Sepanjang perjalanan menuju sekolah banyak sekali kekacauan. Dimulai dari jalanan di desanya lalu jalan besar yang biasanya ramai oleh kendaraan justru menjadi sepi karena digunakan untuk pertarungan alias perburuan monster. Para pemain menjadi lebih bersemangat mengalahkan monster sebanyak-banyaknya karena ada tambahan hadiah yaitu permata. Katanya permata ini bisa ditukar dengan barang-barang mahal dan mewah. Meskipun punya impian menjadi orang kaya, Nafisa tetap tidak tertarik pada hal seperti itu. Akhirnya dia memutuskan untuk ke sekolah lewat sawah, pinggir danau, dan rerumputan. Dia menyanyikan lagu kanak-kanak sepanjang melangkah.
Sayangnya ketika dia akan sampai di sekolah, dia melihat beberapa anak laki-laki yang mengenakan seragam sekolahnya sedang berjongkok, berdiri, dan ada yang merokok. Sebenarnya alasan kenapa dia tidak lagi lewat jalanan sepi ini adalah karena pemandangan di depannya itu.
Nafisa terpaksa harus memanjat dinding. Hari itu adalah pertama kali dia melakukannya dan telat. Memanjat dinding sangat melelahkan, sulit, dan membuat kakinya pegal.
“WOY!”
Nafisa melirik sekilas pada anak yang tampaknya meneriakinya. Dia tidak peduli sama sekali dan menganggap bahwa anak itu bukan berteriak padanya. Dia melanjutkan perjalanan menuju ke dinding belakang sekolah.
“Semoga aman,” batin Nafisa.
Dia cemas jika identitas pemainnya sampai terbongkar.
Tapi baru saja memegang tembok atas, terdengar suara ledakan dibelakangnya. Dia sampai kaget setengah mati.
BOOOMMMM!
Kedua matanya membulat sempurna saat menengok ke belakang. Seekor monster berbentuk mirip katak dan berwarna hijau kehitaman dengan lidah yang panjang dan aneh, kedua mata melotot dan sangat besar membuatnya langsung jantungan. Sungguh, memandangnya saja dia sudah gemetaran apalagi sampai monster itu mendekatinya. Parahnya, mata monster itu tampak tertuju padanya.
Untuk pertama kalinya, Nafisa ingin pingsan.
Dia melepaskan pegangan padan tembok lalu berlari ke samping dengan jantung berdebar-debar tidak karuan. Lalu dia mendengar suara yang sangat berisik ke tanah. Dia merasa monster menjjijikan itu mengejarnya. Dan...ternyata benar, monster itu sedang berlari mengejarnya.
“NENEK!” teriak Nafisa di dalam hati. Tanpa sadar, air matanya menetes.
CRASSSHHHHHH!
Nafisa berhenti berlari ketika mendengar suara pedang. Ketika dia menoleh ke belakang, pemandangan justru berubah. Bukan lagi monster menjijikan melainkan seorang anak dengan seragam sepertinya sedang menatapnya dingin sambil memegang sebuah pedang berwarna biru kehitaman yang diselimuti asap biru.
“Lemah!” katanya sebelum anak laki-laki itu meninggalkan Nafisa yang mematung dan sedang menenangkan diri.
Nafisa geram. Lemah katanya? Andaikan dia tidak menyembunyikan identitas pemainnya apakah anak itu akan terkagum-kagum?
Anak-anak yang nongkrong di dekat belakang sekolah tadi berlari ke tempat kejadian sambil membawa senjata masing-masing.
“Hey dimana monsternya?” tanya salah satu dari mereka pada Nafisa.
“Jangan-jangan kau yang mengalahkannya?”
Mendadak semuanya kaget dan pandangannya pada Nafisa berubah menjadi mengamatinya lebih serius.
“Bukan dia lah bodoh tapi aku!”
Seseorang berdiri di atas dinding sambil menyiilangkan kedua lengannya.
“Huh, sombong sekali mentang-mentang kau jadi pemain terbaik nomor 25.”
“Kalian sebaiknya nggak usah berniat menyerang monster level tinggi. Sakit baru tahu rasa.”
Setelah itu, anak yang berdiri di atas dinding pun melompat turun ke dalam sekolah. Terdengar dia tertawa.
Nafisa semakin geram. Meskipun dia diselamatkan oleh anak itu, tapi jelas anak itu tidak punya niatan menyelamatkannya. Tapi dia harus menahan diri demi tekadnya untuk hidup tanpa mencari masalah. Oleh karena itu, meski ingin sekali berbicara dan menyerang pemain terbaik nomor 25 itu, dia mati-matian untuk tidak mengeluarkan suara apapun.
Para anak laki-laki yang nongkrong itu memutuskan untuk kembali ke sekolah.
Nafisa menghela nafas lega. Syukurlah dia menyembunyikan identitas pemainnya. Jika tidak, dia pasti sudah terkenal bahkan sampai ke ujung kota.
Di sisi lain, dia jadi mendapat informasi bahwa monster bisa menyerang mereka yang bukan pemain. Tapi sepertinya mereka yang bukan pemain tidak bisa menyerang balik. Itu artinya para pemain bisa menjadi pahlawan di era ini dengan menyelamatkan mereka yang tidak bisa bertarung.
Nafisa menggerakkan tangannya ke depan dan seketika layar biru muncul di depannya.
Click.
[DAFTAR 100 PEMAIN TERBAIK]
Nomor satu masih dipegang oleh King. Padahal dia belum berburu monster sama sekali tapi kenapa skornya sangat tinggi bahkan ini berlebihan. Seolah-olah dia belum pernah mengalami kekalahan. Ada rumor mengatakan bahwa game Aethfire sebenarnya adalah versi terbaru dari game dark sky. Bagaiamanpun jika hal itu benar, Nafisa tetap tidak bisa menerimanya. Dia merasa bahwa kedua game ini sangat berbeda.
25 [Calixto]
“Jadi namanya Calixto dan dia berasal dari tim Viel.”
“Bukankah ini salah satu tim profesionl?” batin Nafisa.
Level monster yang baru saja dikalahkan adalah 170.
Tapi Calixto mengalahkannya dengan sangat mudah. Cukup satu tebasan.
Nafisa memutuskan untuk tidak masuk ke sekolah terlebih dulu dan mencari informasi lebih banyak mengenai dirinya di game aethfire.
Click.
[NAMA: KING]
[STATUS: RANK S]
[SENJATA UTAMA: SIHIR]
[POTENSI KEMAMPUAN: UNLIMITED]
[MANA: TIDAK TERBATAS]
“Skorku tinggi banget,” keluh Nafisa di dalam hati.
99+ adalah skor yang dimiliki Nafisa.
Skor adalah perhitungan untuk pembasmian monster. Nafisa sama sekali belum pernah berburu monster tapi kenapa skornya sudah setinggi ini? Bahkan game baru pun pemain nomor satu langsung diambil dirinya. Dia sama sekali tidak mengerti dengan pihak game.
“Biarlah nggak usah ngapa-ngapain supaya skorku turun. Kalau bisa jadi pemain paling buruk di dunia,” batin Nafisa. Ekspresi wajahnya kembali semangat.
Akhirnya kakinya melangkah ke sekolah lewat gerbang depan. Anak-anak tadi sudah pergi sehingga membuatnya semakin senang dan bersemangat.
Begitu memasuki gerbang sekolah, ada banyak sekali anak-anak sibuk membicarakan mengenai Game Aethfire. Mereka menantikan monster yang akan muncul di lapangan sekolah ketika istirahat dan kabarnya monsternya sangat kuat dan memiliki beberapa serangan khusus.
Nafisa memutar bola matanya malas dan mempercepat langkah kakinya menuju kelas. Tapi di kelas keadaannya lebih parah lagi.
Hampir semuanya memegang senjata dan mengayunkan ke depan. Terlihat sedang berlatih atau mencoba senjata. Mereka tertawa dan tampak bersenang-senang. Nafisa sungguh tidak habis pikir padahal ini bencana besar, game ini seharusnya dihilangkan karena resikonya kemungkinan besar berbahaya tapi kenapa malah mereka menikmatinya?
