyum sambil memberikan surat ijin masuk kelas setelah jam pelajaran berikutnya ke Seti. "Cari cermin dulu kamu ... lalu ke kamar mandi," ujarnya.
"Kenapa bu ? Bukankah cukup surat ini saja sudah boleh masuk kelas ?" Seti masih belum paham.
"Dah kamu ngaca aja dulu, nanti kan paham,"
"Baik bu... Terimakasih ...Selamat siang." Seti meninggalkan ruang BP ke arah parkiran motor.
...----------------...
Bercermin di kaca spion si Denok barulah Seti sadar kenapa seisi kelas Satu Delapan tadi mentertawainya.
Tampak jelas di kaca spion si Denok belang di hidungnya. Warna cemong hitam melintang serong dari kening melintasi hidungnya sampai dagu.
"Setaaaan ..." Umpatnya lirih, menatap wajah mirip Gareng Ria Jenaka-nya Nenek muncul di kaca spion si Denok.
Bergegas ke kamar mandi sekolah. Seti menggosok keras mukanya dengan tisu. Berkali-kali membilas muka cemong-nya dengan air ledeng lalu berjalan lagi ke arah parkiran untuk berkaca ...Memastikan mukanya sudah bersih.
"Naaah ... Seharusnya wajah ini yang dipandang si sepatu kets tadi," kutuk Seti dalam hati meratapi kesialannya hari ini.
Mata Seti sekali lagi mengawasi dengan teliti hidung mancung di kaca spion si Denok. Takut masih ada cemong yang tersisa.
...----------------...
Menunggu jam pelajaran berikutnya, Seti mencari perpustakaan sekolah.
Menunggu itu terasa lama dengan berdiam. Lakukan sesuatu maka waktu tak terasa. Nasihat Bapak yang selalu diingat Seti jika sedang menunggu sesuatu.
Menyusuri koridor antar kelas yang saling terhubung menuju perpustakaan ... Pijar bening Kejora itu terus terbayang ... Tidak mengganggu ... Seti mulai menikmatinya.
...----------------...
Pak Akur menunjuk Ketua, Sekretaris, dan Bendahara kelas setelah selesai mengabsen. Memberikan jadual pelajaran dan nama-nama Guru tiap mata pelajaran.
"Berhubung jam pelajaran kalian terganggu pembangunan kelas yang belum selesai. Maka tiap jam mata pelajaran dipadatkan yang seharusnya empat puluh lima menit jadi tiga puluh menit." Lanjutnya.
"Sekarang isi kertas yang bapak bagikan. Isi alamat serta wali kalian dengan benar. Jadi kalau ada apa-apa bapak tidak repot." Pak Akur mulai membagikan kertas yang dimaksud. "Setelah itu jawab kuisioner yang ada di bawahnya, sehingga pihak sekolah tahu apa yang kalian keluhkan dan butuhkan !"
Kelas mulai sibuk, berbenah menyiapkan materi dari pak Akur. Tak terasa jam pertama pelajaran berbunyi, berganti jam pelajaran kedua.
Pak Akur meninggalkan kelas setelah mengumpulkan kertas yang tadi dibagikannya saat Seti muncul lagi di depan pintu.
Seti menyerahkan surat dari guru BP ke pak Akur yang berpapasan, ... yang lalu mengijinkannya masuk kelas.
...----------------...
Cengar cengir Seti memasuki kelas Satu Delapan-nya.
Di belakang ... kasak kusuk polahnya tadi kembali membuat gaduh kelas.
Hening berdehem menyenggol Asri ... "Si cemong lumayan juga As," bisiknya.
"Ah biasa ... Nilai tujuh-lah," Asri cekikikan.
"Standarmu terlalu tinggi ... bagiku sembilan lah," bisik Hening ... Matanya tak berkedip menatap sosok Seti yang memasuki pintu.
Asri mengikuti arah tatapan Hening.
"Ah benar juga kata Hening." ... Hati kecil Asri membenarkannya setelah beradu pandang dengan Seti yang menatapnya.
...----------------...
"Si Davos pecicilan itu entah apanya yang membuatku tertarik." Hati kecil Asri bergumam.
Setiap malam catatan si Davos berulangkali dibacanya. Ulah jahilnya di aula sekolah meninggalkan jejak membekas di lembaran diary itu ... Catatan hati kecil Asri tentang keinginan bertemu dengan si Davos lagi.
Senin,13 juli 1987
Tatapan dingin itu ... jiwaku sejuk ... Aku menyesal menyapanya di suatu masa ... Entah kemana dia?
Dan sekarang, ... entah bagaimana Seti ada di hadapannya lagi.
...----------------...
"Oh kelas ganjil rupanya, ... nasibku sendirian di pojok." Seti menjawab pertanyaannya sendiri dalam hati, saat dilihatnya hanya ada satu meja kosong tersisa di sudut belakang kelas.
Melintas, melewati meja terdepan dekat pintu, diliriknya dua pasang mata mengawasinya.
Sepasang mata bocah mungil berponi setengah dahi, dan disebelahnya sepasang mata bocah semampai berambut panjang menjuntai.
Keduanya sama cantik, sama menarik, serasi dengan gaya rambutnya masing-masing.
...----------------...
"Cemong ni yeeeee... " Hampir bersamaan Asri dan Hening berseloroh cekikikan saat Seti melewati meja mereka.
"Sialan ... " Gerutu Seti dalam hati ... Tidak tahu harus berkata apa.
Meja kosong itu menyambut Seti. Seakan tahu keinginan hati Seti untuk sejenak menyendiri dulu, melupakan hari sial yang memayunginya.
Sambil mengeluarkan buku Seti memandang ke depan. Dari duduknya jelas terlihat Asri dan Hening, ... dua bocah perempuan yang memunggunginya.
Seti menikmatinya dari meja sudut kelasnya ...
...----------------...
Akhirnya jam istirahat berbunyi sore itu ... Membereskan catatan Sejarahnya. Seti celingukan ke luar jendela. Berharap Joe atau bocah warung nongol mengajaknya kluyuran menghabiskan jam istirahat ke setiap kelas.
Tapi tak ada satupun yang diharapkan-nya itu melintas ...
"Biar kususul ke warung ... Paling lagi ngrokok di sana." Pikir Seti.
Warung Bango jadi tempat favorit anak laki-laki SMA itu. Tempat bercerita lagu baru, filem baru, belajar merokok, atau sekedar bertukar stensilan cerita dewasanya Eny Arrow di jam istirahat. Selain terlindung tembok, guru tidak pernah melewati warung itu.
Seti berniat mencari Joe untuk menceritakan hari sialnya.
Pontang panting, ngos-ngosan menuntun si Denok yang kempes kena bocor ... Dan tetap saja terlambat ... Muka cemong kena ejekan dua bocah perempuan usil ... Terpaksa duduk di pojok belakang sendirian ... "Duh banyak banget sialku hari ini." Rentetan hari naas berputaran di benak Seti.
...----------------...
Baru saja memasukkan bukunya ke dalam tas, niat Seti beranjak keluar kelas tertahan.
Dilihatnya dua bocah perempuan usil itu berjalan mendekatinya dari meja depan.
"Mau ngapain lagi mereka ? Apa belum cukup puas dengan penderitaanku hari ini ?" Pikiran Seti mulai berprasangka yang tidak-tidak.
"Mau ke mana cemong ?" Bocah poni setengah dahi itu menyapa ... " Hening ..." Lalu tangannya terulur, sambil menyebut nama ke arah Seti.
"Bocah aneh, ngajak kenalan kok dah sok akrab manggil cemang cemong ... Kalau gak secantik itu, sudah kutinggal pergi." Hati kecil Seti bersungut, seakan membenarkan prasangkanya.
"Seti," masih penuh tanda tanya Seti membalas uluran tangan itu, lalu melepaskannya perlahan.
"Ehem, ..." gumam suara halus lembut perlahan mengalihkan perhatian Seti.
"Duuuh ... kenapa kamu juga ikutan nimbrung ?" Semakin tak karuan hati Seti
"Eh kamu, ... eh ..," nada bingung keluar dari mulut Seti, tidak tahu apa yang mau diucapkan dari mulutnya.
"Asri," ucap bibir tipis itu.
"Seti ...," tergagap Seti menjawab.
Hangat jari lentik Asri terasa di telapak tangan Seti saat menjabat tangan indahnya ... Bocah pecicilan itu mendadak kalem di sudut kelasnya.
Joe dan gerombolan warung seketika lenyap dari kepala Seti di jam istirahat kelas ketika ada saling sapa, jabat erat dengan seisi kelas barunya.
Kegembiraan kelas Satu Delapan sore itu menambah cakrawala pandang Seti.
--------------------------------
*Sopo kowe : Siapa kamu dalam bahasa Jawa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments
Alfan
hai kak aku datang di novelnya kakak jangan lupa mampir di karya ku ya terimakasih 🤗🙏
2023-09-24
1
Setia R
pak berlawanan, apakah ada?
author ngasih nama unik ya ....
wkwkwk 👍
2023-08-24
1
Setia R
ya ampuuun, aku ketawa sendiri baca novel KKK!
2023-08-11
1