Rumah joglo di sudut kampung pinggiran kota Purbalingga yang dingin mulai hidup menjelang pagi di puncak musim kemarau Juli 1987.
Ah ... waktu cepat berlalu !
Seti masih tak percaya sudah lulus SMP setelah hingar bingar pemilu yang baru saja usai.
Tidak mudah baginya meluangkan waktu untuk membaca dan mengerjakan soal-soal latihan ujian SMP di tengah persinggungan pertamanya dengan politik di rumah joglo itu.
Teman Bapak yang entah dari mana saja datang silih berganti menjelang kampanye sampai hari pencoblosan sempat menghilangkan minat belajar Seti.
Sebentar-sebentar Ibu menyuruhnya mengantarkan kopi ke teras depan saat dirinya menyentuh buku.
Dari muda pilihan politik Bapak adalah partai berlambang Banteng. Setiap Pemilu, Bapak selalu aktif mengkampanyekan partainya. Tak heran Pemilu kemarin, rumah joglo dijadikan Posko kemenangan Partai Banteng di kampung Bapak.
Untungnya kebiasaan merangkum pelajaran sepulang sekolah yang diajarkan Nenek dipatuhi Seti. Tidak sia-sia belajar kerasnya, terbayar nilai NEM yang membuatnya diterima di SMA Negeri ternama di Purwokerto, 15 kilometer dari rumah joglo.
...----------------...
Berpatut di depan cermin lemari kuno yang ada di kamarnya, bolak-balik Seti menatap sosok berseragam putih abu-abu. Rambut ikal, kucir model Lupus menjuntai panjang sepunggung terlihat gagah di dalam cermin.
Lupus yang dikenalnya saat berlangganan majalah Hai sangat membekas di benak Seti. Anak SMA fiktif karangan Hilman Hariwijaya dengan rambut berkucir dan permen karet di mulut.
Sejak mengenal Lupus, Seti memanjangkan kucir rambutnya.
...----------------...
Merasa patut dan rapi, Seti mengikat rapi kucir rambut panjangnya, menyembunyikan hati-hati di balik kerah baju putihnya, lalu bergegas keluar kamar menemui Bapak dan Ibu yang sedang duduk dan mengobrol di teras depan.
Menemani mereka sebentar sebelum berangkatl sambil duduk di kursi jengki , menyantap serabi dan menyeruput kopi panas buatan Ibu menghangatkan suasana pagi teras rumah joglo.
Senyum Seti lebar saat Bapak memberi uang saku lebih dari cukup di tengah obrolan mereka.
Mungkin Bapak ingin menebus dosa terganggunya anak keduanya itu saat belajar di tengah keramaian politik di rumah joglo kemarin.
...----------------...
Seti dua bersaudara. Seto kakaknya sudah setahun ini berlayar. Enam tahun lebih tua darinya. Seto sangat menyayangi Seti. Tahu adiknya diterima di SMA tempat dia dulu belajar, dibelikannya Seti sepeda motor baru sebagai hadiah.
Bapak Seti supir pabrik kembang gula Davos yang ada di kampung itu. Davos adalah merek kembang gula rasa mint pertama di Indonesia.
Ibu Seti juga bekerja di tempat yang sama di bagian administrasi. Pabrik itu yang mempertemukan mereka, dan menikah di tahun 1964.
Menurut Ibu, Bapak dulu berkali-kali ditolaknya saat menyatakan cintanya dan akhirnya luluh karena kasihan kepada Bapak. Tapi menurut Bapak, justru Ibulah yang kemayu menggodanya sehingga Bapak jadi jatuh cinta.
Saling olok roman masa muda Bapak dan Ibu sering membuat Seti tertawa jika Bapak atau Ibu pura-pura ngambek di depannya, saling membenarkan kisah cinta versinya masing-masing.
Seti tidak terlalu ambil pusing siapa yang benar. Toh Bapak dan Ibu tidak pernah bertengkar di depannya, bahkan selalu bercanda di depannya.
Semuanya tampak menyenangkan di teras rumah joglo pagi itu, saat Seti berpamitan berangkat ke sekolah barunya.
...----------------...
Tak lama Seti sudah berada di atas sadel si Denok sepeda motor Honda Astrea 800 merah hadiah Seto kakaknya, meninggalkan halaman rumah joglo itu ke arah sekolah.
"I hear voices all singing But no one is there ... It's a ghost of my life ...Bringing past tense to mind ...Lockin' key inside me
From the freedom and sin...Oh come let me in ... I'll start all over again
What can I do..."
Penggalan Lirik lagu What Can I Do-nya Smokie lirih terdengar dari mulut Seti saat memasuki jalan raya. Lirik lagu yang seakan menanyakan apa yang hendak dilakukan di dunia baru SMA-nya nanti.
...----------------...
Start dari Purbalingga yang sepi dan dingin tepat jam enam pagi berkabut, melewati kerindangan kanopi mahoni besar sepanjang jalan raya Sokaraja-Purwokerto, masuk ke keramaian Pasar Wage, perempatan bioskop Srimaya dengan poster seronok filem Indianya Inspektur Vije dan Tuan Takur.
Memasuki keramaian Kebon Dalem dekat SMA-nya, tangan dan kaki Seti lincah memainkan gas dan rem si Denok menerobos sela-sela lalu lintas yang mulai menyemut. Motor dan mobil bergantian membunyikan klakson setiap ada becak yang tiba-tiba saja nyelonong memotong jalan.
Sepeda anak sekolah beriringan dengan motor dan mobil yang silih berganti berhenti menurunkan penumpangnya di depan deretan sekolah SD sampai SMA yang berjejer sepanjang Kebon Dalem sampai komplek Bruderan. Kemacetan pagi itu mengharuskan semua kendaraan berjalan pelan.
"Uuuups...," lirik What Can I Do Seti terhenti ... Dug ... si Denok menabrak mobil Kijang kotak merah di depannya. Tidak terlalu keras tetapi dirasakan pengemudi mobil itu ... ujung roda depannya menyentuh bumper mobil itu.
Mata Seti sempat bertatapan dengan pengemudinya yang memelototinya.
"Ah,... Seti ... jangan melamun," bibirnya bergumam lirih, lalu sigap mengarahkan si Denok ... kabur ke arah sekolahnya ... lepas dari pelototan tadi.
...----------------...
Jam enam seperempat, Seti celingukan di gerbang depan SMA-nya, tidak ada sosok yang dikenalnya. Si Denok diajaknya berputar ke arah gerbang belakang.
Memarkir si Denok, berjalan menghampiri anak-anak berseragam baru yang dilihatnya asik mengobrol di depan warung seberang jalan gerbang belakang SMA. Tulisan warung Bango besar terpampang di atas atap sengnya yang sudah berkarat.
Siapa tahu ketemu teman SMP pikir Seti, toh Penataran P4 pola 45 jam baru dimulai jam tujuh nanti. Masih ada cukup waktu untuk nimbrung ngobrol.
"Setiiiii...!!!" Suara seorang bocah terdengar dari dalam warung. Suara yang sangat dikenalnya di SMP.
"Joeeeee...!!!" Balas Seti girang setelah menengok ke arah panggilan tadi.
