Nafisa tidak nyaman dan ingin pulang. Kenapa anak-anak dikelasnya memandanginya terus? Mahkota yang melayang di atas kepalanya sudah hilang. Identitas pemainnya juga sudah disembunyikan. Dia juga sudah menegaskan kalau dirinya bukan King.
"Aku ngantuk banget," ujar Nafisa di dalam hati kemudian menguap. Matanya sampai berair. Karena tidak tahan lagi, akhirnya dia menenggelamkan wajahnya ke meja dan mulai memejamkan matanya.
Anak-anak lain penasaran dengan apa saja yang didapatkan Nafisa dalam pertandingan tadi. Karena Nafisa sudah menegaskan bahwa dirinya bukan King mereka jadi ragu jika Nafisa adalah King. Memang tidak bisa dipercaya. Mana mungkin gadis jorok itu menjadi pemain terbaik.
"Nafisa!" panggil Bu guru.
Nafisa tidak bangun. Dia sudah berada di alam mimpi.
"Nafisa bangun!" teriak bu guru.
Nafisa sama sekali tidak melakukan pergerakan apa-apa. Bu guru menyuruh anak di dekat gadis itu untuk memgangunkannya.
"Nafisa woy bangun!" Anak itu menggoyang-goyangkan lengan Nafisa.
Nafisa akhirnya bangun. Kepalanya pusing. "Apa?" tanyanya datar.
"Kamu lagi ada pelajaran jangan tidur!" tukas bu guru.
"Maaf bu," jawab Nafisa.
"Kenapa ngantuk banget ya hari ini?" batin Nafisa. Sungguh, dia tidak sabar untuk pulang dan tidur bersama neneknya. Dia juga tidak sabar untuk mencium Tsamara.
Tapi mendadak dia teringat pada anggota tim The 13 King. Dia berharap mereka sudah tidak ada di sekolah ini karena entah kenapa sejak tadi, di luar sangat ramai. Karena dia berada di dalam kelas yang pintunya tertutup jadi merasa aman.
"Serius, kalau pun ada yang sekarat, aku tetap nggak bakal maju buat bantuin kecuali kalau orang itu bertarung sendirian," ujar Nafisa di dalam hati.
Bel pulang akhirnya berbunyi. Semua anak langsung berkemas-kemas kecuali Nafisa. Bukannya senang, gadis itu malah panik setengah mati karena langsung punya firasat buruk. Di luar kenapa tambah ramai. Ramainya memang wajar karena seperti sekarang...dikelasnya juga semua anak sangat bersemangat.
"Hey, nanti jadi berburu kan?" tanya salah satu gadis.
"Jadilah."
"Jadi dong."
"Ayo kill yang banyak."
"Nafisa, ayo ikut berburu," ajak salah satu anak perempuan dengan senang hati.
Nafisa cuma melirik dengan malas pada anak yang mengajaknya. "Kemarin-kemarin kamu selalu menghinaku, cuma karena aku berhasil mengalahkan satu monster dan melihat identitasku, apakah kamu hanya akan menghargaiku jika aku ada di kelas menengah atau atas? Padahal kita semua sama cuma manusia biasa," batin Nafisa.
Nafisa mengabaikan anak itu dan fokus memasukkan buku-bukunya ke dalam tas dengan hati-hati. Dia kelihatan sangat malas dan tidak punya tenaga. Padahal di dalam hatinya sudah panik dan gregetan ingin pulang. Dia sedang menenangkan diri supaya bisa berpikir jernih.
Beberapa anak perempuan saling memandang kemudian mengangguk. Mereka mendekati Nafisa dan berdiri berjejeran di samping mejanya.
"Nafisa. Maafkan kami selama ini karena selalu menganggumu."
"Iya. Kami sebenarnya nggak benar-benar melakukan itu kok, cuma buat bercandaan doang, habisnya kamu diam saja nggak pernah kumpul sama kami."
"Mulai sekarang kita bakal mengajakmu main bersama. Iya kan teman-teman?"
Tidak perlu menoleh juga Nafisa tahu jika mereka tidak tulus mengatakannya. Gadis itu berkata di dalam hati, "Entah tulus atau nggak, aku selalu maafkan orang lain. Silahkan benci aku kayak biasanya. Karena kata nenek, yang dibenci bakal dapat pahala."
"Nafisa kok kamu diam saja?"
Nafisa menoleh. "Hm. Lagi malas ngomong soalnya. Santai saja nggak usah dipikirkan."
"Bagaimana mungkin kami nggak memikirkan, selama ini kami akhirnya sadar ternyata kami sudah berbuat jahat padamu."
"Iya Sa. Tolong maafkan kami ya."
Nafisa mengangguk-angguk tanpa menatap mereka. Sebenarnya dia sedikit gugup juga dikelilingi seperti ini. Sudah bertahun-tahun dia tidak memiliki teman. Orang-orang bilang dia anak terkutuk. Tetapi kata neneknya, anak terkutuk itu jahat, sehingga dia harus jadi anak yang baik. Kehidupan itu cuma sekali jadi manfaatkanlah sebaik mungkin.
"Aku nggak sabar mau jahit baju sama nenek," batin Nafisa mulai semangat. Dia mulai menyingkirkan rasa paniknya.
"Udah dari dulu," jawab Nafisa santai.
"Wah Nafisa makasih."
"Hm? Apakah aku harus jawab sama-sama?" pikir Nafisa.
"Oh ya Nafisa, ayo ikut kami-"
"Lewat!" potong Nafisa cepat.
"Kenapa?"
