Melisa tidak main-main dengan ucapannya. Dia seperti jadi ekornya Nafisa kemana-mana gadis itu pergi selalu mengikutinya. Bahkan ini pertama kalinya dia ke rumah Raven setelah sekian lama sekali tapi terlihat biasa saja. Berbeda dengan Nafisa yang mempertahankan kesopanannya mati-matian karena ada neneknya dan Tante Rania. Melisa malah santai saja. Malah menurut Nafisa sikapnya tidak sopan.
Karena terus-menerus mengajaknya berburu monster, akhirnya Nafisa pamit untuk ke luar rumah, membawa Melisa menjauh dari keluarganya. Padahal dia memerlukan waktu berbicara empat mata dengan neneknya, sangat penting, menyangkut apa yang sudah terjadi tadi. Dia perlu menjelaskan pada neneknya bahwa dia bukanlah pemain seperti yang neneknya lihat.
"Kamu nggak di rumah saja jagain mamamu?" tanya Nafisa risih. Dia ingin mengomeli Melisa tapi rasanya tidak ada gunanya.
"Nggak. Dia sibuk terus sama adikku. Di rumah dimarahin terus jadi aku pergi lah," jawab Melisa agak sedih.
Sewaktu mereka masih Sd, Melisa sedikit berbeda dengan anak-anak perempuan lain di kelas mereka. Melisa suka bermain dengan anak laki-laki. Kalau teman-temannya yang perempuan sedang menggosip Melisa hampir tidak pernah ikut. Mungkin cuma gadis ini yang tidak membencinya. Tetapi kadang-kadang dia akan menyebalkan juga. Dia suka minta-minta.
Meskipun bar-bar tapi sebenarnya tidak bar-bar juga. Kenyataannya Melisa imut. Wajahnya yang santai itu menggemaskan. Apalagi rambutnya ungu pastel itu sangat indah.
Nafisa pikir anak seperti Melisa kemungkinan besar tidak pernah membantu mamanya melakukan pekerjaan rumah jadi dia bertanya. "Kamu hari ini sudah bantuin mamamu belum?"
Tentu saja dia harus memilih kata yang tepat supaya tidak menyinggung lawan bicaranya.
"Nggak pernah bantuin. Aku cuci piring aja satu piring pecah malah dilempari panci kepalaku!" balas Melisa kesal.
Nafisa tertawa di dalam hati tapi berusaha menahannya. "Coba kamu minta maaf sama mamamu."
"Hah. Piring pecah bisa beli lagi. Tapi kalau kepalaku kenapa-napa memang bisa balik lagi?" tanya Melisa kesal.
"Ada-ada saja," batin Nafisa.
Nafisa duduk di ayunan dan memandangi tanaman-tanaman cantik di depannya. "Kamu nggak berubah ya Mel. Sudah lama kita nggak bertemu."
Jarang-jarang Nafisa berbicara seperti ini. Apakah karena selama ini dia tidak pernah memiliki teman? Dia sering bermain berama teman-temannya saat Sd. Tidak seperti di SMP dan SMA dia tidak punya teman sama sekali. Meski di Sd sering dibicarakan dibelakang tapi pada akhirnya mereka semua berbaikan.
Melisa tidak mengatakan apa-apa dan tidak berpikiran yang aneh juga. Dia malah mulai fokus mendengarkan pertempuran di depan rumah Nafisa sana. Banyak sekali teriakan-teriakan remaja seperti sedang bermain game.
"Akhh aku mau ikut juga. Aku butuh banget duit padahal," keluh Melisa.
"Duit?"
"Iya. Tiap hari mamaku nggak kasih aku uang saku gara-gara ada game ini bisa dapat duit aku disuruh cari sendiri. Aku belum pernah lawan bos monster. Nggak kuat dan rasanya ngeri hiii. Makanya ini aku mau ikut tapi malah ada mereka. Sebagai gantinya mau ngajak kamu tapi kamunya malah nggak mau. Tega banget Nafisa."
"Aduh sebenarnya aku malas banget serius Mel. Tapi dengar keluhanmu membuatku jadi merasa nggak tega," batin Nafisa.
"Mel, aku itu bukan King," kata Nafisa dingin.
"Ya emang bukan. Kamu kan cewek berarti queen."
"Bukan begitu Mel."
"Terus bagaimana bisa tadi kamu mengeluarkan mana yang sangat banyak? Oh ya, bukankah kemarin di sekolahmu ada festival bos monster naga? Ibukota juga menyiarkannya. King berada di sekolah itu dan itu kamu Nafisa. Ck ck ck. Nggak kusangka teman Sd ku ternyata pemain terbaik nomor satu. Aku pernah beberapa kali lihat video game dark sky mu loh."
Nafisa tidak menanggapi.
"Ayo main Sa! Ayo!" ajak Melisa sembari menggandeng satu tangan Nafisa.
"Nggak bisa sekarang Mel. Aku harus jagain nenek. Ditambah aku itu bukan pemain apalagi King!" tegas Nafisa.
Melisa diam dan memperhatikan Nafisa. Antara percaya dan tidak percaya. Tapi apa yang dia lihat barusan itu nyata kan? Masa sistemnya salah?
Bagi Melisa, Nafisa itu sedikit berbeda dengan yang lain. Jarang berkumpul bersama teman-temannya. Pendiam dan sulit sekali ditebak pikirannya. Tidak pernah bisa diajak bercanda juga. Malah kesannya membenci bercandaan. Baik dalam memberi solusi dan suka menolong orang lain. Anehnya, dia selalu mendapatkan juara satu. Sangat pintar sampai dijuluki jenius. Jika dipikirkan baik-baik bukankah tidak heran kalau dia menjadi King?
Nafisa itu sangat misterius.
"Kapan sih nih anak pulang?" keluh Nafisa di dalam hati. "Malah menatapku terus seperti lagi menatap penjahat lagi. Memang wajahku ini nggak secantik kamu tapi jangan ditatap terus," lanjutnya.
"Dia pasti King. Nggak salah lagi," batin Melisa tajam. Dia mendadak teringat hari itu saat dia pulang dari warung membeli jajan naik sepeda tidak sengaja melihat Nafisa mengenakan jaket entah darimana. Kepalanya ditutupi tudung jaket sementara itu wajahnya terus menunduk. Apakah Nafisa dari rumah temannya? Padahal setahunya anak itu selalu nyaman sendirian. Sulit dipercaya kalau dia dari rumah temannya. Lantas, jika bukan, pasti dari ibukota, niatnya mengantarkan baju buat dijual di salah satu toko pakaian di sana tapi juga pasti ada kaitannya dengan game.
"Nafisa nenekmu itu juga nenekku loh. Kita ini tetangga dekat sama seperti kamu ke keluarganya Raven. Kalau nggak mau bantu ya temani aku farming ayok!" keluh Melisa menarik-narik tangan Nafisa.
"Aduh, malas banget," batin Nafisa.
"YEEEAAAAAAAAYYY!" teriak para pemain di luar sana.
Perhatian Melisa beralih pada gerbang rumah Raven yang dibuka.
"Oh iya," Melisa mendadak teringat sesuatu dan langsung berlari ke arah Raven.
Raven yang menggilai game mana mungkin tidak ikut pertempuran. Apalagi di depan rumahnya. Begitu Nafisa, neneknya, dan Melisa akan memasuki rumahnya, cowok itu menggendong Tsamara untuk diberikan pada mamanya kemudian dia izin bermain.
Raven langsung memasang ekspresi tidak senang ditambah Melisa menghentikan langkahnya.
Nafisa terkejut dan memperhatikan baik-baik apa yang akan dilakukan Melisa.
Melisa berbicara keras-keras di depan Raven sementara matanya melirik Nafisa. "Ven, kamu tahu nggak sih ada yang suka sama kamu!"
Melisa tentu saja tahu mengenai hubungan Nafisa dan Raven karena mereka berada di kelas yang sama dan sering bermain bersama dulu saat masih Sd, Raven mengejar-ngejar Nafisa layaknya seorang lelaki yang sedang jatuh cinta. Nafisa juga menerimanya dengan bahagia. Tidak tahu kenapa hubungan keduanya sekarang menjadi renggang. Persetan, dia akan melakukan cara ini. Kalau gagal, dia akan terus memaksa Nafisa sampai gadis itu tidak punya pilihan selain berburu bersamanya.
"Sialan kau Melisa," geram Nafisa di dalam hati. Bagaimana bisa dia tidak mengira Melisa akan menyebut namanya kalau mata gadis itu tertuju padanya dengan licik.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments
Rulaeil
tipe² teman maksa yang nyebelin 🤧
2023-05-07
1