Bagi Nafisa, sekolah itu sangat melelahkan. Tapi pada saat yang bersamaan sangat bermanfaat. Yang menjadi nomor satu bagi gadis itu adalah perpustakaannya bagai kastil buku. Jika dia keluar dari kelas, berarti ke perpustakaan. Selesai sekolah pulang ke rumah langsung tidur. Sungguh nikmat tiada tara.
Click.
[KAMU DAPAT MEMBUAT SIHIR BARU ATAU MENUKARKAN DAN MENJUAL ITEM DAN PERLENGKAPAN LAIN DISINI ATAU PADA MESIN YANG TERLETAK DI IBUKOTA]
Nafisa menjual semua peralatan, senjata, dan semua item tanpa ada yang tersisa. Kini, dia mendapatkan banyak sekali uang dan permata.
click.
[MONSTER LEVEL TINGGI AKAN MUNCUL DALAM LIMA MENIT LAGI]
"Sistem ini kurang kerjaan banget terus menaruh monster di sekelilingku? Dikira aku bakal mengalahkannya. Boro-boro mengalahkannya, aku lebih suka tidur," keluh Nafisa.
click.
[ANDA DIUNDANG BERTARUNG BERSAMA TIM?]
click.
Hari sudah sore. Layar biru di hadapannya sudah semakin banyak. Nafisa mulai pusing. Dia berencana bertobat tapi malah dia menghabiskan waktunya buat mengotak-atik game aethfire.
"Tahan Nafisa tahan. Kamu pasti bisa sabar, cari terus jangan sampai nggak cari!" pinta Nafisa di dalam hati.
[SILAHKAN SAMPAIKAN PESAN UNTUK KAMI]
"Akhirnya ketemu juga, kalau kayak gini semoga hidupku bisa lebih tenang," batin Nafisa bahagia.
[Tolong jangan menaruh monster di dekatku, karena aku nggak bakal mengalahkannya juga. Semuanya dari game aethfire nggak penting untukku. Kalau bisa keluarkan aku dari game ini. Aku sudah pensiun asal kalian tau. Tolonglah. Aku nggak bakal komen apa pun ke kalian pembuat game tapi setidaknya jangan menaruh monster atau pemain lain di dekatku]
click.
[TERIMA KASIH ATAS UMPAN BALIK ANDA]
Nafisa berharap, pesannya dibaca. Dia menghela nafas dan keluar dari game. Tetapi lagi-lagi dia tidak bisa lega ketika mendengar suara-suara di depan rumahnya. Kali ini monster nya akan muncul di depan rumahnya lagi seperti waktu itu?
"Waktu itu mengerikan banget," ucap Dhania.
Nafisa seketika membeku seperti batu. Waktu itu monster muncul di depan rumahnya. Ketika para pemain mengalahkannya, dimana keberadaan neneknya? Jangan-jangan neneknya melihatnya?
"Nek, nenek liat apa yang terjadi saat itu ya? Bukannya nenek tidur apa di hutan ya waktu itu?" tanya Nafisa lembut.
"Nenek nonton dari sini," jawabnya. Dia kini duduk di atas kursi dibalik kaca jendela.
Nafisa langsung merutuki dirinya sendiri karena sangat bodoh. Bagaimana bisa dia membiarkan neneknya melihat kengerian itu. Kali ini dia tidak akan membiarkannya.
"Nenek liat itu jadi merasa dunia semakin modern saja," ucap nenek.
"Nenek nggak suka ya?" tanya Nafisa pelan.
Gadis itu tahu betul mengenai Dhania. Dibandingkan dengan peralatan modern, neneknya lebih menyukai peralatan tradisional. Dia juga sering mengingat masa lalunya. Masa lalu sebelum mengenal mantan suaminya. Katanya masa-masa itu sangat indah. Nafisa paham. Neneknya dari lahir tidak sendirian. Baginya, orang-orang yang menemaninya saat itu sampai dia bisa mengenal orang-orang itu adalah orang yang berharga untuknya. Jika neneknya kesepian, mau seperti apa pun usahanya menghiburnya, jauh di lubuk hati neneknya tetap ada rasa kesepian. Berbeda dengan dirinya yang cuma memiliki neneknya sejak masih bayi.
Untuk masalah game aethfire, kalau neneknya tidak menyukainya, Nafisa juga setuju.
"Bukan nggak suka. Tapi suka juga nggak. Kasihan anak-anak kalau sampai terluka bagaimana?"
"Mereka nggak bakal terluka kok nek."
Dhania menatap Nafisa yang tersenyum lembut. "Kok bisa begitu?"