"Nafisa kamu sebenarnya King kan? Bilang saja kami nggak bakal bilang siapa-siapa kok."
"Aku bukan King dan nggak tau siapa itu King. Apa kalian nggak berpikir kalau apa yang kulakukan tadi adalah kesalahan pusat? Mana mungkin aku cuma bengong saja melihat banyak yang terluka begitu. Bisa jadi aku yang bukan pemain bisa mengalahkannya. Oh ya, jangan tiba-tiba merasa bersalah kan jadi aneh." Nafisa menggendong tasnya yang berwarna biru kehitaman kecil. Dia berjalan membelakangi anak-anak perempuan itu sambil berkata, "Mau tulus atau nggak kalian minta maaf, aku selalu memaafkan kalian. Tapi jangan ngomong apa pun padaku kecuali soal mata pelajaran."
Ini pertama kalinya mereka mendengar Nafisa ngomong banyak. Gadis itu juga menyesal sudah bicara terlalu banyak. Habisnya dia kesal karena diduga King. Memang kenyatannya seperti itu tapi dia tidak mau terlibat sama siapa pun. Lihat kan? Cuma karena mereka melihat identitasnya di atas kepalanya, mereka langsung meminta maaf untuk mengajak berburu bersama. Mereka pasti ada maunya.
Begitu keluar dari kelas, Nafisa langsung dihadapkan dengan banyak sekali anak. Mereka semua memperhatikannya.
"Kenapa mereka nggak jalan-jalan malah ngumpul disini. Apa bakal ada pesta perburuan?" tanya Nafisa di dalam hati. Dia berjalan cepat ke gerbang.
"Firasatku makin nggak enak," batin Nafisa.
Sebelum sampai di gerbang, Nafisa sudah menghentikan kakinya kala melihat banyak sekali anak yang berkumpul di beberapa posisi. Seragam mereka berbeda-beda. Banyak juga yang mengenakan pakaian biasa. Bukan cuma anak sekolah tapi banyak juga orang biasa.
"Mana King? Ayo kita masuk aku udah nggak sabar mau liat. Kayak apasih sebenarnya? Banyak yang bilang kalau dia nggak sesuai ekspetasi."
Berkat ucapan seseorang itu, Nafisa jadi bersyukur. Dia langsung berbalik dan berjalan cepat ke belakang sekolah. Anak-anak lain memperhatikannya.
"Nggak sesuai ekspetasi?" batin Nafisa. Dia kesal karena bukan cuma anak-anak dari kelasnya yang menganggapnya tidak pantas menjadi pemain karena jelek atau semacamnya lah. Tapi kini semua orang juga seperti itu. Apa yang salah? Dia memang tidak cantik seperti yang lain. Tapi bukan berarti dia tidak punya harga diri sama sekali. Lagipula, yang menjadi inti adalah permainannya, dia ini bahkan punya skill melebihi para pemain profesional.
Nafisa menghela nafas. Apa pun keadaannya, neneknya menyuruhnya untuk tetao bersyukur. Pasti ada hal baik yang dapat diambil.
"Nggak masalah, buat apa memikirkan tanggapan orang lain itu hanya akan membuat sakit kepala," gumam Nafisa.
Nafisa berhenti dibalik tembok. Dia berencana naik ke tembok untuk keluar dari sekolah ini. Tapi karena ini temboknya sangat tinggi jadi dia sedikit kebingungan. Tidak ada tangga atau semacamnya. Dia mengangkat tangan kanannya dan memperhatikannya.
"Nggak masalah kali ya?" pikir Nafisa. Perlahan-lahan di atas telapak tangannya ada sebuah simbol entah apa dan ini menandakan jika dia masuk ke dalam game. Nafisa menyentuh tembok dengan tangannya itu. Perlahan-lahan temboknya retak dan hancur membuat lubang besar. Dia tersenyum segera meninggalkan sekolah ini.
Belum juga sepuluh langkah, layar biru muncul di hadapannya.
[ANDA DIUNDANG BERTARUNG BERSAMA TIM ANDA?]
Ada dua pilihan. Terima dan tidak. Tentu saja. Nafisa memencet tombol tidak sambil menatap ke depan dengan malas.
Setelah itu layar biru muncul lagi. Kali ini bukan ajakan bermain. Melainkan pesan-pesan dari anggota timnya.
Alvin: Apa yang mau diharapkan dari dia? Nggak usah mengundangnya lagi. Kalau dia ikut malah hanya akan jadi beban.
"Aku beban? Justru kalian yang jadi beban," batin Nafisa.
Dikis: Tapi kenyataannya dia King. Pemain nomor satu. Kamu yang dibawah 50 besar nggak ada apa-apanya.
"Dia yang memberiku bunga kan?" pikir Nafisa.
Nafisa lagi-lagi mendapat undangan bermain. Dia kembali memencet tombol tidak.
Ash: Woy King cepat terima jangan ditolak terus!
"Nggak bakal. Aku sudah tobat dan nggak bakal pernah main lagi," batin Nafisa penuh tekad.
Felix: Kalau tim kita ada King kita bisa jadi tim terkuat nomor satu.
"Cuma ada di mimpi. Aku nggak bakal pernah main lagi. Kalaupun terpaksa, aku bakal diam saja nggak ngapa-ngapain, kalau keadaannya nggak memungkinkan, aku bakal menurunkan skorku supaya jadi yang paling terakhir," gumam Nafisa. Ini adalah rencananya yang harus berhasil.
"Semoga sampai di rumah nanti aku bisa tidur nyenyak." Nafisa menguap dan melangkah semakin cepat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments