Neneknya ternyata sudah pulang diantarkan Raven. Nafisa lega sehingga dia tidak perlu ke rumah Raven dan bertemu dengan cowok itu.
Kini, Nafisa duduk di depan neneknya sambil terus menatap ke bawah dengan tatapan miris. Tangannya saling bertaut. Kepalanya sedikit pusing. Dia jelas membutuhkan istirahat apalagi siang tadi ia tidak tidur. Tetapi untuk saat ini, kesehatan badannya tidak ia pedulikan sama sekali karena harus menjelaskan dulu pada neneknya yang sekarang sedang merajut di hadapannya.
"Aku harus bagaimana?" batin Nafisa.
Hening.
"Jadi kamu ikut berburu monster ya?" tanya Dhania memulai percakapan. Dia sama sekali tidak mengalihkan pandangannya dari benang yang berada di tangannya.
Nafisa mengepalkan tangannya. Pertanyaan neneknya seperti berkata, "Selama ini kamu sudah berbohong sama nenek ya?"
"Nenek nggak marah kok," ucap Dhania.
Nafisa refleks menatap neneknya dengan kedua matanya yang berwarna hitam berbinar-binar. "Sungguh?"
Dhania tersenyum semakin merekah.
"Nak, cucuku Nafisa, kamu selalu jadi anak baik dan nggak pernah mengecewakan nenek, kamu pasti memiliki alasan mengapa memutuskan menjadi kayak orang-orang yang melawan para monster itu. Jangan pernah berpikir nenek marah sama kamu ya?"
Nafisa tertawa di dalam hati. "Siapa yang memilih keputusan ini nek? Kalau pun ada pilihan kamu bakal mati kalau nggak melawan monsternya. Ada pilihan ya atau tidak untuk mendapatkan kekuatan, aku bakal pilih tidak."
Namun, Nafisa tidak mengatakan apa yang sedang diucapkan dalam hatinya itu dengan nada frustasi. Dia lebih memilih untuk menjawab seperti ini.
"Tetap saja nek, aku takut nenek mikirnya aku sudah berbuat yang enggak-enggak selama ini, aku takut nenek benci padaku," ucap Nafisa dengan wajah sedih.
Di hadapan orang lain, Nafisa selalu berekspresi datar, dingin, dan cuek luar biasa. Dia juga tidak pernah mau ambil pusing. Intinya dia selalu kelihatan tidak memiliki gairah hidup. Tetapi di hadapan neneknya sangat berbeda. Apalagi rahasianya sebagai seorang pemburu monster sudah terbongkar jadi tidak ada yang perlu ditutup-tutupi lagi. Hanya Dhania yang pernah melihat ekspresi sedih Nafisa.
"Kamu tahu nggak kejadian pada 30 tahun yang lalu?" tanya Dhania.
Dhania kali ini menatap cucunya dengan sorot mata serius.
"30 tahun yang lalu? Aku kan belum lahir? Hah tunggu sebentar. Pantas saja aku merasa ada yang nggak beres sejak percakapan nenek sama Bang Roy. Laki-laki itu bilang nggak sabar mendengarkan cerita nenek. Cerita apa? Kupikir itu basa-baai semata. Tapi bukankah aneh kalau dibicarakan pada situasi disaat keramaian begitu? Lalu berburu monster? Dibandingkan berburu menurutku lebih tepat disebut bermain. Dan nenek bilang aku memiliki alasan? Jelas jika dipikirkan lebih lanjut, ucapannya sangat aneh," pikir Nafisa.
"Aku belum lahir saat itu nek dan sejauh ini, aku belum pernah mendengar berita kejadian 30 tahun yang lalu," ucap Nafisa.
Dhania menghela nafas. "Begitu ya... Jadi nggak pernah muncul di berita. Pantas saja nenek selalu melihat televisi setiap hari berita itu nggak pernah muncul. Sekarang muncul lagi tapi kelihatan berbeda dengan yang dulu."
"Hah? Dulu jangan bilang..."
"30 tahun yang lalu sebuah gate tiba-tiba muncul dan mengeluarkan banyak sekali monster. Monster-monster itu menyerang kami. Banyak korban berjatuhan. Tetapi akhirnya banyak juga yang melawannya menggunakan senjata modern. Sampai dibentuk sebuah sekolah khusus untuk orang-orang yang memburu monster-monster tersebut. Lalu ada pasukan kelas atas dan segala macam. Kejadian itu berlangsung selama beberapa tahun dan pada akhirnya lenyap begitu saja. Kenapa nggak pernah diberitakan mungkin untuk menghilangkan trauma. Tetapi sekarang... "
"Ada lagi."
Nafisa jelas sangat kaget mendengar ini. Dia sampai tidak bisa berkata-kata. Hatinya begitu syok. Dia tidak pernah mendengar hal ini sebelumnya. Sungguh....dia sampai sedikit sesak nafas saking kagetnya.
"Gila. Kenapa aku baru mendengar ini? Sudah jelas game aethfire ini pasti ada kaitannya sama masa-masa itu," pikir Nafisa.
Nafisa memperhatikan lekat-lekat neneknya. Dia merasa neneknya melamun seperti sedang memikirkan sesuatu dengan serius.
Akhirnya Nafisa buru-buru mendekati neneknya dan duduk disampingnya kemudian meraih tangannya. "Nek, jangan sedih, aku nggak akan pernah melawan monster lagi untuk selamanya. Aku akan berusaha sebisaku untuk selalu menjauh. Aku nggak akan kenapa-napa jadi nenek nggak perlu khawatir. Aku akan terus menjaga nenek kalau perlu nggak usah sekolah sekalian," kata Nafisa semangat sembari memeluk neneknya dari samping.
"Iya nak iya. Nenek sudah menyuruh Raven untuk menjagamu."
Deg.
Nafisa yang menempelkan kepalanya pada lengan neneknya langsung mengangkatnya dan menatap neneknya dengan kedua mata lebar-lebar.
"Bukan itu yang lagi nenek pikirkan. Memang nenek mencemaskan kamu. Sangat. Tapi ada hal lain yang nenek ingat," ucap Dhania yang membuat Nafisa tersadar setelah sesi terkejutnya mendengar nama Raven.
Nafisa semakin memperhatikan neneknya lekat-lekat. Dibandingkan dengan sedang mencemaskan sesuatu, ekspresinya lebih tepat dibilang sedang mengingat sesuatu. Nafisa curiga pasti ada sesuatu yang dialami neneknya 30 tahun yang lalu. Dan dia lebih curiga lagi ada kaitannya sama suaminya.
"Sebenarnya, suami nenek hilang sejak kejadian itu," ucap Dhania. "Ada orang yang bilang kalau dia menikah dengan wanita lain."
Nafisa kembali memeluk neneknya. Dia tidak sanggup melihat wajah neneknya lebih lama lagi karena itu akan menyebabkan dia menangis. Dia ikut merasa sakit hati.
"Kenapa nenek baru bilang?" batin Nafisa. "Jika nenek bilang dari dulu, aku mungkin akan mencarinya sampai ketemu," lanjutnya.
"Nenek harus bahagia," kata Nafisa.
Dhania tersenyum kemudian membalas pelukan Nafisa. "Nenek sangat bahagia punya kamu Nafisa."
Setelah berbicara banyak hal dengan neneknya dan waktu pun berlalu. Jam dinding menunjukkan pukul setengah delapan malam. Ketika neneknya sedang menonton televisi, Nafisa memutuskan untuk ke belakang rumahnya untuk memandangi langit yang penuh bintang.
Dia duduk di bangku kayu panjang.dan mulai memandangi bintang-bintang. Sayangnya pikirannya tidak fokus pada pemandangan indah itu. Dia justru fokus pada hal lain.
"Berdasarkan apa yang kudengar, maka kemungkinan ada kunci yang tersisa dari kejadian 30 tahun lalu. Dan kunci itu masih saja mengeluarkan monster. Lalu game ini...adalah senjata kita.....?"
Lagi-lagi Nafisa berhenti memikirkan hal tersebut alasannya tentu saja karena teringat ucapan neneknya mengenai suaminya. Sebenarnya inilah yang terus saja berputar di kepalanya. "Kakek...apakah dia masih hidup? Kalau aku menemukannya dan membawanya ke nenek dia pasti bakal sangat bahagia kan?"
"Aku merasa sangat bersalah," bisik Nafisa di tengah-tengah angin malam yang begitu dingin.
Nafisa menatap ke rumah di sebelahnya ketika merasakan ada yang menonjol. Di jendela rumah mewah itu yang berada di tingkat dua sana duduk seseorang dengan punggung menempel pada satu sisi jendela. Kaki kanannya diangkat dan tangan kanannya berada di atas lutut kaki kanannya itu. Tentu saja ia tahu siapa orang itu. Dengan rambut hitam yang diselimuti angin malam, mata biru seperti kedalaman air laut yang berkilauan, dan kaos berwarna hitam yang katanya menjadi warna favoritnya. Raven selalu saja membuatnya sulit untuk mengalihkan matanya ke arah lain.
"Dia...nggak mungkin lagi memperhatikanku kan?" batin Nafisa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments
mochamad ribut
up
2023-05-03
0
mochamad ribut
lanjut
2023-05-03
0