Ada yang memegang tongkat, merapalkan mantra, menghunuskan pedang dan tombak, dan masih banyak lagi.
“Hey, bagaimana kalau aku menembak Nafisa?” tanya seorang gadis sambil mengerahkan sniper pinknya pada Nafisa.
Nafisa terkejut, menundukkan kepalanya, lalu berjalan cepat ke tempat duduknya. Tiba-tiba semua anak menertawakannya.
“Heh Nafisa, kamu nggak mungkin main game ini kan?”
Nafisa tidak menjawab justru mengeluarkan buku cerita fantasi yang sedang dibacanya selama beberapa hari ini. Dia berharap bisa menyelesaikannya hari ini juga.
“Jika sekolah sudah jadi begini, rasanya mau berhenti,” batin Nafisa yang tidak bisa fokus karena keberisikan anak-anak lain.
“Aku berharap guru mau menasehati mereka,” batinnya lagi.
Tidak lama kemudian, bel masuk berbunyi. Semua anak berhenti bermain. Layar-layar biru di depan mereka menghilang.
Nafisa jadi mempelajari sesuatu. Jika pesan dari game tersebut bukan untuk pribadi, maka layar biru bisa terlihat oleh pemain lain. Kali ini dia harus berhati-hati.
“Selamat pagi anak-anakku? Semuanya bermain Game Aethfire ya?” tanya BU Raina selaku guru kimia.
“IYA BU!” teriak semuanya kecuali Nafisa.
“Ada yang nggak bu, Nafisa!” tunjuk seorang gadis yang selalu membuli Nafisa.
Nafisa biasa saja sebab apa yang akan dikatakan gadis itu akan menjadi keuntungannya. Semua anak akan menganggapnya bukan pemain dan dia tidak akan terlibat masalah.
“Eeh benarkah? Tanya Bu Rania.
Bu rania tampak aneh. Dia mengusap ke depan dan seketika layar biru muncul yang membuat Nafisa duduk tegak dan membulatkan kedua mata-matanya lebar-lebar.
“Semua anak di sini jadi pemain, termasuk Nafisa. Tapi kok...kamu nggak ada informasinya ya Nafisa?” tanya Bu Rania.
Semua anak menoleh pada Nafisa. Di sisi lain, badan gadis itu mulai gemetaran. Yang lebih dia tidak bisa percaya bukan tentang game ini melainkan Bu Rania yang juga bermain game Aethfire dan memiliki data pemain di kelas ini. Jangan-jangan pusatlah yang menyuruhnya untuk mengawasi para pemain? Mungkin karena game ini cukup berbahaya dan para pemain berpotensi menyebabkan kerusakan jadi mereka perlu diawasi?
Nafisa mulai paham dan menenangkan diri.
“Nggak mungkin dia pemain bu, kami saja nggak melihat tanda-tanda bahwa dia pemain!” seru seseorang.
Nafisa menyembunyikan senyumannya dan berkata di dalam hati, "Iya, ayo terus buat penjelasan begitu!”
“Iya bu, nggak mungkin itu pasti kesalahan!” sahut yang lain.
“Mungkin kali ya soalnya ibu juga nggak melihat dia pemain!” jawab Bu Rania.
“Sistem permainan ini dibuat oleh manusia kan bu? Jadi bisa saja ada kesalahan. Kenyataannya aku bukan pemain sama sekali,” jawab Nafisa santai.
“Terus kenapa kamu nggak ikut jadi pemain?”
Nafisa diam sejenak. “Bosan.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments
mochamad ribut
lanjutkan
2023-04-27
1
Lami_Kim
kalo tau berbahaya kok di ciptain sih, kan jadi gemes pengen cubit ginjalnya
2022-08-03
3
Lami_Kim
harus di ruqiyah dulu kayaknya naf, biar matanya kebuka lebar, tau mana yang salah dan mana yang bener
2022-08-03
3