Dari dalam warung seorang anak melambaikan tangan. Segelas kopi panas yang masih mengepul ada di depannya. Harum kopi pagi menusuk hidung Seti yang masih tercampur embun pagi saat mendekat.
"Satu SMA juga ternyata," Joe menepuk pundak Seti, "Join kopi Set," tangannya menyorongkan gelas ke arah Seti.
"Yups, ... senang juga ketemu lagi di sini. Aku pikir kamu gak diterima," ledek Seti kepada sahabatnya itu sambil menyeruput kopi yang ditawarkan.
Enak juga kopi tubruk warung Bango puji hati kecil Seti. Tapi masih lebih pas kental dan pahitnya kopi buatan Ibu yang selalu diseruputnya diam-diam ketika Bapak mandi.
Saat kelas 3 SMP dulu, Seti duduk sebangku dengan Joe. Bocah pecicilan seperti dirinya, tidak terlalu ganteng, tapi juga gak jelek-jelek banget.
"Moga-moga kita satu kelas lagi Set," ujar Joe.
"Ah malas, aku pindah kelas kalau bareng kamu lagi," jawab Seti sekenanya.
"Kamu kualat loh ... mendahului takdir Tuhan Yang Maha Esa," lanjut Joe.
"Kita ditakdirkan bertemu, untuk tidak selalu harus bersama ... karena akan berbuat dosa ..." Seti terbahak, diikuti gelak anak yang lain mendengar obrolan ngalor ngidul Seti dan Joe.
...----------------...
Tiba-tiba mobil merah berhenti di seberang jalan, tak jauh dari keriuhan warung itu. Seti terperanjat mengenali mobil itu di tengah senda guraunya.
"Aduh ... itu mobil yang tadi kutabrak ... Apa yang bawa mobil itu paham aku sekolah di sini ya ? Mosok cuma gara-gara kesenggol sedikit berlanjut berantem di sini ?" Perasaan hati Seti mulai tidak karu-karuan.
Belum hilang kegelisahan hati Seti. Pintu depan mobil itu terbuka ... Tatapan Seti tak lepas dari sosok semampai yang turun dengan sepatu kets putih, rambut hitam panjangnya terurai berayun kiri kanan persis bintang iklan shampoo di tivi saat memasuki gerbang belakang SMA itu.
"Oh ternyata hanya mengantar anak SMA ini juga. Tidak ada urusan dengan senggolan dan saling pelotot tadi, ..." Lega hati Seti tak lama setelah mobil merah itu perlahan meninggalkan komplek SMA.
Dan suasana warung Bango bertambah riuh. Bercanda sesama teman lama, bertukar cerita dengan teman baru sangat menyenangkan.
Bingkai jendela putih biru Seti tertepikan bingkai jendela putih abu-abu ...
...----------------...
"Teeeeet...teeet...teeet !!!" Bunyi bel sekolah mengingatkan Seti dan Joe untuk bergegas dengan yang lain memasuki aula SMA. Tempat penataran P4 yang akan dimulai pagi itu.
Aula besar peninggalan tahun 50-an itu megah dengan pilar yang menjulang kokoh dengan tembok tebal bercat putih susu di sekelilingnya. Kusen-kusen pintu dan jendelanya tinggi lebar, terbuka mengalirkan udara segar pagi.
Berdesakan saat masuk aula, Seti terpisah dari Joe. Dilihatnya kursi deretan belakang sudah penuh terisi anak laki-laki. Maju ke depan, Seti mencari tempat duduk yang kosong.
"Wah gak seru nih, nampaknya mereka terlalu kaku dan serius banget." Pikir Seti sambil menebak-nebak wajah asing di samping kiri dan kanannya setelah mendapatkan tempat duduk di deretan depan.
Seorang kakak kelas yang jadi panitia pengawas mulai sibuk membacakan aturan dan sanksi selama penataran.
Namanya saja kakak panitia pengawas, yang laki-laki sok galak di depan murid laki-laki tapi genit kalau ngatur murid perempuan.
Kakak panitia pengawas yang perempuan ? Jangan ditanya ... sangat kejam kepada semua juniornya ... "Jangan tolah toleh dek ... !" Belum apa-apa Seti sudah kena semprot kakak pengawas perempuan waktu mau menengok ke belakang.
"Sialan... begini rasanya jadi murid kelas satu." Seti bersungut-sungut dalam hati.
...----------------...
Tak berapa lama penataran P4 dimulai setelah kegaduhan suara kursi berhenti. Seti mulai mendengarkan materi sesi itu, walau hatinya masih kesal dengan teguran kakak kelas pengawas sok berwibawa tadi.
"Ekaprasetia Pancakarsa berasal bahasa Sansekerta, eka yang artinya satu atau tunggal, prasetia yang artinya janji atau tekad, panca yang artinya lima, dan karsa yang artinya kehendak...," penjelasan tentang maksud dan tujuan penataran P4 terdengar jelas dari loudspeaker di ujung aula.
"Sehingga Ekaprasetia Pancakarsa artinya janji atau tekad yang bulat untuk melaksanakan lima kehendak dalam kelima sila Pancasila..."
Silih berganti kata Pancasila keluar dan masuk telinga Seti. Rasa bosan dan kantuk mulai menggodanya.
...----------------...
Lirik kanan kiri ... tangan Seti merogoh masuk ke saku kanan celananya mencari sesuatu. Lalu pindah ke saku kiri. Berpindah ke dalam tas di sampingnya, sambil tetap waspada tengok kanan kiri menghindari tatapan bengis kakak pengawas ... tidak ketemu juga yang dicari.
Diam sejenak, Seti mencoba mengingat-ingat di mana permen Davos yang disimpannya tadi.
Pandangan Seti akhirnya tertuju pada bungkusan bundar biru yang sangat dikenalnya.
Tergeletak di bawah kursi depan tidak jauh dari tempatnya duduk. Tulisan putih Davos di kemasan biru terlihat jelas di sana. Rupanya si Davos terjatuh saat coba dikeluarkan dari saku, menggelinding ke depan.
Perlahan Seti menjulurkan kakinya dengan hati-hati, pelan-pelan digesernya dengan ujung sepatu.
Mencoba mendekatkan permen tadi ke tempatnya duduk. Waspada lirik kanan kiri memperhatikan pandangan kakak kelas yang menjadi panitia pengawas.
Susah payah Seti mendekatkan permen incarannya tanpa menyadari sepasang mata bening memperhatikan tingkahnya dari belakang tempatnya duduk ...
...----------------...
Dirasa aman dari jangkauan pengawasan kakak kelas, Seti sengaja menjatuhkan ballpoint di tangannya, merunduk untuk mengambilnya dan tentu saja sekalian dengan permen incarannya yang sudah ada di sebelah bawah dia duduk.
Meraih secepatnya... dan dirasakannya ada yang menendang dari arah belakang ... Davos dalam genggaman terlepas ... menggelinding menjauh sampai ke depan, dan sialnya tepat di hadapan kaki kakak kelas pengawas sok berwibawa yang kebetulan melintas.
Wajah kakak kelas pengawas menjadi menakutkan setelah memungut permen Davos yang menggelinding di depannya.
Berbisik dengan kakak kelas pengawas yang lain, mata mereka tertuju pada Seti yang mulai berkeringat dingin.
"Setan ... modar aku," gumamnya lirih. Untungnya kakak kelas pengawas sepertinya tidak terlalu peduli dan mengalihkan tatapan kejamnya.
"Huuuuft ..." Nafas panjang Seti terhembus... lega hatinya.
Di belakangnya terdengar suara cekikikan seakan mentertawakan atraksi sulap ballpoint jadi permen Seti yang gagal. Seti tidak berani menengok ke belakang, takut kegaduhan memancing kakak pengawas mendatanginya.
Jengkel bercampur penasaran kepada bocah di belakang yang terang-terangan berani menjahilinya, kantuk Seti hilang seketika. "Lihat saja nanti selepas sesi ini, tak ajak berantem kamu." Ancam Seti dalam hati.
...----------------...
Seti bukan tipe bocah pemarah, dia mudah bergaul, tetapi juga bukan bocah penakut. Dirinya akan meledak jika ada anak yang belum dikenalnya dirasa menantang.
Saling menatap atau olok-olok antar suporter tim voli SMP dulu bisa membuat sumbu ledak perkelahian bebas.
Tentu saja berkelahinya bocah SMP secara fair. Satu lawan satu tidak liar model keroyokoan atau pakai senjata. Berhenti karena sama-sama ngos-ngosan atau ada yang ngaku keok.
Jika kebetulan ada yang melintas dan membentak membubarkan perkelahian , para bocah petarung itu akan tunggang langgang lari bareng atau berboncengan sepeda, menyusul suporternya yang sudah lebih dulu kabur.
"Siapa setan ini ... " Gerutu Seti dalam hati. Materi penataran sama sekali tidak dihiraukannya lagi. Seti menghela nafas panjangnya tak sabar menunggu bel istirahat untuk melampiaskan kejengkelannya.
...----------------...
"Teeeet...teeeet...teeet ..." Waktu istirahat yang dinanti Seti akhirnya terdengar mengakhiri sesi Ekaprasetia Pancakarsa.
Tak menunggu lama, Seti berpaling ke belakang, mencoba mencari tahu siapa bocah yang sengaja menjahilinya tadi.
"Davos ni yeeee... hihihi..." Suara bocah perempuan mengagetkan Seti.
Jantung Seti berdebar hebat... Beradu pandang dengan sepasang mata bening... Takjub seperti melihat kejora di saat fajar.
"Ah ... kupikir laki-laki ... " Hati Seti bergemuruh.
Tatapan kejora bocah perempuan semampai bersepatu kets putih membuat Seti terpaku ... Jengkelnya hilang terbang entah kemana ... Kegarangan macan Seti melembut menjadi kucing meyong rumahan.
Sepasang mata bening itu terus menatap Seti, bibir tipisnya yang basah terus mentertawakan Seti yang tak bisa bergeming ... "Oh my God ..." Rasa aneh itu tiba-tiba hinggap entah dari mana datangnya ...
...----------------...
"Sumpah mati ... Bocah perempuan di mobil Kijang merah yang tadi pagi berhenti di depan warung itu sangat cantik Joe," cerita Seti berapi-api kepada Joe saat bersama-sama pulang. "Tapi juga sangat menjengkelkan." Sambungnya mengeluhkan kejahilan si sepatu kets putih.
Alih-alih kantuk hilang menikmati semriwing-nya Davos. Kantuk Seti hilang karena ulah si sepatu kets putih yang membuatnya meradang.
Sepanjang jalan, Seti terus menggerutu mengungkapkan kekesalannya tadi kepada Joe yang diboncengnya.
"Untung saja kakak pengawas tidak menghiraukan siapa yang menggelindingkan permen tadi, coba kalau kalau aku ketangkep ... dituduh membuat gaduh, meresahkan, makan permen di aula ... Waduh .... apa aku gak disuruh ngulang tahun depan ?" Seti masih nyerocos.
Joe terbahak menanggapi cerita Seti.
"Harusnya kamu langsung comot kakinya Set ... biarkan dia meronta dan merintih meminta ampun padamu ... Sejak kapan pria dijajah wanita ?"
"Mana aku tahu itu kakinya ... kalau kaki sesama jenis ?"
"Embat aja ... jenis kelamin tidak terlalu penting, yang penting kasih sayang." Jawab Joe sekenanya, mencoba menghilangkan kekesalan hati Seti.
Keduanya terbahak bersama sepanjang jalan saling mengolok akrab ... Indahnya warna warni hari pertama SMA.
-----------------
*Joglo : rumah adat Jawa dengan atap berbentuk gunungan.
* Kursi Jengki : kursi kayu dengan sandaran tangan melengkung sampai bawah.
* Hai : majalah remaja mingguan 1977-2017.
*Kemayu : sok cantik dalam bahasa Jawa.
*Kets : jenis sepatu sneaker yang diucapkan dari merek keds yang terkenal.
*Obrolan ngalor ngidul : obrolan tidak jelas.
*P4 : Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila.
Here comes the sun do, do, do .... Here comes the sun ....And I say it's all righ ...Little darling, it's been a long cold lonely winter
Little darling, it feels like years since it's been here ...
Here comes the sun do, do, do ...Here comes the sun ...And I say it's all right ...
Here Comes the Suns-nya The Beatles terdengar riang dari dalam kamar Seti.
Sehabis mandi pagi, seperti biasa yang punya kamar sibuk mengikat rapi rambut kucir-nya. Susah payah menyembunyikannya dari razia rambut gondrong guru BP.
Seti berharap kucir-nya akan baik-baik saja, selamat dari razia rambut seperti yang sudah-sudah.
Tidak bisa dibayangkannya muka jahil Joe mengabarkan berita ke seluruh geng warung jika dirinya ceroboh menyembunyikan kucirnya. "Seti kucir menjadi Seti trondol terjaring razia rambut gondrong ... !!!"
...----------------...
Dari teras rumah joglo suara Bapak berteriak mengingatkan jam sekolah. Tergopoh-gopoh Seti mematikan tape deck peninggalan Seto. Irama rock n roll itu terhenti.
Pekerjaan yang paling menyenangkan Seti setelah keluar kamar adalah mengusap lembut badan si Denok dengan lap kanebo. Dari jeruji sampai ujung jok tidak terlewat dari sapuan tangannya.
Menjauh sedikit memastikan cat merahnya semakin menyala, Seti merasa puas melihat kesayangan-nya resik berkilau cantik sesuai namanya ... si Denok.
Puas mendandani si Denok, pekerjaan selanjutnya yang tak kalah menyenangkan adalah berpamitan ke Ibu yang sedang berias, mencium tangannya berharap suasana hati Ibu riang dan memberinya uang saku lebih. Lalu berangkat tepat setengah tujuh setelah menyeruput kopi Bapak yang sedang mandi seperti biasanya.
Santai Seti... toh hari ini penutupan penataran P4 sekaligus hari Sabtu, hari yang panjang untuk melepas lelah.
Si Denok melaju menemani jiwa muda di atasnya. Jiwa muda bertumbuh kembang yang haus mencari pengetahuan.
...----------------...
Belok ke kanan setelah pertigaan Klenteng Sokaraja, lurus mendekati pertigaan Sangkal Putung, Laju si Denok melambat saat Seti melihat mobil kijang kotak merah yang keluar dari sebuah garasi rumah di tepi jalan yang mulai ramai.
Di sampingnya ada sosok perempuan yang pernah membuat jantungnya berdebar kencang ...
Hati Seti berdesir ... "Ah di sini rupanya kamu sepatu kets putih." Rasa aneh itu muncul lagi...
Mata bening, rambut panjang terurai itu mengingatkan dongeng Nenek sebelum tidur. Dongeng tentang dewi Nawangwulan yang turun dari kahyangan. Yang membuat nekad Jaka pemuda kampung Tarub nekad mencuri selendangnya, untuk dapat mempersuntingnya.
"Sesempurna diakah Nawangwulan ? Bidadari di pajangan galeri lukisan Sokaraja ? Yang membuat pemuda kampung nekad mencuri selendangnya ? Kenapa baru sekarang aku melihatnya ? Padahal hampir setiap hari aku melewati jalan ini ?" Silih berganti pertanyaan melintasi benak Seti.
Huuuh... sudahlah Seti, ngapain dipikir ... perhatikan jalan.
...----------------...
Brmmmmmm... si Denok melewati bayangan dewi Nawangwulan di pagi yang meramai ... gas pol membelah jalan Raya Sokaraja - Purwokerto, menari kanan kiri mendahului kendaraan di depannya ke arah rumah Joe.
Tak lama Seti tiba di depan Rumah Joe. Rumah bercat krem di ujung gang ke-3 komplek perumahan pinggiran Purwokerto yang masih belum semuanya terisi.
Masih di atas si Denok, Seti ribut berteriak-teriak memanggil Joe dari depan rumah itu.
Dari balik pintu samping rumah, Joe muncul. Tangannya sibuk memainkan tusuk gigi. Rambutnya kaku disisir ke belakang berkilat polesan minyak Tancho tebal.
Walau Seti sering mengolok gaya rambut Joe seperti pelok biji buah mangga matang yang berkilat ... Joe tetap saja bangga dengan gaya rambutnya itu.
"Jangan terlalu ngebut Set ... aku selilitan,"
"Wah sarapan mewah nih Joe...Sate ayam ? Bistik sapi ?"
"Tempe mendoan,"
"Kok bisa nyelip di gigi ?"
"Tempe mendoannya gak nyelip... lombok merahnya yang nyelip nih," memamerkan lombok merah yang nyelip di gigi depannya, Joe sibuk dengan tusuk giginya.
"Padahal sudah kusikat gigi habis-habisan loh, gak ilang juga ... sial ... bisa pudar ketampananku pagi ini," ujarnya lagi.
Seti tertawa kencang..."Hay tampan... yuk lets go," Seti kemayu menirukan suara banci yang sering dilihatnya di sekitar bioskop Rajawali dekat terminal bus Purwokerto.
"Lets go ndasmuuuu....!" Joe melompat naik ke jok belakang si Denok.
Si Denok pun kembali melaju perlahan. Seakan menjadi saksi perjalanan hidup dua bocah pecicilan mendalami arti persahabatan.
Ah persahabatan.... Makhluk apakah itu ? Jalinan dua atau lebih hati yang tersatukan rasa amarah, canda, tawa, dan tangis tanpa meninggalkan luka membekas ? Dia (persahabatan) abadi selama hidup ? Tak tergores ruang dan waktu ?
...----------------...
Sehubungan dengan pembangunan ruang kelas yang belum selesai, anak kelas satu masuk siang mulai pukul 12.OO-17.00 WIB sampai ada pengumuman selanjutnya. Ruang kelas satu sementara bisa dilihat di kertas yang tertempel di pintu kelas.
Tulisan pengumuman pembagian kelas terpampang di papan pengumuman sebelah aula.
Seti ikut berdesakan di depan papan pengumuman itu, di tengah kerumunan anak-anak baru yang berebutan mencari tahu kelas masing-masing setelah Penataran P4 ditutup tepat jam 12 siang tadi.
Setiaji I-8 ...Seti membaca daftar anak-anak tiap kelas di bawah kertas pengumuman tadi berulang-ulang untuk memastikan namanya.
Anak yang sudah saling kenal berjingkrak senang mengetahui mereka satu kelas. Seti membacanya sekali lagi... tidak ada nama di kelas itu yang dikenalnya. "Ah bakalan sepi ... gak ada satupun geng warung yang satu kelas." Gumamnya dalam hati.
...----------------...
Dari aula, Seti bergegas mencari ruang kelasnya.
Ruang kelas masing-masing di SMA itu dihubungkan koridor kayu jati beratap genteng plentong. Melindungi dari terik mentari siang itu.
Kanan kirinya tumbuh pohon Kelengkeng besar. Mungkin sudah puluhan tahun umurnya, menyejukkan suasana.
Lantai ubin dingin berkilat bersih terawat menyambut jejak langkah Seti memasuki ruang kelasnya. Ada satu dua teman kelasnya yang masih asing bergantian keluar masuk.
Seti tidak terlalu mempedulikan mereka, asik memelototi meja jati kuno bercat plistur coklat panjang dengan laci di bawahnya cukup untuk menulis dua orang. Masing-masing meja ada dua kursi kayu.
Papan tulis besar terpasang di depan. Jendela bercat abu-abu berdaun dua terbuka atasnya. Terasa segar udara di siang menyengat.
Ada 22 pasang meja di kelas, Seti menghitungnya. "Kelas yang besar." Gumamnya dalam hati.
...----------------...
Puas melihat-lihat kelas barunya, Seti melangkahkan kaki keluar kelas menuju warung Bango mencari Joe.
"Kunyuk itu pasti sudah nongkrong di Warung sejak tadi." Tebaknya. Benar saja, dilihatnya Joe dan geng warung sedang berdesakan mengerumuni mobil promosi rokok yang terpakir di depan warung itu.
Dua SPG sexy dengan dandanan menor sibuk membagikan stiker, kaos, dan tentu saja rokok yang dipromosikannya. Seti mendekat ingin tahu. Semua berdesakan, saling berebut.
"Mbak'eee... aku belum kebagian rokoknya ...!" Teriak Joe kencang.
Jarinya mengacung ke atas. Matanya disayu-sayukan seperti anak kecil merajuk meminta es krim kepada kakak perempuannya.
"Terus tadi siapa yang mbak kasih rokok ?"Mbak rambut poni bertanya.
"Dia mbak ..!" Joe menunjuk Seti yang baru saja nimbrung.
Yang ditunjuk terperanjat "Sialan ni kunyuk ... baru nyampe kok malah dituduh nerima rokok." Dongkol setengah mati hati Seti.
"Ya sudah .. ini buat kamu ... rokok promosi terakhir," mbak SPG rambut merah memberikan sebungkus rokok ke Joe.
"Yang belum kebagian, jangan lupa tonton grasstrack-nya besok pagi sampai sore di lapangan Berkoh kalau mau dapat rokok gratis lagi. Ada Tonk'enk dan Hoho loh ..." Ujarnya lagi sambil berkemas dan mengingatkan besok ada event balap grasstrack.
Seti paham apa balapan grasstrack yang merupakan ajang balapan motor di trek tanah. Bedanya dengan balapan motor cross yakni membatasi kapasitas mesin motor balapnya. Grasstrack umumnya mempunyai kapasitas mesin dari 110 cc sampai 125 cc.
Seti tidak terlalu suka menonton grasstrack, selain panas dan berdebu, penontonnya terlalu rapat berdesakan di sirkuit. Sering terjadi kecelakaan di tikungan ketika pembalap saling bersenggolan dan menabrak penonton yang berjubel.
...----------------...
"Kiss bye mbak'eee... muach ..." Suara Joe yang terdengar keras sambil memonyongkan bibirnya mengalihkan Seti dari bayangan grasstrack-nya.
Mbak SPG rambut merah membalas dengan genit dari balik kaca mobil setelah selesai mengemasi barang promosinya, "Muaaach jugaaa ..!"
Kerumunan geng warung itupun bubar tak lama setelah mobil promosi rokok itu pergi.
"Besok nonton grasstrack-nya Joe ?" tanya Seti.
"Gak ah ... Kulitku gatal-gatal kalau kena debu ... mending nonton balap liar aja di alun-alun ntar malam. Banyak ceweknya ... geng warung juga hadir Set," Joe menjawab sambil menyalakan rokok yang tadi diterimanya dari mbak SPG
Walau tidak terlalu suka merokok kali ini Seti menerima sodoran rokok dari Joe.
"Oke kita berangkat jam delapan ... Malam ini aku nginap di tempat Nenek," Seti menjawab ajakan Joe. "Tapi kita ke Sawangan dulu ya, temani aku beli mendoan buat Nenek." Sambungnya lagi.
...----------------...
Malam Minggu ini hati Seti riang. Saat berpamitan tadi, ibu memberikan uang jajan lebih, sekalian menyuruhnya menengok dan membelikan oleh-oleh buat Nenek sepulang sekolah.
Nenek Seti pensiunan bidan. Rumahnya tidak jauh dari sekolah Seti. Sebelum tinggal di rumah joglo, Seti dan Seto kakaknya tinggal di rumah Nenek sejak SD sampai SMP.
"Sudah tahu kelasmu ?" Joe mengalihkan obrolan.
Mulutnya asik memainkan asap rokok membuat lingkaran asap yang menari-nari ke atas...lalu menghilang.
"Satu Delapan dekat kantin koperasi ... kayaknya gak ada yang kukenal ... Kelasmu Joe ?"
"Satu Enam... tuh dekat WC,"
"Ada yang kenal ?"
"Paling si Lusi anak gang 5 ... lainnya belum tahu ... gak kuperhatikan semua nama yang ada,"
"Lusi kriwil ? Bukannya kamu berkali-kali ditolaknya? Ah, ternyata kamu memang berjodoh dengannya... Takdir kembali mempertemukanmu dengannya teman ... Untuk menolak cintamu yang kesekian kalinya." Seti tertawa keras.
Lusi anak gang 5 di Perumahan Joe tinggal. Si centil berambut kriwil yang jika berjalan di depan Joe melenggok seperti model dengan rok span di atas dengkul. Genit menggoda setiap berpapasan seakan panah Amor yang menusuk Joe.
"Asuuuu ... !!!" Umpat Joe ... Luka hatinya tercabik lagi.
...----------------...
Di pesta perpisahan SMP dulu, Joe berusaha menyatakan cintanya kepada Lusi. Seharian dia berusaha menghapalkan puisi cintanya Kahlil Gibran. Mencari pinjaman celana Lea dan kemeja flanel supaya mempesona.
Saat yang dinanti tiba, saat yang dirasanya pas untuk menyatakan isi hatinya ...
Dan Lusi ternyata datang dengan pacarnya ke pesta perpisahan itu ... Hati Joe luluh lantak ... rangkaian kata ucapan cintanya terhempas padam seketika, seperti lilin tertiup topan tornado ...Busur panah Amor patah remuk redam.
Tawa Seti semakin kencang mendengar umpatan Joe tadi. Anak yang lain ikut-ikutan mengolok-olok kisah cinta Joe yang berantakan. Joe yang terpojok hanya bisa mengumpat, mukanya ditekuk tidak bisa membalas.
"Sudahilah rasa patah hatimu teman ... mendingan sekarang kita jalan ke Sawangan. Beli mendoan, lalu ngopi bareng di rumah Nenek." Ajak Seti.
Lalu matahari semakin meninggi ... warung Bango menyepi.
...----------------...
Tiap malam minggu, alun-alun Purwokerto dipenuhi remaja tanggung. Mulai ramai sekitar jam 10 malam, setelah toko-toko tutup dan jalanan yang lebar sepi lalu lintas.
Di jam itu satu dua motor mulai beradu balap dari arah bank BNI sampai depan LP. Semakin malam semakin banyak. Tiap geng motor memakai jaket seragamnya. Bergerombol di kanan kiri jalan, bersorak menyemangati motor-motor yang berpacu.
Astrea Star dengan roda depan belakang ditutup plat bekas drum olie made in Karang Lewas, Astrea 800 knalpot dibobok saling menyalip.
Duduk di atas si Denok yang terparkir di sudut alun-alun, Seti dan Joe memperhatikan motor yang saling berpacu.
Rebusan kacang kulit berbungkus koran ada di genggaman mereka. Kulitnya sesekali dilemparkan iseng ke teman nongkrong yang ada di depannya. Yang dilempar membalasnya dengan umpatan bercanda.
Hampir setiap hari bertemu dan bersapa di warung Bango di sela jam istirahat sekolah cepat mengakrabkan gerombolan itu. Malam itu geng warung puas menghabiskan malam panjangnya.
"Sit suiiiit..!" Suara siulan Joe keluar.
"Haiii ... Mbak'eee cantiiik ... met malem minggu yang indah..!" Timpal yang lain.
Bergantian siulan dan godaan keluar dari gerombolan bocah baru gede itu jika ada perempuan yang menarik melintas di sela balapan liar itu.
Ada yang menanggapi keisengan bocah baru gede yang petantang petenteng gak jelas, tapi kebanyakan sih mengabaikan dengan cemberut.
...----------------...
"Gak sengaja, tadi pagi aku melihat si sepatu kets putih di depan rumahnya Joe," Seti berkata kepada Joe di tengah polah keisengan mereka.
"Cewek yang bikin kesal kamu dulu ?" Jawab Joe. Tangannya masih sibuk mengupas kacang rebus.
"Yo'i ... ,"
"Terus kamu deketin ?" Tertarik obrolan tentang si sepatu kets Joe merapat.
"Gaklah ... mana berani aku. Sopirnya sangar pernah memelotiku waktu tak sengaja mobilnya kutabrak,"
"Lalu ngapain kamu cerita ... Kalau cuma lihat gak kamu samperin ... Percuma kamu jadi teman Joe idola para gadis," Joe mulai mulai mengolok Seti.
"Hahaha ... Sialan kamu. Aku hanya kaget aja waktu melintas. Kulihat dia ada di tepi jalan waktu berangkat tadi pagi," yang diolok mulai cengengesan, takut yang lain ikut nimbrung.
"Jatuh cinta ni yeeee ...," Joe meneruskan ledekannya.
"Si kucir gundah gulana hatinya ... jangan-jangan si kucir cuma terpikat sepatunya ... Bukan ceweknya..." Yang lain mulai nimbrung, seperti yang dikuatirkan Seti.
"Ho'oh ... Dasar si kucir ... Maniak sepatu," olokan Joe semakin menyudutkan Seti.
"Kalian semua bedebaaah ...!" Umpat Seti yang hanya bisa cengar cengir.
Pojok alun-alun tempat gerombolan itu berkumpul semakin meriah dengan teriakan saling olok dan candaan gerombolan geng pecicilan yang akan memasuki dunia barunya.
...----------------...
Dunia baru anak baru gede sungguh menyenangkan ketika berkumpul dengan sebaya pada suasana hati yang sama.
Waktu tak terasa berlalu cepat. Dingin larut malam mulai terasa. Kantuk mulai menggayut. Saatnya merebahkan tubuh muda yang sedang tumbuh dewasa menjadi lelaki.
Satu persatu gerombolan bocah itu pergi meninggalkan pojok alun-alun. Berpisah di persimpangan masing-masing ... Dengan cerita yang sama tentang hari ini. Bersiap menyapa cerita esok hari ... Cerita yang entahlah ...
...----------------...
Minggu Pagi di kamar luar sebelah rumah Nenek. Masih setengah mengantuk, Seti dan Joe bermalasan di depan meja bundar marmer.
Di atasnya dua gelas kopi dan sepiring tempe mendoan panas ditemani lombok rawit hijau segar menggoda ada di piring kecil di dekatnya. Mas Sarno pembantu Nenek yang menyediakannya tadi ketika mereka baru bangun.
Semalam Joe ikut tidur di tempat nenek Seti setelah jam dua belasan mereka baru pulang dari kluyurannya di alun-alun.
Masih menguap, sambil menggeliat Joe mencomot mendoan yang masih panas. Pedas lombok rawit ijo yang digigitnya menampar kantuknya.
Di depannya Seti meniup kopi, menyeruputnya pelan. Merasakan sensasi hangat di kerongkongannya.
"Ke mana kita hari ini ?" Joe bertanya. Mulutnya sibuk mengunyah mendoan.
"Billiard yuk ke Nusantara," jawab Seti.
"Tapi aku gak ada uang. Uangku habis semalam buat foya-foya dengan kalian,"
Seti ngakak ... Joe mulai membual. Dia tahu semalam Joe tidak mengeluarkan uang sepeserpun.
"Aku tuh ngajak billiard bukan ngemis uangmu,"
"Oh baiklah kalau begitu. Aku akan dengan senang hati mengikuti permintaanmu teman ...Tidak baik aku menolak paksaanmu,"
"Lagipula besok kita masuk siang Joe. Kalau cuma satu dua game aku masih sanggup mentraktirmu main billiard,"
"Terlalu banyak kelas kita Set, besok kita singgahi satu persatu ... Aku mau pindah kelas jika gak ada yang cantik di kelasku," Joe mengalihkan pembicaraan.
"Bukankah katamu ada si Lusi di kelasmu ? Sudah tidak tergodakah kamu dengan pesonanya ?"
"Tidak... Aku akan mencoba memanas manasinya jika ada yang lebih sexy dari dia,"
"Hahaha ... Atau jangan-jangan kamu yang semaput melihat dia bermesraan dengan teman sekelasmu yang lebih tampan ?" Seti tertawa lagi.
Joe ikut ngakak ... "Asuuuu ..." Umpatnya.
"Aku mandi dulu ... Menemani ngobrol Nenek sebentar sambil memijitinya dulu di dalam, baru kita berangkat," Seti beranjak dari duduknya meninggalkan Joe.
"Kamu habisin aja dulu mendoan sama kopinya .., tuh ada handuk di lemari kalau mau mandi." Sambung Seti lagi sambil berlalu ke rumah utama menemui Nenek, yang seperti biasa pasti sudah ada di depan Tivi menunggu acara Ria Jenaka kesukaannya.
...----------------...
Joe menguap, kantuknya masih belum hilang benar. Berdiri menggeliat sepeninggal Seti ... Mendekati tape compo Tens yang ada di atas lemari kecil. Dipilihnya kaset Rolling Stones peninggalan Seto kakak sohibnya.
Watching girls go passing by ... It ain't the latest thing
I'm just standing in a doorway ... I'm just trying to make some sense
Out of these girls go passing by ...The tales they tell of men
I'm not waiting on a lady ... I'm just waiting on a friend ...
Merdu suara Mick Jagger mengawali hari Minggu dua bocah itu. Alunan Waiting on friend seakan menjawab kegelisahan menunggu teman sekelas yang akan ditemuinya besok.
-----------------------------
*Trondol : potongan rambut tidak rata dalam bahasa Jawa.
*Ndasmu : umpatan bahasa Jawa yang artinya kepalamu.
*Kunyuk : sejenis kera dalam bahasa Jawa.
*Asu : umpatan bahasa Jawa yang artinya anjing.
*Semaput : pingsan dalam bahasa Jawa.
Asri mengelap wajah berkeringatnya dengan saputangan di bawah rerimbunan pepohonan sekolah.
Bibirnya terasa kering. Bayangan pepohonan itu sedikit menyejukkan kekesalan hatinya. "Menyebalkan, ... Kenapa harus masuk siang di hari pertama SMA ?" Keluh hati kecilnya.
Efek puncak angin muson timur sangat terasa siang itu. Panas menyengat.
Tadi pagi Joko kakak Asri berangkat kuliah. Tidak bisa mengantarnya seperti biasa. Bapak sudah sibuk di bengkel kerjanya, Ibu masih belum percaya membiarkannya naik motor sendiri dari rumah ke sekolah.
Naik angkot menjelang tengah hari tadi, lalu berdesakan selama setengah jam di dalamnya memuramkan suasana hatinya.
Untungnya angkot melewati depan sekolah. Turun dari angkot, berjalan sebentar menyusuri jalan berdebu samping sekolah terasa sangat lama dan membosankan. Wajah baru teman yang searah dengannya lewat begitu saja.
Langkahnya dipercepat memasuki halaman sekolah. Tak mau berlama-lama di bawah terik menyengat.
...----------------...
Duduk di bangku beton di bawah naungan bayang pepohonan kelengkeng halaman sekolah yang teduh sedikit mengurangi kekesalan hati Asri.
Mengeluarkan diary-nya. Ujung pena Asri mulai menari menggoreskan rangkaian kata yang rutin dilakukannya sejak kelas satu SMP ... Oase yang menyejukkan hatinya setiap membaca helai demi helai coretannya jika hatinya gundah.
Senin, 20 Juli 1987 ...
Siang hari yang sangat gak banget. Panas-panas begini malah kelayapan di pinggir jalan.
Mending ada yang diajak ngobrol ... aku kayak suku primitif di tengah peradaban...
huhuhuuuu ...
Asik merangkai kata, Asri terkaget menyadari sosok bocah perempuan mungil yang tiba-tiba sudah duduk di sampingnya.
"Hening ...," terdengar suara menyebut nama, tersenyum manis menyapa, mengulurkan tangan.
"Asri ....," sedikit tergagap Asri menjawab. Diary-nya disisipkan ke dalam tas, membalas uluran tangan halus yang terjulur.
"Kelas berapa ?" Tanya bocah perempuan mungil itu lagi.
"Satu Delapan ... Tuh di depan," Asri menunjuk kelas tepat di depan mereka duduk.
"Sama... Itu kelasku juga... Sudah dapat tempat duduk ?"
"Belum, baru nyampe ... Terus duduk-duduk dulu aja di sini," Asri merasa tidak sendirian lagi.
"Ntar aja pas bel masuk bunyi, kita sama-sama masuk kelas," lanjut si mungil itu lagi.
Hening yang baru dikenal Asri pandai mencairkan kekakuan suasana.
Bocah perempuan mungil cantik yang beranjak gadis. Ramah kepada siapa saja yang baru dikenal. Rambut poni setengah dahi menunjukkan rasa percaya dirinya. Wajah putihnya terlihat segar di siang yang panas.
"Moga-moga aja kelas kita banyak Arjunanya," cerocos Hening yang mulai akrab ... Sifat aslinya mulai keluar.
"Hihihi... gak ada tuh. Sejak penataran kemarin sudah kusortir cowok-nya ... bluwek semua," Asri tertawa.
Asri mulai suka kepada Hening. Tadinya dia sempat berpikir tidak akan secepat itu mendapat teman yang dirasanya klik di suasana baru SMA-nya.
"Iya ... mentang-mentang diterima di sekolah top ... Dah bluwek, kelakuannya kayak robot mekanis semua ... Siap grak ... berdoa dimulai ... berdoa selesai ... serba teori," Hening bercerita suasana penataran kemarin di aula sekolah itu. " Dah gitu jam istirahat bukannya ngobrol kenalan sana sini, malah sibuk baca buku teori Pancasila." Isi hatinya mulai keluar satu per satu.
Tawa Asri lepas mendengar kegalauan hati Hening. Akhirnya senyumnya kembali merekah indah di dunia barunya. Lenyap sudah kekesalan hatinya.
Mengikuti sebuah proses yang menyebalkan akan menjadi menyenangkan jika mau memahaminya ... Dua bocah perempuan sama-sama cantik beranjak gadis itu mulai memahami arti sebuah proses.
Tidak melulu harus penuh kejengkelan kemuraman hati yang menyebalkan untuk melaluinya, ... toh di dalamnya ada sesuatu yang bisa dinikmati.
...----------------...
Terpaksa duduk di meja depan dekat pintu keluar masuk kelas, Asri dan Hening mulai menata laci meja setelah bel masuk kelas berbunyi.
Salah sendiri ... asik bergosip membuat mereka terlambat berebut meja.
Hanya meja itu dan meja lain di sudut belakang yang tersisa. Meja dekat pintu itu, walaupun enak dan sejuk terkena angin, tapi melompong bawahnya. Memudahkan siapa saja yang lewat dari luar pintu iseng mengintip jika yang duduk di belakang meja itu anak perempuan.
Pak Akur wali kelas satu delapan mulai mengabsen satu per satu. Sosok tinggi kurus, kumis melintang, baju safari dengan celana cut bray itu sedang menyelesaikan absensi, ... saat tiba-tiba saja seorang bocah laki-laki nyelonong masuk dengan terengah-engah.
"Weit ... sopo kowe ? Slonang slonong ... Ketuk pintu dulu !!!" Bentak pak Akur.
Yang dibentak menghentikan langkahnya ... Bocah itu balik lagi keluar kelas mengikuti bentakan pak Akur.
Seisi kelas tertawa menatap muka cemong berlepotan tanah campur oli tap-tapan yang berdiri di tengah pintu kelas ...Tangan kanannya mulai mengetuk pintu.
Deeeeg ... Terkesiap hati Asri di tengah tawa berkepanjangan seisi kelas... Dikenalinya wajah cemong di depan pintu ... si Davos pecicilan itu !
Pak Akur ikut tertawa melihat Seti yang masih bengong berdiri di pintu.
"Sini masuk," pak Akur melambai.
"Selamat siang pak... maaf saya terlambat ... Barusan kecelakaan di jalan," Seti mencoba menjelaskan sambil mendekati pak Akur.
"Tabrakan ?" Tanya pak Akur.
"Tidak pak...Ban motor bocor di jalan. Pas mau nambal nunggu tukang nambalnya lamaaaa banget pak ... Lagi makan siang,"
"Lah terus kecelakaannya di mana ?"
"Karena lama nunggunya, ... makanya saya bongkar sendiri ban luarnya dulu biar cepat...,"
"Terus motornya ngrubuhin kamu ?"
"Gak juga pak ... Selesai nambal kan sudah hampir jam dua belas. Jadi saking buru-burunya saya gak lihat ember air yang buat ngetes ban bocor," mengalir cerita kesialan Seti.
"Nah saya kepleset ember itu pak... Jatuh terjengkang saya pak ... Demikian kecelakaannya pak ... Makanya saya terlambat pak,..." Seti terus nyerocos.
Kelas semakin gaduh mentertawakan kecelakaan yang aneh versi bocah pecicilan itu.
"Itu bukan kecelakaan ... Tapi pecicilan. Dah kowe ke guru BP sono... minta surat ijin masuk dulu !" Pak Akur menyuruh Seti ke ruang BP, lalu menyuruh kelas tenang kembali.
...----------------...
Berbalik ke arah pintu ... Jantung Seti serasa terbang.
Kejora bening itu berpijar dihadapannya ...
Suara tawa dari bibir tipis lembut menghunjam ulu hatinya di sela langkah kakinya ... "Oh My Godness ... Rambut panjang terurai Nawangwulan...Huuuuft si sepatu kets putih !" Hela nafas Seti tak beraturan.
Campur aduk perasaan Seti saat ngeloyor meninggalkan ruang kelas yang perlahan tenang.
"Pantas saja si Denok merajuk memberi firasat ... Bocah iseng jahil itu satu kelas denganku rupanya... Lihat saja nanti pembalasanku ..." Banyak rencana melintas di pikirannya.
...----------------...
Bu Restu guru BP senyam senyum sambil memberikan surat ijin masuk kelas setelah jam pelajaran berikutnya ke Seti. "Cari cermin dulu kamu ... lalu ke kamar mandi," ujarnya.
"Kenapa bu ? Bukankah cukup surat ini saja sudah boleh masuk kelas ?" Seti masih belum paham.
"Dah kamu ngaca aja dulu, nanti kan paham,"
"Baik bu... Terimakasih ...Selamat siang." Seti meninggalkan ruang BP ke arah parkiran motor.
...----------------...
Bercermin di kaca spion si Denok barulah Seti sadar kenapa seisi kelas Satu Delapan tadi mentertawainya.
Tampak jelas di kaca spion si Denok belang di hidungnya. Warna cemong hitam melintang serong dari kening melintasi hidungnya sampai dagu.
"Setaaaan ..." Umpatnya lirih, menatap wajah mirip Gareng Ria Jenaka-nya Nenek muncul di kaca spion si Denok.
Bergegas ke kamar mandi sekolah. Seti menggosok keras mukanya dengan tisu. Berkali-kali membilas muka cemong-nya dengan air ledeng lalu berjalan lagi ke arah parkiran untuk berkaca ...Memastikan mukanya sudah bersih.
"Naaah ... Seharusnya wajah ini yang dipandang si sepatu kets tadi," kutuk Seti dalam hati meratapi kesialannya hari ini.
Mata Seti sekali lagi mengawasi dengan teliti hidung mancung di kaca spion si Denok. Takut masih ada cemong yang tersisa.
...----------------...
Menunggu jam pelajaran berikutnya, Seti mencari perpustakaan sekolah.
Menunggu itu terasa lama dengan berdiam. Lakukan sesuatu maka waktu tak terasa. Nasihat Bapak yang selalu diingat Seti jika sedang menunggu sesuatu.
Menyusuri koridor antar kelas yang saling terhubung menuju perpustakaan ... Pijar bening Kejora itu terus terbayang ... Tidak mengganggu ... Seti mulai menikmatinya.
...----------------...
Pak Akur menunjuk Ketua, Sekretaris, dan Bendahara kelas setelah selesai mengabsen. Memberikan jadual pelajaran dan nama-nama Guru tiap mata pelajaran.
"Berhubung jam pelajaran kalian terganggu pembangunan kelas yang belum selesai. Maka tiap jam mata pelajaran dipadatkan yang seharusnya empat puluh lima menit jadi tiga puluh menit." Lanjutnya.
"Sekarang isi kertas yang bapak bagikan. Isi alamat serta wali kalian dengan benar. Jadi kalau ada apa-apa bapak tidak repot." Pak Akur mulai membagikan kertas yang dimaksud. "Setelah itu jawab kuisioner yang ada di bawahnya, sehingga pihak sekolah tahu apa yang kalian keluhkan dan butuhkan !"
Kelas mulai sibuk, berbenah menyiapkan materi dari pak Akur. Tak terasa jam pertama pelajaran berbunyi, berganti jam pelajaran kedua.
Pak Akur meninggalkan kelas setelah mengumpulkan kertas yang tadi dibagikannya saat Seti muncul lagi di depan pintu.
Seti menyerahkan surat dari guru BP ke pak Akur yang berpapasan, ... yang lalu mengijinkannya masuk kelas.
...----------------...
Cengar cengir Seti memasuki kelas Satu Delapan-nya.
Di belakang ... kasak kusuk polahnya tadi kembali membuat gaduh kelas.
Hening berdehem menyenggol Asri ... "Si cemong lumayan juga As," bisiknya.
"Ah biasa ... Nilai tujuh-lah," Asri cekikikan.
"Standarmu terlalu tinggi ... bagiku sembilan lah," bisik Hening ... Matanya tak berkedip menatap sosok Seti yang memasuki pintu.
Asri mengikuti arah tatapan Hening.
"Ah benar juga kata Hening." ... Hati kecil Asri membenarkannya setelah beradu pandang dengan Seti yang menatapnya.
...----------------...
"Si Davos pecicilan itu entah apanya yang membuatku tertarik." Hati kecil Asri bergumam.
Setiap malam catatan si Davos berulangkali dibacanya. Ulah jahilnya di aula sekolah meninggalkan jejak membekas di lembaran diary itu ... Catatan hati kecil Asri tentang keinginan bertemu dengan si Davos lagi.
Senin,13 juli 1987
Tatapan dingin itu ... jiwaku sejuk ... Aku menyesal menyapanya di suatu masa ... Entah kemana dia?
Dan sekarang, ... entah bagaimana Seti ada di hadapannya lagi.
...----------------...
"Oh kelas ganjil rupanya, ... nasibku sendirian di pojok." Seti menjawab pertanyaannya sendiri dalam hati, saat dilihatnya hanya ada satu meja kosong tersisa di sudut belakang kelas.
Melintas, melewati meja terdepan dekat pintu, diliriknya dua pasang mata mengawasinya.
Sepasang mata bocah mungil berponi setengah dahi, dan disebelahnya sepasang mata bocah semampai berambut panjang menjuntai.
Keduanya sama cantik, sama menarik, serasi dengan gaya rambutnya masing-masing.
...----------------...
"Cemong ni yeeeee... " Hampir bersamaan Asri dan Hening berseloroh cekikikan saat Seti melewati meja mereka.
"Sialan ... " Gerutu Seti dalam hati ... Tidak tahu harus berkata apa.
Meja kosong itu menyambut Seti. Seakan tahu keinginan hati Seti untuk sejenak menyendiri dulu, melupakan hari sial yang memayunginya.
Sambil mengeluarkan buku Seti memandang ke depan. Dari duduknya jelas terlihat Asri dan Hening, ... dua bocah perempuan yang memunggunginya.
Seti menikmatinya dari meja sudut kelasnya ...
...----------------...
Akhirnya jam istirahat berbunyi sore itu ... Membereskan catatan Sejarahnya. Seti celingukan ke luar jendela. Berharap Joe atau bocah warung nongol mengajaknya kluyuran menghabiskan jam istirahat ke setiap kelas.
Tapi tak ada satupun yang diharapkan-nya itu melintas ...
"Biar kususul ke warung ... Paling lagi ngrokok di sana." Pikir Seti.
Warung Bango jadi tempat favorit anak laki-laki SMA itu. Tempat bercerita lagu baru, filem baru, belajar merokok, atau sekedar bertukar stensilan cerita dewasanya Eny Arrow di jam istirahat. Selain terlindung tembok, guru tidak pernah melewati warung itu.
Seti berniat mencari Joe untuk menceritakan hari sialnya.
Pontang panting, ngos-ngosan menuntun si Denok yang kempes kena bocor ... Dan tetap saja terlambat ... Muka cemong kena ejekan dua bocah perempuan usil ... Terpaksa duduk di pojok belakang sendirian ... "Duh banyak banget sialku hari ini." Rentetan hari naas berputaran di benak Seti.
...----------------...
Baru saja memasukkan bukunya ke dalam tas, niat Seti beranjak keluar kelas tertahan.
Dilihatnya dua bocah perempuan usil itu berjalan mendekatinya dari meja depan.
"Mau ngapain lagi mereka ? Apa belum cukup puas dengan penderitaanku hari ini ?" Pikiran Seti mulai berprasangka yang tidak-tidak.
"Mau ke mana cemong ?" Bocah poni setengah dahi itu menyapa ... " Hening ..." Lalu tangannya terulur, sambil menyebut nama ke arah Seti.
"Bocah aneh, ngajak kenalan kok dah sok akrab manggil cemang cemong ... Kalau gak secantik itu, sudah kutinggal pergi." Hati kecil Seti bersungut, seakan membenarkan prasangkanya.
"Seti," masih penuh tanda tanya Seti membalas uluran tangan itu, lalu melepaskannya perlahan.
"Ehem, ..." gumam suara halus lembut perlahan mengalihkan perhatian Seti.
"Duuuh ... kenapa kamu juga ikutan nimbrung ?" Semakin tak karuan hati Seti
"Eh kamu, ... eh ..," nada bingung keluar dari mulut Seti, tidak tahu apa yang mau diucapkan dari mulutnya.
"Asri," ucap bibir tipis itu.
"Seti ...," tergagap Seti menjawab.
Hangat jari lentik Asri terasa di telapak tangan Seti saat menjabat tangan indahnya ... Bocah pecicilan itu mendadak kalem di sudut kelasnya.
Joe dan gerombolan warung seketika lenyap dari kepala Seti di jam istirahat kelas ketika ada saling sapa, jabat erat dengan seisi kelas barunya.
Kegembiraan kelas Satu Delapan sore itu menambah cakrawala pandang Seti.
--------------------------------
*Sopo kowe : Siapa kamu dalam bahasa Jawa.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!