"Kalau para pemain mulai berhadapan sama monster itu seperti mereka sudah berada di dunia yang berbeda," jelas Nafisa.
"Kamu tahu banyak ya? Kamu nggak jadi pemain kan Nak?"
Deg.
"Nggak mungkin nek. Bagiku, hal seperti itu nggak ada gunanya. Meski bisa dapat uang banyak tapi buat apa iya kan? Lebih baik bekerja keras suatu saat. Cita-citaku kan mau jadi detektif atau ilmuwan mana mau aku terlibat seperti ini."
"Soalnya kalau kamu ikut nenek nggak tahu lagi bakal seperti apa. Nenek pasti cemas banget."
"Iya nek tenang saja. Aku nggak bakal ikut-ikutan kok."
"Sial. Raven sudah tahu identitasku. Dia nggak boleh sampai membocorkannya ke nenek. Tapi apakah caranya aku harus bilang padanya secara langsung begitu?" batin Nafisa.
Di depan rumahnya semakin banyak para pemain. Nafisa menyuruh neneknya buat tidak melihat. Tapi neneknya tetap ingin di balik jendela.
"Nek, aku boleh keluar dulu nggak?"
Nafisa sangat berharap kali ini diizinkan. Dia ingin memastikan apakah kalau dirinya menjauh dari tempat ini gerbang yang memunculkan monster bakal pindah posisi. Dia tidak ingin lagi neneknya melihat kengerian itu.
"Mau kemana?" tanya neneknya.
"Ke rumah Raven sebentar saja. Waktu itu monsternya sama sekali nggak mendekati rumah kita kan?"
Nafisa sungguh khawatir. Dia jelas tidak mau meninggalkan neneknya sendirian. Tapi lebih baik dia menyingkirkan monster itu dari tempat ini sejauh mungkin.
"Nenek ikut!" Dhania berdiri.
"Ayo nek!" Nafisa kembali semangat.
Nafisa memegang tangan neneknya, menuntunnya keluar rumah dengan hati-hati. Mereka segera menjadi pusat perhatian para pemain lain. Setelah berada di luar rumah ternyata para pemain lebih banyak dari yang ia kira. Dia mendongak ke atas dan terkejut. Ada banyak sekali pemain di atap rumah-rumah sembari membawa sniper dan panah. Yang paling mencolok adalah mereka yang mengenakan jubah hitam sementara di sampingnya ada simbol entah apa. Tapi bertuliskan Viell.
"Nafisa!" teriak seseorang. Nafisa menoleh dan mendapati Melisa, salah satu teman Sdnya.
Jika Nafisa rangking satu di sekolah maka Melisa rangking 25. Oleh karena itu dia tidak mendaftar ke sekolah yang sama dengan gadis itu. Dia merupakan salah satu gadis yang jarang menghina Nafisa.
Melisa mengenakan baju tanpa lengan berwarna cream dan celana pendek sewarna dengan rambutnya yang berwarna ungu pastel. Di tangannya memegang sniper berwarna merah seperti darah.
"Nafisa ayo main. Kamu main juga kan?" tanya Melisa antusias. Dia berjalan di samping Nafisa.
"Nggak," jawab Nafisa datar.
"Eh? Kalau begitu ayo lihat aku main!"
"Aku mau mengantarkan nenek ke rumah paman dulu," ucap Nafisa.
"Ayo aku temenin juga," kata Melisa.
Brak!!
Seseorang menabrak Melisa dengan sengaja. Dia adalah pria besar kira-kira berusia 20 tahun. Dibelakangnya ada teman-temannya yang tertawa.
"Hey yang bukan pemain jangan berkeliaran disini dong!" tukas pria itu tajam.
"Matamu. Aku pemain liat nih buta apa bagaimana?" balas Melisa sambil menodongkan snipernya pada pria di hadapannya.
"Bukan kau bodoh. Tapi di sebelahmu. Dan apa-apaan tua bangka itu?" pria itu memandang jijik pada Dhania.
Nafisa menerima saja dan tidak peduli kalau ia dihina. Tapi berbeda urusan lagi jika neneknya.
"Jangan pernah menghina nenekku!" balas Melisa tajam.
"Mel, sama ucapan saja nggak cukup," batin Nafisa. Kemarahan sedang menyelimutinya. Dia tidak ingin masuk ke dalam game karena ada neneknya tapi pasti bakal ketahuan juga suatu saat kan? Ditambah, dia terus merasa bersalah karena selalu berbohong.
"Hmm?" si pria mulai merasa ada yang tidak beres kala gadis yang memegangi neneknya mulai diselimuti oleh cahaya biru. Bukankah itu mana?
"Nafisa." Melisa juga terkejut.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments